TAK kurang 20.000 penonton yang memadat di stadion Menteng,
Jakarta hari Kamis, 3 Agustus malam berdebar-debar menantikan
saat penobatan juara kompetisi Persija. 2 kesebelasan, Jayakarta
dan Indonesia Muda, yang me-ngantongi nilai kemenangan sama 48
untuk 29 kali pertandingan kecuali jumlah gol, kembali
berhadapan di lapangan. Perbandingan gol buat Jayakarta adalah
102-17. Untuk IM 67-17.
Bagi Jayakarta, dalam putaran pertama mcngalahkan IM 2-0, hari
itu menang atau seri tak ada bedanya. Tapi bagi IM seri atau
kekalahan akan menutup peluang jadi juara. Target mereka harus
menang.
Tapi tekad IM untuk menang itu, sayang tidak ditopang lewat
cara-cara taktis. Mereka bermain gugup dan tegang. Padahal buat
mereka, hasil seri atau kebobolan 100 gol pun tak ada
pengaruhnya. Tetap di tempat kedua. Dalam posisi seperti ini,
mereka seharusnya bermain habis-habisan. Namun itulah yang tidak
dilakukan. Serangan yang mereka lancarkan ke daerah Jayakarta
sama sekali tidak konsistens.
Mengapa Suparyono?
Gerakan mengurung Jayakarta dalam areal permainan yang sempit
memang mereka lakukan. Tapi sifatnya sporadis. Begitu bola
dikuasai musuh mereka tampak gelagapan dalam menyelamatkan
pertahanan. Untuk kembali memegang kendali permainan dibutuhkan
lagi waktu yang panjang. Andaikata IM bisa membaca kegugupan
Jayakarta, bagi mereka kalah berarti kehilangan gelar, mungkin
keadaannya jadi lain.
Lihatlah permainan back kanan Jayakarta, Harry Muryanto. Ia
kelihatan seperti kehilangan sentuhan malam itu. Berkali-kali
lawan lolos dari penjagaannya. Agak disayangkan kelemahan itu
tidak bisa dimanfaatkan IM dengan baik. Sekiranya tugas untuk
menerobos rusuk kanan pertahanan Jayakarta itu diserahkan pada
Robby Binur bukan Suparyono, barangkali kiper Sudarno akan lebih
repot. Sekalipun Binur sedikit kaku untuk posisi kiri luar,
namun gebrakannya lebih bermutu ketimbang Suparyono. Ia lebih
lincah dan berani menghadapi lawan dalam permainan keras.
Kalaupun Binur mau tetap dipasang sebagai penyerang kanan,
kenapa tidak Junius Seba saja yang dipasang menempati posisi
Suparyono dari awal? Bukankah ketimpangan pola penyerangan IM
lebih banyak terletak pada kelemahan di rusuk kiri?
Akan Jayakarta persoalannya tak begitu banyak, memang. Buat
mereka cuma bagaimana menjaga gawang jangan sampai kebobolan,
dan kalah. Dalam kedudukan demikian, gaya permainan apalagi
kalau bukan pola 4-4-2 -- sistim yang mengutamakan pertahanan.
Mereka berhasil. Ketika wasit Muhiddin meniup peluit panjang,
tanda permainan usai, pada skor kacamata (0-0) jadilah mereka
jayakarta pada putaran kompetisi 1975-1978. Sukses ini adalah
keberhasilan kedua bagi Jayakarta di Divisi I. Gelar pertama
mereka rebut dalam putaran 1973-1975.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini