MALAM Minggu tak lagi kelabu di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka, yang terjebak antara menonton dan tidak menonton lagu cengeng di televisi, mulai Juli nanti akan terhibur oleh senyum Magnum PI. Berdada bidang dan berhati emas, penyelidik dari Hawaii ini terbukti sanggup membuat penonton duduk manis di depan pesawat televisi mereka. Sedangkan di Bandung, gerimis sore jadi terlupakan lantaran ulah nenek-nenek Golden Girls. Dan acara malam tak lagi harus ditutup dengan nyanyian Rayuan Pulau Kelapa. Kalau suka, bisa diperdengarkan Avenging Kung Fu Monkey of Shaolin Strikes Again atau Hell Commandos, Part II. Inilah janji Menteri Penerangan Harmoko tiga tahun silam, ketika Siaran Saluran Terbatas (SST) dan televisi swasta sedang ramai-ramainya dibicarakan orang. "Bila hasil SST di Jakarta dianggap baik setelah satu tahun, ada kemungkinan akan didirikan pula stasiun televisi swasta lainnya di Medan, Semarang, dan Surabaya," ujarnya waktu itu. Seakan menepati janji, bulan Juli dan Agustus ini dua televisi swasta akan melakukan siaran uji-coba. Di kota Pahlawan, Surabaya Contra Televisi (SCTV) sibuk mempersiapkan siaran percobaan, yang rencananya berlangsung tiga bulan. "Saat ini kami sedang merampungkan pemasangan menara dan peralatan siaran," tutur Ir. Agus Mulyanto, Direktur Teknik SCTV. Ia optimistis bisa mulai mengudara, Juli ini juga. SCTV memang tidak mulai dari nol. Investasi sebesar Rp 150 milyar, sekaligus didukung nama yang tak kalah besar: pengusaha kondang Sudwikatmono. Sedangkan untuk urusan teknik, SCTV bekerja sama dengan Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). "Kebetulan, peralatan yang kami pakai serupa dengan milik RCTI di Jakarta," Agus mengungkapkan. Begitu pula dalam masalah mata acara. "Untuk tahap percobaan, sebagian dari paket-paket siaran akan kami ambil dari RCTI," Agus berterus-terang. "Tentunya, setelah kami edit lebih dulu. Selebihnya merupakan produksi sendiri." Melalui studionya di kawasan Darmo Permai, Surabaya, SCTV bisa menjangkau pemirsa sampai radius 60-80 kilometer. Artinya, sebentar lagi ibu-ibu di Gresik, Bangkalan. Mojokerto, Sidoarjo, dan Lamongan akan mencontoh nyonya-nyonya di Jakarta yang kecanduan Miami Vice. Acara hiburan dan, konon, pendidikan memang mendapatkan jatah waktu terbesar di siaran SCTV. Sisanya untuk berita dan promosi, masing-masing 15%. Dengan strategi ini, Agus yakin bisa menjaring 100 ribu pelanggan pada awalnya. "Setelah Jakarta, pasar Surabaya yang paling potensial. Karena alasan itulah kami membangun televisi swasta di sini," katanya. "Potensi pasar yang besar di Surabaya dan Jawa Timur ini mendorong perusahaan untuk mengiklankan produknya di SCTV," kata Agoes lagi. Dari sekarang, sudah dipersiapkan dekoder yang harga sewanya Rp 30 ribu sebulan dan uang jaminan Rp 70 ribu. Padahal ketentuan pemakaian dekoder bagi SCTV sampai hari ini belum jelas. "Kami masih membicarakannya dengan Pemerintah," demikian keterangan Mohammad Noor, Komisaris Utama SCTV, yang dulunya pernah menjadi Gubernur Jawa Timur. Stasiun televisi swasta di Bandung juga mengalami hal serupa. Kendati siap melakukan siaran percobaan bulan Agustus nanti, ketentuan pemakaian dekoder masih ditunggu-tunggu. Tidak apa. Dari segi biaya, siaran bebas alias siaran tanpa dekoder menghemat ongkos. Tak perlu membuang jutaan dolar untuk dekoder seperti yang dahulu dilakukan RCTI. Secara teknis, karena televisi swasta ini dikelola dan mendapatkan paket program 100% dari RCTI Jakarta, siaran bebasnya lebih sederhana. Cukup memanfaatkan pemancar relay RCTI di Bogor, pemirsa di Bandung dapat menikmati siaran dari Jakarta. Tapi ini tidak dibenarkan oleh Pemerintah. "Hanya TVRI yang boleh melakukan hal itu. Televisi swasta Bandung tidak boleh merelay RCTI Jakarta," Direktur Jenderai Radio, Televisi, dan Film Drs. Alex Leo Zulkarnaen menegaskan. Toh Menteri Penerangan Harmoko mengatakan bahwa kebijaksanaan dekoder seperti di Jakarta akan dipertimbangkan lagi untuk daerah lain. "Setiap daerah kan punya ciri dan cara sendiri yang dianggap cocok," katanya. Perkembangan baru ini berkaitan dengan kabar bahwa TVRI, dalam waktu dekat, akan mempunyai siaran khusus komersial. Artinya, di samping programa 1 dan 2 yang ada sekarang, akan ada programa ketiga yang bersaing dengan televisi swasta merebut pemirsa dan iklan. Kalau betul, maka dekoder tidak lagi menguntungkan televisi swasta. Sebab, selain mampu menjangkau 6,4 juta pesawat televisi di pelosok Indonesia, TVRl saat ini cuma mengenakan iuran sebesar Rp 2.500 per bulan. Sedangkan RCTI, dengan berbagai kiat, bahkan masih sulit memenuhi targetnya untuk akhir tahun lalu. Mudah ditebak, siapa yang akan memenangkan persaingan. Sebaliknya, siaran bebas menumbuhkan persaingan sehat. Ongkos iklan dan produksi bisa ditekan, sedangkan pilihan bagi pemirsa semakin luas. Yang jelas, dengan atau tanpa dekoder, tampaknya RCTI sudah lebih siap. Pengelolaan televisi swasta di Bandung yang dipercayakan kepada RCTI, menurut Harmoko, karena "RCTI telah membuktikan dirinya berhasil". RCTI juga sering disebut sebagai contoh, bagaimana mendirikan televisi swasta. Selain Surabaya dan Bandung, satu lagi daerah yang akan diramaikan oleh televisi swasta adalah Denpasar, Bali. "Kota ini strategis, mengingat kebutuhan informasi orang-orang asing yang berkunjung ke sana," ujarnya. Dengan begitu, si pelancong dari California tak perlu merasa rendah diri, ketika kawannya dari Bangkalan mendiskusikan masalah cinta si Laura, dalam episode terakhir Santa Barbara. Y.S., Moebanoe M., Riza S., Muchlis (Jakarta), A. Taufik (Bandung) & Jalil H. (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini