Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pematung Selamat Datang Telah Pergi

Karyanya menandai loncatan medium dan kemajuan dalam seni patung modern kita. Sepanjang berkarya, ia dalam ketegangan antara karya pribadi dan pengabdian.

11 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam 4 Januari 2016 hampir habis, sekitar pukul 23.15 WIB, pematung Edhi Soenarso meninggal pada usia 83 tahun. Sebelumnya, dia sempat dirawat di Rumah Sakit Jogja International karena menderita gangguan pernapasan. Empu Ageng seni patung--gelar yang diperoleh pada 2010 dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, kurang-lebih setara dengan profesor--itu segera mengingatkan kita pada patung-patung monumental di ruang publik: Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Dirgantara, di Ibu Kota Jakarta. Patung-patung yang kini ditelan bangunan besar dan tinggi serta papan reklame pelbagai produk tersebut menuju chaos citra dan tata ruang Ibu Kota.

Lebih dari setengah abad lalu, patung-patung tersebut menandai sebuah negara modern pasca-kolonialisme yang penuh gelora: Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang merupakan hasil perdebatan para intelektual, mengalami bongkar-pasang, dan digoyang pemberontakan beberapa kali tapi tetap utuh. Latar belakangnya pekat oleh legenda dan mitos. Ada beberapa fase kuasa Hindu, Buddha, dan Islam. Alam yang indah dan kaya dengan lebih dari 17 ribu pulau serta bermacam ragam etnis, bahasa, dan budaya di dalamnya. Namun Indonesia baru ditancapkan oleh Presiden RI pertama, Ir Sukarno, dengan pembangunan sejumlah monumen yang menurut dia ingin menembusi 1.000 tahun ke depan. Karena itu, perlu artikulasi visual yang kuat.

Edhi Sunarso, ketika itu berusia sekitar 28 tahun, merancang patung perunggu Selamat Datang setinggi sembilan meter. Tapi kemudian, karena alasan ruang dan lingkungan sekitarnya, disepakati dipangkas menjadi enam meter. Semula Edhi gentar dan ragu-ragu menerima pekerjaan itu. Sebab, ia belum berpengalaman dalam patung logam, apalagi ukurannya sangat besar dan tinggi. Bung Karno meyakinkannya bahwa ia pasti mampu menangani proyek terdepan untuk menyambut Asian Games IV (1962), kemudian menjadi Games of the New Emerging Forces, yang diikuti 114 negara itu. Presiden, yang dekat dengan kalangan seniman, langsung mencontohkan gesture atau gaya berdiri bakal patung. Belakangan, Presiden juga memeriksa langsung pekerjaan Edhi di Studio Keluarga Artja, Yogyakarta.

Sesuai dengan rencana, patung ditempatkan di Bundaran Hotel Indonesia, jantung Ibu Kota Jakarta. Ini lokasi paling tepat dan ideal bagi sebuah landmark karena dapat dilihat dari segala arah. Sayang, contoh terbaik itu tak pernah menjadi acuan bagi pembangunan patung-patung publik sesudahnya di Ibu Kota. Makin maraknya bangunan tinggi di sekitarnya menyusutkan sudut pandang Selamat Datang dan publik kehilangan orientasi yang dapat mengarahkannya ke tempat itu dari jarak jauh. Secara tak sengaja, patung perunggu Selamat Datang juga penanda loncatan medium dan kemajuan dalam seni patung modern kita yang ketika itu masih berkutat hanya pada pahat batu, kayu, dan tanah liat bakar.

Proyek berikutnya yang dipercayakan Bung Karno kepada Edhi Sunarso antara lain Patung Pembebasan Irian Barat, diorama perjalanan sejarah bangsa Indonesia di Monumen Nasional, dan Patung Dirgantara. Hampir satu dekade pemenang Kompetisi Internasional Seni Patung di Inggris (1953) itu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menerjemahkan satu per satu gagasan Bung Karno dalam bentuk patung, relief, dan diorama. Edhi menyebut semua itu sebagai karya-karya pengabdian, karena ditujukan untuk kebesaran bangsa dan sering kali jasa pematungnya tak dibayar. Dalam kaitan dengan pembangunan Patung Dirgantara, misalnya, ia terlibat banyak utang karena kebutuhan bahan pembuatan model patung cukup tinggi dan rumahnya sempat disegel. Mengetahui hal itu, Bung Karno segera menjual mobil pribadi untuk menutupinya agar proses pengerjaan patung tetap jalan.

Dalam kesehatan yang mulai merosot, dua kali Bung Karno datang ke lokasi Pancoran menyaksikan proses pemasangan Dirgantara. Hanya, beberapa pekan setelah kunjungannya, Penyambung Lidah Rakyat itu meninggal. Secara kebetulan rombongan mobil pembawa jenazah menuju Cawang untuk diterbangkan ke Blitar melintasi bawah patung yang hampir sepenuhnya selesai. Edhi bergegas turun dari ketinggian patung untuk mengikuti iringan jenazah tokoh yang dikaguminya. Hingga hari ini, patung yang menggambarkan sosok berotot dengan barik kasar hendak menjangkau langit luas simbol semangat Angkatan Udara itu belum pernah diresmikan.

Masih ada karya-karya dalam bentuk model, tersebab alasan tertentu, dibatalkan, atau setidak-tidaknya belum mendapat kesepakatan untuk dibangun. Misalnya patung banteng dan patung sosok para pejuang dengan masing-masing senjata di tangan, yang rencananya bakal ditempatkan di empat penjuru tugu Monumen Nasional. Dari karya-karya itu, terlihat kapasitas pemenang All India Fine Art Competition and Exhibition tersebut dalam membangun patung sosok, keterampilan yang diasah sejak di Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan dan Visva Bharati Rabindranath Tagore University, Santiniketan, India. Bisa jadi pengalaman bergerilya di hutan-hutan Jawa Barat, penyiksaan yang dialami selama lebih dari tiga tahun di penjara masa kolonial Belanda, berjalan kaki dari Bandung ke Yogyakarta, dan pengalaman pahit lain ikut membentuk kekuatan ungkapan ekspresi dalam karya-karya Edhi.

Kekuatan ekspresi itu tecermin juga dalam karya-karya dengan semangat perjuangan dan kepahlawanan lainnya. Misalnya Patung Laksamana Yos Sudarso dan Relief Tenggelamnya KRI Macan Tutul di Laut Aru; Monumen Dharma Samudra, Surabaya (1964); Patung Jenderal Ahmad Yani (1967); Monumen Pahlawan Tak Dikenal, Digul, Papua (1965-1972); Patung Pahlawan Revolusi di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya (1975); Patung Letnan Jenderal Bambang Sugeng, Magelang (1985); Patung Panglima Jenderal Sudirman di Markas Besar Angkatan Bersenjata RI, Cilangkap, Jakarta (1986); 27 patung Pahlawan Nasional di ruang terbuka Museum Keprajuritan Nasional (1987); Patung Korban Perang Melawan Sekutu; Tugu Pahlawan Sepuluh November, Surabaya (2002); serta patung, relief, dan diorama yang tersebar di pelbagai tempat di Indonesia.

Kebalikannya adalah karya-karya pribadi. Disebut demikian untuk menegaskan bahwa karya-karya tersebut lebih menekankan kebebasan ekspresi pematungnya, di mana Edhi mengembangkan patung pahat kayu, batu, serat gelas, dan beberapa dicetak dengan perunggu dengan pelbagai kecenderungan. Pada awal sejarah seni patung modern Indonesia, umumnya pematung mengikuti kecenderungan arus utama lewat karya Auguste Rodin, Henry Moore, dan Alberto Giacometti, yang kritis terhadap bentuk-bentuk realis di masa sebelumnya. Mereka mengembangkan gagasan abstraksi sosok dan pemiuhan bentuk hingga pada tingkat ekstrem.

Langsung atau tidak, karya-karya pribadi Edhi tampak terpengaruh oleh perkembangan tersebut. Sebagian besar karya pribadi, terutama torso dan patung abstrak, terasa dingin, tak terlalu menonjol dibanding patung-patung pengabdian dalam ukuran besar dan monumental itu. Pembedaan karya pengabdian dan karya pribadi adalah cara bagi penerima Hadiah Seni RI (1981) itu untuk menjaga keseimbangan dan mengatasi kebosanan. Sepanjang perjalanannya berkarya, Edhi selalu dalam tegangan di antara dua hal tersebut.

Penerima Bintang Budaya Parama Dharma RI (2003) itu juga menyimpan arsip dan dokumentasi patung-patung ruang publik yang dibangunnya dengan rapi, dan semuanya sudah didigitalisasi. Seperti testimoninya dalam pameran tunggal di Jakarta pada 2010: "dipersembahkan untuk generasi mendatang".

Kini semua menjadi senyap kembali seperti menjelang tengah malam pada 4 Januari 2016. Pematung Selamat Datang bergelora dan berteriak itu telah pergi dengan tenang dan damai.

Asikin Hasan, Kurator

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus