Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sambung-menyambung Diambil Tetangga

Setelah Pulau Sipadan dan Ligitan "diambil" Malaysia, tak mustahil pulau lain juga diambil tetangga, jika kita tidak waspada.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGU yang wajib dihafal oleh anak-anak sekolah ada yang liriknya begini: "Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia…." Kita sejak dini diajari bahwa negeri yang bernama Indonesia ini terdiri atas kumpulan pulau. Berapa sebenarnya jumlah pulau itu? Ini yang simpang-siur, tergantung instansi mana yang mengeluarkan datanya. Sepintas memang tampak aneh, padahal tidak juga. Masalahnya, ada pulau yang tiba-tiba saja menyembul dari laut, mula-mula kecil tak berarti. Ini terutama di perairan gugusan gunung berapi. Tapi ada pula pulau yang hilang karena tanahnya yang berpasir digali terus-menerus, sampai kemudian tenggelam. Pemerintah memang sudah lama meremehkan pulau yang banyak itu. Barangkali karena kecil, tidak berpenghuni lagi, atau penghuninya nelayan musiman, tidak jelas identitasnya. Sikap meremehkan ini semakin kentara dengan tidak adanya nama yang melekat di pulau itu. Menurut pakar hukum laut dan kelautan Hasjim Djalal, dari 17.508 pulau yang terdaftar, hanya 6.000 yang sudah diberi nama. Jadi, yang tak bernama jauh lebih banyak, ada 11.508 buah. Syukurlah ada kasus Pulau Sipadan dan Ligitan. Meskipun kedua pulau ini akhirnya "lepas" ke tangan Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional, setidaknya kasus ini memberikan pelajaran bahwa kita mau tak mau harus merawat pulau-pulau itu. Kita baru sekarang menyadari pentingnya pulau yang berada di perbatasan, betapapun pulau itu kecil dan tanpa nama. Kalau pulau ini menjadi sengketa dan kita tak bisa mempertahankan tanah air yang kita remehkan sejak dulu ini, berbagai persoalan akan muncul. Salah satunya adalah garis batas perairan internasional dan garis batas wilayah dengan negara tetangga. Sipadan dan Ligitan dulunya juga pulau yang kita sepelekan. Nelayan Indonesia dan nelayan Malaysia hidup rukun di sana, tanpa peduli status pulau itu. Kemudian pemerintah Malaysia membangun berbagai sarana, yang dimulai dari mercu suar, lalu berbagai fasilitas di dalamnya. Ketika semuanya itu sudah rapi, kita baru ngeh dan sengketa pun berlarut-larut. Mahkamah Internasional akhirnya memihak Malaysia karena faktanya pemerintah Malaysia itulah yang "memelihara" pulau itu. Kita tidak memperhatikannya, kecuali mencantumkannya di dalam peta. Apakah kasus ini tak akan berulang? Belum ada jaminan karena pemerintah tampaknya masih sibuk dengan urusan-urusan besar di Pulau Jawa. Ada beberapa pihak yang khawatir, pulau-pulau di perbatasan akan "sambung-menyambung" lepas ke negara tetangga dengan pola yang sama dengan Sipadan-Ligitan. Di perairan Kalimantan Barat ada pulau kecil yang penghuninya kebanyakan warga Thailand. Penduduk Pulau Miangas, yang masuk gugusan Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, memang orang kita, tapi mereka setiap saat berhubungan dengan Filipina. Pulau Batek di Nusa Tenggara Timur dihuni oleh penduduk yang kini warga negara Timor Loro Sa'e. Jika kita tidak waspada, tinggal selangkah lagi pulau itu mungkin akan menjadi sengketa. Kalau kemudian Mahkamah Internasional memakai yurisprudensi Sipadan-Ligitan, lepaslah pulau itu. Bagaimana kita tidak cemas? Karena itu, saran Hasjim Djalal, mantan Duta Besar Keliling untuk Masalah Hukum Laut dan Kelautan, layak didengar, yakni mbok kita memelihara pulau-pulau itu, minimal membangun menara suar di sana, lengkap dengan petugasnya. Lalu limpahkan kepercayaan kepada pemerintah daerah terdekat untuk memberi pulau-pulau itu nama, termasuk membuatkan nama geografis seperti nama selat dan nama laut. Urusan ke dalam pun jangan dibuat enteng, misalnya ditentukan garis pembatas antardaerah provinsi. Kejelasan ini juga memudahkan TNI Angkatan Laut menjaga keamanan di laut, terutama di daerah-daerah perbatasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus