MOBIL merah bernomor 206 itu tak letih-letih meraung. Sesekali ia terbang di atas gundukan pasir dan batu. Dengan kecepatan tinggi, tak mudah menghindari onggokan batu atau kubangan pasir di Gurun Sahara. Tapi Stephane Peterhansel, 37 tahun, yang berada di belakang kemudi mobil Mitsubishi Pajero Evolution, selalu awas dan lihai mengatasi jebakan maut.
Hasilnya luar biasa. Dibantu Jean-Paul Cottret di samping kemudi, pembalap dari tim Mitsubishi ini mampu menjadi juara pada lima etape. Pada enam etape lainnya, Peterhansel berada di urutan kedua. Prestasi ini membuatnya berada pada puncak klasemen sampai akhir pekan silam dan sulit ditandingi pembalap lain.
Satu-satunya pesaing terdekatnya cuma Hiroshi Masuoka, 43 tahun, rekannya satu tim. Masuoka, yang mengemudikan jenis mobil yang sama, merupakan juara reli Dakar tahun lalu.
Jutta Kleinschmidt? Wanita Jerman berusia 41 tahun ini memang pernah menjadi juara balapan di gurun ini dua tahun silam dengan memakai mobil Mitsubishi. Tapi kali ini, dengan mobil Volkswagen Desert Nardo buatan negerinya sendiri, ia tampil kagok dan tak bisa bicara banyak.
Nasib lebih malang dialami oleh pembalap Kenjiro Shinozuka, 54 tahun. Juara reli Dakar 1997 ini masih tergabung dengan tim Mitsubishi tahun lalu. Tapi kali ini dia mengendarai mobil Nissan. Hasilnya? Mengenaskan. Ia mengalami kecelakaan di etape delapan, yang membuatnya harus mundur dari lomba.
Peterhansel sendiri semula hanya dilirik dengan sebelah mata di arena reli mobil. Kendati begitu, ia bukan orang baru di reli Dakar, yang berjarak tempuh lebih jauh ketimbang Sabang hingga Merauke bolak-balik. Ia sebelumnya sudah menjadi raja di kelas sepeda motor. Hingga kini ia masih memegang rekor enam kali juara reli Dakar di kelas motor. Prestasi ini diperolehnya hanya dalam kurun waktu delapan tahun (1991-1998).
Yang paling dramatis, perjuangan untuk meraih gelar juara ke-6 pada 1998. Saat itu ia sudah terjatuh pada hari kedua perlombaan. Meski cederanya cukup parah, ia ngotot meneruskan lomba untuk memecahkan rekor Neveau (yang pernah menjuarai lima kali reli Dakar). Dengan terus menelan obat pembunuh rasa sakit, Peterhansel berhasil mewujudkan mimpinya. Di akhir lomba, ia disambut istri dan putranya. Peterhansel tidak mampu menahan tangisnya. "Mentalku jatuh. Aku tahu tidak mungkin lagi berlomba di kelas motor," tuturnya.
Lahir di Vesoul, kota kecil di Prancis, Peterhansel sudah mulai ngebut di atas motor sejak usia delapan tahun. Peter mengikuti beberapa kali lomba motor anak-anak dua kali sebulan. Saat kedua orang tuanya berpisah, dia diasuh kakek-neneknya. "Mereka mengasuhku dengan sangat liberal," katanya.
Pernah pula ia tergila-gila pada olahraga skateboard. Olahraga dari Amerika Serikat itu begitu ngetop di daerahnya. Prestasinya lumayan. Pada usia 13 tahun ia sudah bisa menjuarai lomba skateboard se-Prancis.
Hanya, pada usai 15 tahun, Peterhansel memutuskan berpacu di atas sepeda motor. Dia merasa tak bakal menjadi terkenal jika hanya berada di atas papan beroda. Sekolah pun ditinggalkannya dan ia memilih menjadi pembalap profesional. Ayahnya mengizinkan, tapi ia hanya diberi waktu setahun untuk membuktikan keseriusannya. "Kalau gagal, saya akan menjadi tukang ledeng (perusahaan yang sudah dirintis keluarganya)," ujarnya.
Dia bernasib mujur. Buktinya, pada 1987 tim Yamaha mengajaknya mencoba berpacu di reli Paris-Dakar. Meski ragu-ragu pada kemampuannya sendiri, Peterhansel langsung mengiyakan. Selama beberapa tahun dia menimba pengalaman dari ajang maut ini. Akhirnya impiannya untuk menjadi pembalap motor nomor satu di reli Dakar diraihnya pada 1991. Rahasianya? Katanya, "Saya sebisa mungkin menghindari sentuhan dengan tanah." Kemenangan ini sekaligus mengangkat kejayaan Yamaha, dan menggantikan dominasi Honda saat itu.
Dua tahun kemudian Peterhansel mencoba tantangan baru. Dia mengikuti kejuaraan adu mobil Andros Trophy. Bersama tim Nissan, ia berlomba di jalur es di Pegunungan Val Thorens, Prancis. Prestasi terbaiknya hanya sampai peringkat tujuh. Karena kapok, ia akhirnya berkonsentrasi pada balapan sepeda motor hingga mengumpulkan prestasi yang menjulang di reli Dakar.
Setelah mengalami cedera parah pada lima tahun silam, Peterhansel tak punya pilihan lain. Dia memutuskan "berganti kuda", pindah ke kelas mobil. Kebetulan sebuah pabrik di Prancis bersedia mensponsorinya dengan membuatkan mobil khusus untuknya. Tim yang dipimpinnya sendiri diberi nama Mega Desert. Kendati dengan dana cekak, ternyata Peterhansel mampu menempati posisi kedua.
Barulah pada 2001, dia direkrut oleh tim yang lebih kuat, Nissan. Dia berpacu di reli Dakar dengan mengendarai Nissan Terrano. Tapi hasilnya malah lebih buruk. Peterhansel cuma mampu merebut posisi 12.
Ternyata keputusannya pindah ke tim Mitsubishi tahun ini membawa keberuntungan. Dengan mobil barunya yang tokcer, ia mampu memimpin lomba kendati sebelumnya tak terlalu diperhitungkan.
Sampai akhir pekan lalu, sudah 15 etape (dari seluruhnya 17 etape) yang ditempuh para pembalap. Jika Peterhansel tidak bernasib sial, misalnya mengalami kecelakaan, dipastikan ia akan tampil menjadi juara. Soalnya, selisih waktu dengan Hiroshi Masuoka?saingan terdekatnya?cukup lama, sekitar setengah jam.
Sama-sama berasal dari tim Mitsubishi, Masuoka sebetulnya lebih berpengalaman. Anak kesayangan tim Mitsubishi ini cukup baik prestasinya dalam tiga tahun terakhir. Dua tahun lalu ia menempati peringkat kedua. Tahun lalu, dia tercatat sebagai pembalap Jepang kedua yang pernah menjuarai reli Dakar ini setelah Kenjiro Shinozuka. "Saya tidak menganggap Peterhansel sebagai tantangan," kata Masuoka.
Dianggap remeh oleh rekannya, Peterhansel tak berang. "Saya memang termasuk anak kemarin sore di kelas mobil," ujarnya. Tapi gurun di Afrika telah menjadi saksi, sekarang orang Prancis ini telah menjelma menjadi seorang pereli yang disegani.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini