Sudah sebulan lebih Gerakan Aceh Merdeka dan TNI menandatangani penghentian permusuhan di Nanggroe Aceh Darussalam. Namun selama sebulan itu paling sedikit 12 warga sipil tewas. Selebihnya, tiga anggota GAM dan lima anggota TNI/Polri. Angka itu di luar korban luka-luka.
Tapi, meski ada korban sebanyak itu, David Gorman, Manajer Program Henry Dunant Centre, menyatakan bangga. Dia optimistis perdamaian akan tercipta di Aceh. Lo?
Dari segi statistik, jumlah korban memang jauh menurun. Sebelum perjanjian damai diteken pada 9 Desember 2002 di Jenewa, Swiss, angka korban tewas jauh lebih besar. Selama sembilan bulan, rata-rata 87 rakyat sipil dilaporkan tewas setiap bulannya. Korban TNI/Polri dan GAM sejak Juni 2002 tercatat 270 orang.
Jelas, kehadiran Henry Dunant Centre bersama Komite Keamanan Bersama-nya bisa dibilang sukses menurunkan angka kematian secara drastis. Sayang, sepekan terakhir GAM dan TNI/Polri tampaknya bosan berdamai. Kontak senjata lagi-lagi terjadi, entah siapa yang memulai.
Sebut saja insiden Lokop dan Kluet Selatan, yang menewaskan tiga anggota militer Indonesia. Indonesia mencak-mencak dan menuding GAM melanggar kesepakatan. Tapi GAM punya alasan lain. Utusan seniornya di Komite Keamanan Bersama, Sofyan Ibrahim Tiba, menyatakan penghadangan dan penembakan yang dilakukan pihaknya merupakan upaya bela diri. "TNI memasuki wilayah GAM tanpa pemberitahuan," kata Tiba. Sejak 25 Desember 2002 memang telah disepakati adanya pertukaran informasi soal pergerakan pasukan kedua pihak.
Tapi Brigjen (Mar.) Safzen Nurdin, utusan pemerintah Indonesia, tak mau kalah. Menurut dia, anggota TNI yang ditembak itu hanya sedang mengunjungi rekannya di pos lain. "Kalau tiap kita jalan lalu diklaim melanggar wilayah GAM, wah bagaimana itu?" kata Safzen.
Komite yang dipimpin Mayor Jenderal Thanongsak Tuvinan menghadapi masalah lebih berat dari sekadar itu. Perang argumentasi antara kedua pihak ini tak jarang terjadi. "Pusing," salah seorang anggota mengeluhkan rapat harian komite, "Satu masalah saja pembahasannya bisa berlarut-larut."
Belum lagi urusan pergerakan tim pemantau di daerah-daerah. Soalnya, ada kesepakatan, semua kegiatan harus lewat persetujuan "pusat" alias komite yang bermarkas di Banda Aceh. Tak aneh kalau urusannya jadi lama, berbelit-belit, dan akhirnya menuai protes. Sofyan Ibrahim Tiba menuding anggota pemantau asal Filipina tidak netral hanya gara-gara mereka terlambat mengantisipasi jatuhnya korban dalam aksi demonstrasi Suara Rakyat Aceh (Sura) pada 9 Januari lalu, yang menuntut penarikan TNI/Polri dari Aceh.
Dalam peristiwa itu, tiga warga sipil dilaporkan kena tembak pasukan Brimob yang menghadang laju gerak massa menuju Lapangan Hiraq, Lhokseumawe. Hasil visum Rumah Sakit Cut Meutia terhadap luka-luka yang dialami Anwar bin Ilyas, Abdullah, dan Irhami bin Ismail menyatakan dua di antaranya akibat tembakan. Sedangkan telapak kaki Anwar robek akibat benda tajam.
Namun, Kepala Polres Aceh Utara, AKBP Eko Daryanto, membantah keras laporan visum itu. Analisis forensik polisi, kata dia, membuktikan luka tiga warga Kecamatan Geudong dan Syamtalira Aron itu bukan karena peluru. "Diduga keras korban terjatuh atau terkena benda tajam," katanya.
Dokter Rumah Sakit Cut Meutia, dr. Tambah, menyatakan tim medis akan segera melakukan operasi setelah pemotretan luka korban. "Kami masih harus melakukan rontgen untuk memastikan ada-tidaknya proyektil yang bersarang di dalam tubuh korban," ujarnya seusai menerima tim pemantau yang datang sehari setelah kejadian.
Tapi, ketika dihubungi sepekan kemudian, ia malah tak berani mengumumkan hasil rontgen itu. Alasannya, ia harus berkonsultasi dulu dengan direktur rumah sakit karena menyangkut kebijakan lembaga. Padahal sebelumnya ia berani mengumumkan hipotesisnya.
Alhasil, Komite pun belum berani memutuskan ada pelanggaran atau tidak dalam bentrokan antara demonstran dan Brimob itu. "Belum bisa dikonfirmasi apakah itu luka tembak atau bukan," kata Tuvinan.
Peristiwa yang dikenal sebagai kasus Geudong itu memang jadi ganjalan. Tidak saja bagi Brimob yang dituduh menembak, tapi juga buat anggota asal Filipina yang dicap tidak netral. Padahal anggota tim pemantau yang datang ke Lhokseumawe tak cuma berasal dari Filipina. Mayor Junie Latonero, yang mendatangi para korban kasus Geudong, misalnya, berasal dari Thailand.
Timbul pertanyaan, mengapa hanya Filipina yang dituding tidak netral. Ternyata protes GAM ini bukan hal baru. Sofyan Tiba mengungkapkan jauh sebelum perjanjian ditandatangani, mereka sudah meragukan independensi tim dari negara tetangga itu. Soalnya, Filipina pernah mendapat bantuan Indonesia dalam kasus Moro. "Besar kemungkinan mereka akan menerapkan politik balas budi kepada Indonesia," katanya.
GAM menawarkan dua alternatif soal penarikan anggota dari Filipina, yaitu diganti dengan tentara dari Brunei Darussalam dan Norwegia, atau seluruh tim pemantau yang berjumlah 48 orang diisi tentara Thailand saja. Padahal saat ini baru ada enam personel dari Filipina, 18 sisanya belum datang.
Brigjen Nagamora P. Lamodong, Wakil Ketua Komite yang berasal dari Filipina, menyesalkan tuduhan itu. Sebab, mereka dikirim ke Aceh berdasarkan tingkat profesionalitas, bukan untuk kepentingan pemerintah Indonesia. Tak tanggung-tanggung, bantahan juga datang dari Istana Presiden Gloria Macapagal-Arroyo. "Kami diundang ke sana dengan alasan kami netral, dan itu adalah asumsi yang tepat," kata juru bicara Malacanang, Rigoberto Tiglao.
Gorman pun menjamin netralitas pemantau dari Filipina. Sebab, mereka bekerja untuk Henry Dunant Centre, bukan untuk negara asalnya. Mereka bukan wakil Filipina. Mereka dipilih sebagai individu berdasarkan tingkat profesionalitasnya.
Dalam negosiasi menjelang penandatanganan perjanjian, sebetulnya GAM sudah menolak dua negara ASEAN lain, yaitu Malaysia dan Singapura. Kedua negara ini dianggap tidak mendukung perjuangan GAM. Sampai akhirnya tercapai kesepakatan mengundang Filipina dan Thailand sebagai pemantau.
Masalah ini membuat Wirjono Sastrohandojo, ketua juru runding pemerintah Indonesia, merasa aneh karena perjanjian sudah diteken tapi sebulan kemudian sudah diminta diubah lagi. Meski begitu, dia setuju saja jika anggota Filipina diganti dari Thailand seluruhnya demi perdamaian di Aceh. Menurut dia, Departemen Luar Negeri tengah mencari jalan keluarnya.
Sesungguhnya, persoalan bukanlah dari mana asal tim pemantau itu, melainkan efektif-tidaknya mereka di sana. Koordinator Suara Rakyat Aceh, Nurul al-Khalil, melayangkan kekecewaannya karena kasus Geudong belum juga terungkap. Dia menilai Komite Keamanan Bersama lamban dan tidak cepat bereaksi.
Kali ini penilaian itu ada benarnya. Salah seorang anggota tim pemantau mengakui lambatnya gerak mereka dalam menyelidiki setiap insiden yang terjadi. Birokrasilah penyebabnya. "Setiap hendak ke lapangan, mereka harus selalu melapor ke komite di Banda Aceh," ucap sumber TEMPO itu.
Kalau begitu, apakah Gorman masih optimistis perdamaian akan tercipta di Aceh? Soalnya, kontak tembak terus terjadi, sementara pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Komite pun belum ada yang rampung. Dari 28 kasus pelanggaran serius yang terjadi, baru enam yang diinvestigasi. Dalam situasi yang belum sepenuhnya saling percaya seperti sekarang, tampaknya masih jauh harapan bahwa tahap demiliterisasi dan peletakan senjata GAM dapat dilakukan bulan depan.
Tjandra D.H., Zainal Bakri, dan Yuswardi A. Suud (Aceh)
--------------------------------------------------------------------------------
Korban setelah Berdamai
11 Desember 2002
Darlina (30) ditemukan tewas tertembak di jalan Lhok Aman, Aceh Utara. Wanita ini adalah korban sipil pertama pasca-Perjanjian Damai.
Pelaku: Belum diketahui
12 Desember 2002
Bulhaqki bin Abdul Rahman (27) ditemukan tewas tertembak di rumahnya di Bireun.
Pelaku: Tidak diketahui
21 Desember 2002
Dua polisi yang sedang naik motor di Kecamatan Peudada, Bireun, ditembak. Anggota resimen III Brimob Baratu Ertik Nava tewas.
Pelaku: Tidak diketahui
22 Desember 2002
Penghadangan truk militer di Desa Jambo Papeun, Kluet Selatan, Aceh Selatan. Dua anggota Kopassus, Praka Rhomdon dan Pratu Zulfahmi, tewas. Empat lainnya cedera.
Pelaku: Sekelompok pria bersenjata (GAM)
9 Januari 2003
Pasukan Brimob menghadang warga yang akan berunjuk rasa di Geudong, Kecamatan Samudera, Lhokseumawe, Aceh Utara. Tiga warga, Anwar bin Ilyas (23), Abdullah (20), dan Arhamil (18), luka tembak di tangan atau kaki.
Pelaku: Anggota Brimob. Tapi Kapolres Aceh Utara membantah.
15 Januari 2003
Enam anggota Yonif Lintas Udara 431/Kostrad yang melintasi Desa Rampah, Lokop, Aceh Timur, dihadang 10 pria bersenjata. Prada Warsono tewas, dan Letda Inf. Dian Fitriansyah tertembak GAM.
16 Januari 2003
Empat anggota TNI dihadang di Desa Lhong Tunong, Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Anggota Yonif 521/Kostrad Praka Hadi tertembak GAM.
Sumber: Komite Keamanan Bersama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini