ICUK Sugiarto tertunduk murung di ruang ganti. Berpasangan dengan Richard Mainaky, mereka baru saja ditaklukkan pasangan Malaysia Cheah Soon Kiat/Soo Beng Kiang. "Saya merasa percuma dan sia-sia di bulu tangkis. Ternyata saya tidak bisa berbuat banyak," kata Icuk tiba-tiba. "Program saya berikutnya adalah naik haji bersama istri. Bulan depan, saya berangkat." Anak Solo ini tampak amat terpukul. Maklum, partai yang dimainkannya begitu menentukan, siapa yang keluar sebagai finalis Piala Thomas. Ketika Pra-Kualifikasi Piala Thomas, Februari lalu di Kuala Lumpur pasangan Icuk/Richard juga sebagai partai penentu. Lawan yang dihadapi sama. Bedanya, di Kuala Lumpur itu Icuk/Richard menang, di Tokyo kalah. Icuk merasa konsentrasinya terpecah dua di lapangan. Karena ia harus juga memberi instruksi untuk pasangannya. Memang, pasangan ini sudah lama tak dicoba. Dan ada kesan diturunkan dengan ketergesaan. Semifinal Piala Thomas tahun ini akhirnya mengulang semifinal Piala Thomas dua tahun lalu. Malaysia menjegal lajunya Indonesia dengan menundukkan 3-2. Kemenangan 3-2 tim Indonesia atas Malaysia di Pra-Kualifikasi Piala Thomas lalu, seperti tak ada artinya lagi. Adakah sesuatu yang salah, misalnya, salah pasang pemain atau salah strategi? Pelatih tim Indonesia Fuad Nurhadi alias Tong Sin Fu menjawab, "Tidak ada yang salah dengan susunan pemain kita." Namun, Nurhadi mengakui bahwa kekalahan Joko agak mengejutkan. Karena, "Kita sudah menargetkan tiga angka dari tunggal. Kalau kehilangan satu saja di tunggal, sudah diperhitungkan kita akan kalah," Nurhadi menjelaskan. Jadi, Icuk/Richard itu memang sudah "diperhitungkan" kalah. Joko diperhitungkan menang. Di Nagoya, ia secara mengagumkan menyikat habis harapan Denmark, Poul Erik Hoyer Larsen, dengan dua set langsung. Data statistik sebelumnya menunjukkan, Joko sudah tiga kali ketemu Foo Kok Keong, dan selalu menang. Siapa menduga di perjumpaan keempat ini dan pada turnamen sedemikian pentingnya, Joko yang kalah. "Saya nggak tahu apa yang membuat saya bermain terlalu jelek hari ini. Jelas, saya tegang," ujar Joko kepada TEMPO di ruang ganti Tokyo Metropolitan Gymnasium. Ia ditemani pacarnya, pemain tunggal putri Lilik Sudarwati. Dari tiga partai tunggal, yang diperhitungkan "kerepotan" justru Alan Budi Kusuma. Eh, ternyata Alan bermain cemerlang dan mengalahkan Rashid Sidek. Kekalahan dari Malaysia ini membuat pemain membisu. Di bis, dalam perjalanan pulang ke Hotel Keio Plaza, tak seorang pun pemain yang bicara. Tak ada suasana ceria seperti hari-hari sebelumnya, tatkala beberapa pemain mencuri-curi kesempatan shopping. Hanya suara M.F. Siregar, Asisten Umum Manajer Tim. memecah suasana. "Namanya pertandingan, harus ada yang menang dan ada yang kalah. Kita jangan tenggelam dalam kesedihan karena kekalahan," kata Siregar, agak lantang. Untuk menghibur diri, beberapa pemain Piala Thomas Indonesia jalan-jalan di Pusat Perbelanjaan Shinjuku, yang dikenal sebagai tempat cuci mata yang komplet. Esok harinya, rombongan pemain menghibur diri di Tokyo Disney Land. Jadwal kepulangan, yang sedianya direncanakan seusai final, dipercepat. Seluruh pemain dan rombongan kembali ke Jakarta pada Sabtu pekan lalu, sehari sebelum final Piala Thomas. Secara jujur, seluruh ofisial Indonesia juga tampak tersengat dengan kekalahan ini. Aburizal Bakrie, salah satu pengurus teras PBSI, mengadakan rapat kilat yang hasilnya memutuskan untuk menelepon Ketua Umum PBSI Try Sutrisno -- yang sedang berada di Kuala Lumpur dalam rangka KTT Selatan-Selatan -- agar membatalkan kepergiannya ke Tokyo. Kabarnya, rapat itu juga ditandai dengan adu pendapat yang sengit tentang kekalahan tim Piala Thomas Indonesia atas Malaysia. Tim Piala Uber memang sudah lebih dulu keok. Di semifinal, ditundukkan Cina tanpa balas, 0-5. Kekuatan putri Indonesia memang masih jauh di bawah Cina. Susi Susanti, juara All England 1990, yang kalah dari Tan Jiuhong di partai tunggal pertama, bukan suatu kejutan. Ketika turun bertanding itu, rekor perjumpaan mereka adalah 1-3 untuk Jiuhong. Lalu Huang Hua, finalis All England 1990, jelas lebih punya "gigi" dibandingkan dengan Minarti Timur. Begitu pula dengan Zhou Li yang menundukkan Sarwendah. Pemain tunggal ketiga Indonesia ini sudah agak kurang in di arena internasional. Dia absen sekitar setahun lamanya. Kehilangan tiga tunggal, sebenarnya pemain ganda Indonesia masih ngotot, walau tak ada artinya. Baik Rosiana Tendean/Erma Sulistyaningsih maupun Verawaty/ Yanti Kusmiati bertarung rubber-set sebelum menyerah dari Yao Fen/Lai Cai Qin dan Guan Weizhen/Shi Fangjin. Walhasil, kendati sudah ditinggal dua ratu bulu tangkisnya, Han Aiping dan Li Lingwei, tim Piala Uber Cina tetap perkasa. Di babak final, tim putri Cina -- yang sempat dikalahkan 1-4 oleh Korea Selatan di babak penyisihan di Nagoya -- bangkit membalas dengan memenangkan pertarungan dengan skor 3-2. Dengan empat kali berturut-turut menggenggam Piala Uber, Cina mematahkan rekor Jepang yang mencatat rekor tiga kali berturut-turut merebut Piala Uber. Secara keseluruhan, Jepang masih unggul dengan lima kali memegang piala itu. Indonesia cuma sekali, yakni pada 1975. Sedangkan di bagian putra, sejarah baru juga dicatat regu Piala Thomas Cina. Di babak final, Cina menghantam Malaysia dengan 4-1. Satu-satunya kekalahan Cina diderita ganda terkuat mereka, Tian Bingyi/Li Yongbo, dari Razif/Jailani Sidek. Dengan demikian, Cina sanggup mempertahankan Piala Thomas sampai lima kali berturut-turut, sejak 1986. Indonesia juga pernah memegang piala itu lima kali, tapi tak berturut-turut. Peta kekuatan bulu tangkis Asia -- dan dunia -- agaknya semakin menjauh dari Indonesia. Di masa depan, Korea Selatan tak mustahil akan menjadi "macan baru" di bidang ini. Pelatih tim Piala Uber Kor-Sel, Lee Ok Hyun, menjelaskan secara rinci bagaimana pembinaan pemain bulu tangkis di negerinya. Program menjaring pemain dilakukan lewat kejuaraan nasional berbagai kelompok umur, sampai enam kali setahun. Banyak pemain mewakili sekolah atau universitas tempat mereka belajar. Yang paling top dan tambang pemain adalah Korea College Physical Education, tempat Hwang Hye Young berasal. Selain itu, ada sekitar 130 klub bulu tangkis yang kebanyakan didukung oleh perusahaan-perusahaan besar. Kompetisinya ketat. Klub besar yang terkenal adalah Pushan City, yang melahirkan Lee Young Suk. Klub besar lainnya adalah Korean Tobacco and Ginseng Company yang dilatih sendiri oleh Lee Ok Hyun. Menurut Lee, pemain yang lolos seleksi di tim nasional diberi beasiswa dan uang saku yang cukup. Para pelatih digaji 1 juta won atau sekitar Rp 2,5 juta sebulan. Sasaran Kor-Sel nantinya adalah Asian Games 1990 Beijing dan Olimpiade Barcelona 1992. Tantangan buat Indonesia, jika tak ingin prestasi terbaiknya di bulu tangkis di masa lalu cuma jadi dongeng buat anak-cucu. Toriq Hadad (Jakarta) dan Rustam F. Mandayun (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini