Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi punya nakhoda baru: Agus Rahardjo. Bersama empat pemimpin lain--Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, Alexander Marwata, dan Laode Muhammad Syarif--Agus dilantik Presiden Joko Widodo pada 21 Desember 2015. Agus, 59 tahun, terpilih sebagai ketua dengan unggul mutlak saat dilakukan pemilihan di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Ia mendulang 44 suara, Basaria 9 suara, dan Saut 1 suara.
Pimpinan KPK yang baru ini mewarisi sejumlah masalah peninggalan periode sebelumnya. Di antaranya pemidanaan (mantan) pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto; kriminalisasi terhadap penyidik Novel Baswedan; serta konflik internal pegawai dengan mantan pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki. Beban kian bertambah dengan adanya rencana revisi Undang-Undang KPK, yang dinilai banyak kalangan memperlemah komisi antirasuah.
Sebelum berlabuh di KPK, Agus adalah Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Ia pionir e-budgeting, yang diterapkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sehingga bisa menemukan penggelembungan harga pada proyek pengadaan uninterruptible power supply (UPS). "Sebelumnya, yang pertama memakai itu justru (Kota Madya) Surabaya," kata pria asli Magetan ini.
Agus ditemui di kediamannya di kawasan Jatiasih, Bekasi, Ahad pekan lalu. Kompleks perumahan terlihat sepi dan tak terlihat pengamanan apa pun di rumahnya sore itu. Selama sekitar dua jam, Agus meladeni pertanyaan wartawan Tempo Tulus Wijanarko, Tito Sianipar, Linda Trianita, videografer Yuli, dan fotografer Eko Siswono. Dia mengaku belum bisa menjawab tentang prioritas dan target KPK selama empat tahun ke depan. "Saat ini renstra (rencana strategis) belum jadi. Masih dibahas," ujarnya. Rencana strategis juga melibatkan pimpinan KPK sebelumnya dan tokoh masyarakat, seperti Romo Magnis dan Buya Syafii Maarif. Lembaga seperti Indonesia Corruption Watch dan wadah pegawai pun diajak bicara.
Dari serangkaian pertemuan itu, kesimpulan sementara apa yang sudah Anda peroleh?
Dari visi-misi pimpinan saja masih berbeda-beda, dan itu belum disatukan. Kemudian (mendapat) masukan banyak hal. Kalau saya boleh mengambil benang merahnya adalah (perlu) ada keseimbangan antara penindakan dan pencegahan.
Keseimbangan seperti apa?
Penindakan insya Allah tidak akan berkurang. Tapi kami melihat selama ini pencegahan kurang maksimal, kurang melibatkan peran masyarakat lebih luas. Kalau kritik terhadap (periode) yang lalu, sosialisasi pembentukan iron integrity sudah dilakukan, tapi pesertanya tidak terlalu luas. Walaupun anggaran pencegahan lebih besar ketimbang penindakan. Teman-teman (wartawan) juga melihat soal pencegahan tidak seksi. Padahal, kalau baca undang-undang, ada lima fungsi KPK: koordinasi, supervisi, baru penindakan, pencegahan, dan monitoring. Koordinasi dan supervisi kerja sama dengan lembaga penegak hukum lain ada di undang-undang, tapi organisasinya tidak ada.
Kenapa bisa seperti itu?
Karena yang menyusun undang-undang berbeda. Kalau ihwal organisasi, yang menyusun Kementerian Hukum dan HAM. Tapi yang depan (bagian penindakan) disusun teman-teman aktivis antikorupsi. Jadi, ketika digabungkan, ada missed-nya. Itu yang menjadi dasar kenapa di KPK tidak ada deputi koordinasi, deputi supervisi, deputi monitoring. Ada direktur monitoring, tapi malah monitoring penindakan. Padahal di undang-undang bunyinya memonitor kebijakan pemerintah. Kemudian memberikan saran dan perbaikan. Tapi ini kan tidak dilakukan, sehingga itu termasuk salah kami juga: KPK. Kalau tiga Gubernur Riau tiga kali berturut-turut ditangkap, itu bagian dari penindakan. Tapi bagaimana memperbaiki (ke depan)? Ini yang tidak dilakukan.
Anda ingin melakukan perombakan organisasi?
Saya tidak akan mengubah organisasi secara drastis. Nanti malah geger lagi. Tapi, untuk peran koordinasi, salah satu pemimpin kalau perlu secara khusus mengawasi koordinasi. Selama ini tidak jalan sama sekali. Karena lewat koordinasi dan supervisi itu kami bisa menarik dan melempar kasus dari/kepada penegak hukum lain. Asalkan yang ditangani KPK big fish, yang nilainya besar dan menarik perhatian masyarakat luas. Kalau misalkan nanti ada operasi tangkap tangan tapi ternyata nilainya cuma Rp 10 miliar dan dampaknya cuma untuk proyek itu, ya, serahkan ke polisi saja.
Sebaliknya, kami juga berperan mengawasi. Khusus kasus korupsi, koordinator dan supervisor itu di KPK. Tapi kejaksaan dan polisi itu lembaga yang setua Republik, sementara KPK baru 12 tahun. (Wajar) kalau mereka itu merasa keinjek juga kakinya. Saya mencari celah agar koordinasi dan supervisi itu tidak menginjak pride mereka. Dengan sistem IT (teknologi informasi). Nanti kami siapkan perangkatnya, aplikasinya, sistemnya, mereka yang menjalankan. Kami tinggal memonitor. Kasus jangan sampai dibuat jadi mainan.
Pengalaman e-Budgeting LKPP tampaknya akan Anda terapkan di KPK.
Betul. Dan itu bukan hanya di koordinasi. Masyarakat juga harus diajak. Masyarakat harus didorong partisipasinya supaya benar-benar terlibat, terutama pada pelayanan pemerintah paling ujung. Contohnya rumah sakit, puskesmas, perizinan satu atap, dan sekolah. Seorang guru dan kepala sekolah jualan buku itu selama ini dianggap wajar, (padahal) tidak. Jadi itu tidak boleh ada di sekolah. Itu harus diawasi oleh masyarakat.
Kalau sudah jadi, akan saya undang Dirjen Pendidikan Dasar, Dirjen Pendidikan Menengah, dirjen yang mengelola rumah sakit, saya sediakan aplikasinya. Saya tinggal memonitor, bulan ini sudah diinstal belum, tambah berapa sekolah, kabupaten, kota. Nanti ditargetkan. Karena KPK lebih punya gigi ketimbang LKPP dulu.
Selama ini para pemimpin KPK yang baru banyak berbicara bahwa porsi pencegahan akan lebih ditonjolkan. Hal itu mendapat kritik karena seolah-olah penindakan bakal berkurang.
Masyarakat perlu di-educate juga. Penindakan selalu riuh, tapi tindak pidana korupsinya sendiri tidak berkurang. Yang paling enak pakai IPK, indeks persepsi korupsi. Selama ini bergeraknya dari 32 ke 34 susahnya bukan main. Kalau menurut saya, IPK jauh lebih penting, walaupun masyarakat senang kalau kami menangkapi orang. Jauh di balik itu, kami melakukan perbaikan secara fundamental dan struktural.
Susunan pemimpin baru KPK ini juga mendapat banyak kritik karena diragukan komitmen antikorupsinya.
Kalau Anda lihat pimpinan periode sebelumnya, tidak ada yang tak dikritik. Hampir semua pemimpin yang baru itu selalu dikritik. Pak Antasari Azhar, itu kan juga awalnya dikritik. Abraham Samad juga. (Dulu orang bertanya) Abraham itu siapa? Tapi kalau saya sendiri tidak diunggulkan sebagai the dream team dan jadi underdog itu malah berkah. Jadi lebih mudah. Begitu ada prestasi, mudah-mudahan langsung diakui masyarakat.
Keraguan publik beralasan karena, misalnya, salah satu pemimpin KPK, Basaria Panjaitan, adalah pensiunan jenderal polisi, dan KPK pernah berurusan dengan polisi.
Saya yakin kami tidak akan macam-macam. Awal saya masuk, menerima pengaduan kasus lewat seluler. Tapi saya tidak bisa langsung intervensi. Saya serahkan ke pengaduan masyarakat dan silakan diproses sesuai dengan prosedur.
KPK punya pengalaman kalah di praperadilan. Bagaimana nanti mengantisipasinya?
Kami sudah sepakat sebisa mungkin jangan sampai kalah lagi. Menetapkan tersangka harus dengan bukti permulaan yang kuat. Tahapan dari penyelidikan harus sangat kuat. Yang saya dengar, kekalahan kemarin karena sudah masuk substansi pengadilan.
Anda sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Apa yang dibicarakan?
Setelah dilantik kemarin, saya dipanggil Pak Jokowi. Beliau dengan tegas malah ngomong tidak akan intervensi apa-apa. Beliau mengatakan, "Jangan kejadian (lagi). Kalau geger-geger seperti kemarin itu bebannya selalu ke saya." Ya, kita berpikir lebih luaslah, berpikir lebih komprehensif. Beliau sebagai kepala negara wajar saja (meminta hal itu). Karena itu, beban-beban seperti dulu jangan terjadi lagi.
Koordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian akan ditingkatkan. Bagaimana jika nanti ditemukan korupsi di tubuh institusi itu?
Itu sebenarnya tidak perlu ditanyakan. Independensi (KPK) itu jangan diragukan. Kami bisa berdiri dan memilah-milah kasus, juga dengan melakukan debat publik. Semuanya tergantung bukti permulaan. Jika memang ada dan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas, ya, harus diteruskan.
Tidak khawatir terhadap kriminalisasi pimpinan KPK seperti terjadi pada Abraham Samad dan Bambang Widjojanto karena mencoba menelisik korupsi di kepolisian?
Makanya caranya adalah dengan coba menginformasikan kepada mereka bahwa ada ini (korupsi) di tempatmu. Jadi jauh-jauh hari sudah diinfokan. Misalkan ada kapolres tersangkut korupsi, kami akan berkoordinasi siapa yang menangani. Kasus korupsi mungkin saja menyangkut teman-teman di kepolisian, kejaksaan, juga mungkin saja menyangkut teman-teman di KPK.
Anda akan menempatkan Basaria sebagai rantai koordinasi dengan polisi?
Saya maunya tandem. Bu Basaria dengan siapa, lihat nanti. Saya sendiri akan melihat saya masuk ke mana. Termasuk juga mengkoordinasi teman-teman. Itu akan kami bicarakan. Termasuk dua pemimpin yang akan memimpin fungsi koordinasi, supervisi, dan monitoring. Kalau ditanya siapa, saya masih perlu mendiskusikan lagi. Mungkin Bu Basaria salah satu di penindakan, tapi tetap akan ada pendampingnya.
Saat ini Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, juga penyidik Novel Baswedan, masih tersangkut kasus. Apakah Anda tak akan mengambil langkah menangani hal ini?
(Menghela napas) kalau kamu tanya saya, saya inginnya begitu periode ini jalan, (kasus) itu bersih. Artinya, saya tidak ingin itu menjadi beban saya dan teman-teman yang sekarang. Mudah-mudahan teman-teman kepolisian dan kejaksaan mengerti, mohon itu bisa diselesaikan dengan baik.
Apa maksud Anda dengan "diselesaikan dengan baik"?
Kasusnya tidak usah dilanjutkan. Caranya bagaimana, itu yang perlu kami bicarakan. Walau sudah ada yang di kejaksaan (untuk tahap penuntutan), kalau tidak salah dulu ada yang memakai opsi deponering. Dulu Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) pernah memerintahkan deponering itu. Kalau presiden sekarang menggunakan itu, akan sangat bagus sekali.
Anda berencana membawa kasus-kasus itu ke Presiden Jokowi?
Bisa saja.
Ombudsman juga menyatakan kasus Novel penuh rekayasa oleh polisi.
Kita lihat saja. Saya lebih senang saya berjalan (sebagai Ketua KPK) sudah tidak keserimpet masalah-masalah itu. Kalau itu bersih, kami jalannya bisa enak.
Ada masa lalu Anda yang perlu dikhawatirkan yang mungkin bisa jadi alasan kriminalisasi seperti mereka?
Saya berkeyakinan semua orang itu punya kelemahan. Seperti misalkan kasus Abraham Samad, kasus kartu keluarga. Di tempat saya, ada tiga keponakan yang ikut kartu keluarga saya. Keponakan datang dari Magetan, mau cari kerja, tinggal di sini, wajar saja kalau masuk kartu keluarga saya.
Jadi Anda punya kekhawatiran yang sama? Itukah sebabnya, sewaktu terpilih, Anda mengucap innalillahi?
Bukan. Innalillahi itu saya meniru Umar bin Khatab ketika diangkat (sebagai khalifah). Itu konteksnya karena ini tugas yang berat, jadi saya harus siap dengan segala kemungkinan. Innalillahi ini berarti kembali kepada yang memiliki.
Pernah ada kekhawatiran Anda akan "di-Samad-kan"?
Itu konsekuensi jabatan. Hadapi saja.
Ihwal rencana revisi Undang-Undang KPK, bagaimana sikap Anda dan pemimpin lain?
Kami (pimpinan) belum satu pendapat. Tapi kita sudah menyaksikan pimpinan yang lalu dan ada beberapa catatan. Misalnya soal SP3, setuju, tapi hanya untuk kondisi tertentu, yaitu meninggal atau alasan kesehatan. Kalau saya pribadi, ini bukan waktunya untuk melakukan revisi karena KPK masih sangat diperlukan. Sementara ini, biarkan berjalan dulu. Kalau ada kelemahan, biarkan kami yang memberi masukan. Menurut saya, selama korupsi masih ada, KPK masih diperlukan. Tapi kami juga sadar yang berkuasa bukan KPK. Walau KPK ngomong "tidak", yang menentukan adalah legislatif dan eksekutif. Bahwa kami menyampaikan pendapat dan masukan, itu dilakukan. Tapi, kalau mereka memutuskan, KPK tidak dalam posisi yang bisa menahan. Tapi kami akan memperjuangkan (revisi) jangan hari ini.
Bagaimana memperjuangkannya?
Kalau ada kesempatan, akan bertemu dengan Menteri Dalam Negeri atau Sekretaris Kabinet. Minta tolong diperhatikan agar biarkan KPK punya prestasi dulu, baru bicarakan tentang revisi.
Ada dua kasus besar yang masih ditangani KPK, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Century. Bagaimana itu akan diselesaikan?
Terus terang saya belum melihat datanya seperti apa. Tapi saya berpandangan simbol-simbol negara tidak perlu dilecehkan. Kayak Amerika, sewaktu Bill Clinton memangku cewek kan tidak dikasuskan. Menurut saya, satu yang bertanggung jawab saja yang harus dikejar. Apakah, misalnya, terkait dengan dua kasus itu ada perintah Presiden untuk mengumpulkan uang buat dia? Yang saya khawatirkan, policy untuk mengumpulkan uang itu bukan dari pemimpin teratas. Tapi yang bermanuver adalah lapisan bawahnya, hulubalang-hulubalang ini.
Tegasnya, Anda tidak berencana meneruskan kasus itu?
Bagi saya, yang penting jangan sampai menyentuh simbol-simbol negara. Saya sendiri tidak punya keyakinan, misalnya (presiden saat itu) Megawati Soekarnoputri yang menyuruh (terkait dengan kasus BLBI). Jadi harus dilihat yang menjalankan dulu itu siapa, misalnya Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Kalau itu yang tersentuh, fine-fine saja bagi saya.
Sekarang tentang lingkup internal KPK. Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas berharap pimpinan KPK tidak bersikap bossy terhadap pegawai karena KPK punya budaya profesionalisme, independen, integritas, dan egaliter. Siapkah Anda dan kolega yang lain?
Saya setuju itu. Saya buktinya, tidak ada ajudan di rumah sini. Mau taruh di mana juga bingung, ha-ha-ha.... Kendaraan dinas saya, RI-96 dan RI-97, tidak dibawa pulang. Saya malah senang. Biasanya sopir dan ajudan datang pas mau berangkat saja. Soal keselamatan? Namanya keselamatan, Gusti Allah yang mengatur.
Mengenai jumlah penyidik KPK sekarang, apakah sudah cukup?
Kalau kita ingin lebih intensif (memberantas korupsi), jumlah yang hanya 97 itu harus kita gandakan. Tahap penyelidikan perlu banyak. Masuk penyidikan dan penuntutan bisa lebih sedikit.
Bagaimana lobi Anda di DPR dulu sehingga bisa terpilih--bahkan--sebagai Ketua KPK?
Saya tidak pernah melobi. Kalau dipanggil, ya, datang. Pemikiran saya, kalau dipanggil tidak datang berarti saya sombong. Tapi tidak pernah saya yang menelepon untuk ketemu.
Fraksi apa saja yang memanggil dan menemui Anda?
Semua fraksi. Satu per satu. Ada yang di ruang fraksi, ada yang di luar juga. Pertemuan-pertemuan itu terutama seminggu terakhir sebelum pemungutan suara. Bahkan, bukan cuma partai, Nahdlatul Ulama juga memanggil untuk ketemu.
Memanggil untuk apa? Meminta komitmen terhadap kasus tertentu?
Tidak. Cuma sharing. Orang ketemu itu kan banyak harapan. Ketemu Pak Said Aqil Siroj (Ketua NU), diminta Jumatan datang ke NU. Gitu saja. Jadi tidak ada komitmen yang saya bangun. Saya selalu berpegang pada data. Itu mudah-mudahan jadi guidance saya.
Apakah motivasi Anda masuk KPK?
Niat saya ke KPK, dengan usia hampir 60 tahun ini, dilatari sudah tidak memikirkan karier dan masa depan pribadi lagi. Ketika izin ke istri, saya bilang ingin mencari amalan yang bisa mendukung jalan ke sana (sambil menunjuk ke atas) Sebab, di hari-hari itu saya sebenarnya sudah asyik dengan keramba kecil milik saya di Lampung. Saya beli Rp 12 juta, kira-kira 30 lubang. Tiga lubang dipakai untuk berteduh, tidur di lantai dengan bantal. Kalau orang sudah tua, menyepi itu harus (dilakukan). Mencari kedekatan dengan Allah itu adalah keharusan. Sebab, bagi saya, salat saja belum cukup. Kalau orang Jawa itu perlu ada roso. Mencari rasa. Tidak melulu (sembahyang) fisik, tapi juga mencari rohani.
Apa yang hendak Anda sampaikan ke publik ihwal integritas Anda?
Satu, saya insya Allah tidak mengecewakan harapan rakyat. Kedua, mudah-mudahan saya sudah selesai untuk diri saya sendiri. Tidak akan mencari yang lain-lain. Kemudian ketiga, mencari khusnul khotimah. Artinya, kita tidak bohong dan tidak mencuri.
Anda sempat melontarkan ajakan untuk meludahi koruptor ketika uji kelayakan....
Itu sebenarnya cerminan dari kebencian yang mendalam. Tapi saya menyesal mengatakan itu. Itu bukan bagian dari orang yang beradab. Tapi saya setuju harus ada tindakan dari kita terhadap koruptor berupa sanksi sosial. Harapan saya, seperti di film KPK itu, ada anak sekolah yang menganggap pendapatan ayahnya tidak wajar, lalu bajunya dibuang. Kalau sudah keluar dari penjara, jangan bergaul (dengan mereka). Diasingkan. Itu hukuman yang luar biasa. Saya ingin masyarakat ikut mengasingkan dan memberikan sanksi sosial kepada koruptor. Itu lebih efektif, sehingga orang kalau tertangkap tidak ketawa-ketawa lagi.
Agus Rahardjo Tempat dan tanggal lahir: Magetan, 28 Maret 1956 Istri dan keluarga: Toety Soeprasetyati, empat anak dan tiga cucu Pendidikan: Sarjana Teknik Sipil Institut Teknologi Surabaya (1984), S-2 dari Arthur D. Little Management Education Institute, Cambridge, Amerika Serikat (1991) Karier: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (sejak 2015), Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2010-2015), Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2008-2010), Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2006-2008), Direktur Sistem dan Prosedur Pendanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2003-2006), Direktur Pendidikan dan Agama Bappenas (2000-2003), Pegawai Negeri Sipil Bappenas (1986) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo