Andre Agassi dipuja umat Wimbledon, meski belum pernah juara. Ternyata, banyak pemain hebat yang tak pernah mampu jadi juara di lapangan rumput itu. Agassi akan termasuk di antaranya? "PENAMPILAN adalah segalanya," kata Andre Agassi. Maka, bergayalah dia dengan segala aksesorinya. Celana pendek blue jeans yang dipakai rangkap dengan celana ketat hitam atau merah jambu, raket warna-warni, kaus menyala yang norak, ikat kepala, dan anting-anting segi tiga membuat Agassi jadi raja aksesori di lapangan tenis. Tahun ini, di turnamen yang penyerahan pialanya selalu dilakukan oleh Ratu Inggris, ia agak tahu diri. Anak kota judi Las Vegas ini tampil putih-putih. Hanya raket warna pelanginya yang tetap menarik perhatian. Itu pun sudah cukup membuat publik Wimbledon tergila-gila dan memujanya, entah karena apa. Remaja London seperti terserang Agassi-mania, memburu pemuda tampan 21 tahun itu setelah berlatih atau bertanding atau ke mana saja Agassi melangkah. Tahun ini, untuk kedua kali setelah 1987, Agassi turun di turnamen paling akbar di dunia yang dimulai pada 1877 itu. Tapi, bicara prestasinya, nanti dulu. Jangankan di Wimbledon yang dikenal angker, satu gelar grand slam pun belum pernah dikantungi Agassi. Tiga kali ia tampil di final grand slam, tiga kali pula bintang iklan berbagai merk alat olah raga ini tewas. Di Prancis Terbuka, bulan lalu, ia dihabisi bekas rekan sekamarnya di Amerika, Jim Courier. Empat tahun lalu, di Wimbledon, ia dihajar Henri Laconte dari Prancis di babak pertama. Untuk juara kali ini pun, Agassi harus melewati dulu "mayat" jago-jago lapangan rumput, seperti Stefan Edberg (juara Wimbledon 1988 dan 1990) atau Boris Becker (juara 1985, 1986, dan 1989). Wimbledon barangkali bukan untuk Agassi. Lapangan rumput The All England Lawn Tennis itu dikenal punya misteri. Banyak pemain hebat dunia yang tak pernah mampu sekali pun merebut gelar juara. Sekalipun, di luar Wimbledon, berbagai turnamen telah dijuarai. Ivan Lendl adalah contoh petenis yang sial di Wimbledon. Tujuh kali masuk semifinal, tujuh kali pula ia gagal. "Wimbledon adalah Wimbledon, dan saya tak pernah memenangkannya," gerutu bintang Ceko ini. "Kalau boleh," ujar Lendl, "saya akan menukar saja delapan gelar grand slam yang sudah saya rebut dengan sebuah gelar juara di Wimbledon." Sekali waktu, saking frustrasinya, Lendl tak ikut Wimbledon dan memilih ikut sebuah turnamen golf untuk amal. Tapi ketika gelar juara Australia Terbuka, Prancis Terbuka dan Amerika Terbuka bisa direnggutnja, Lendl penasaran untuk menjajal lagi Wimbledon. Tahun lalu, petenis 31 tahun yang kini menetap di Amerika itu, untuk pertama kalinya dalam 13 tahun memutuskan untuk absen dari Prancis terbuka. Lendl konsentrasi penuh untuk Wembledon. Ia berlatih keras di lapangan rumput. Latihan keras Lendl mulanya ada hasilnya. Lendl memenangkan turnamen lapangan rumput Queen's Club, turnamen pemanasan menjelang Wimbledon. Lawan yang ditundukkannya di final adalah jawara lapangan rumput, Boris Becker. Lendl menang meyakinkan, dengan straight-set. Begitu masuk ke Wimbledon, lagi-lagi Lendl apes. Ia bukan saja kalah di semifinal dari sang juara tahun itu, Stefan Edberg, juga sekaligus kehilangan peringkat nomor satu dunianya, dilewati oleh Edberg. Orang Amerika berkulit hitam yang menjuarai Wimbledon pada 1975, Arthur Ashe, sampai pernah bilang, "Lendl akan mati kalau terus berusaha keras menjuarai Wimbledon." Pantulan bola di rumput sulit ditebak, itu yang membuat Lendl kewalahan (lihat boks). Tahun ini, Lendl yang ditempatkan di seeded ketiga mencoba lagi menggapai mimpi Wimbledonnya. Jago dunia lain yang selalu gagal di Wimbledon adalah Ken Rosewall. Bintang Australia ini sudah empat kali tampil di final, dan selalu kalah. Rosewall, pemain yang punya pukulan back-hand terbaik di dunia ketika itu, tampil di final Wimbledon pertama kali pada 1954. Ia kalah dari pemain yang namanya "tak berbunyi" waktu itu, Jaroslav Drobny asal Ceko. Dua tahun kemudian, Rosewall kalah di final dari Lew Hoad. Empat belas tahun sejak itu Rosewall tampil lagi di final, tapi harus menyerah di tangan rekan senegaranya yang lebih muda, John Newcombe. Rosewall tak gampang menyerah. Dan secara mengagumkan, orang Australia yang dijuluki "Mister Otot" karena punya pukulan keras ini muncul lagi di final Wimbledon tahun 1974. Bayangkan, Rosewall ketika itu sudah berusia 39 tahun. Untuk keempat kali, ia tumbang di final. Kali ini, di tangan anak muda Amerika 18 tahun yang penuh bakat, Jimmy Connors. Petenis "eksentrik" asal Rumania, Ilie Nastase, biang keributan di lapangan yang kemudian ditiru oleh John McEnroe atau Jimmy Connors, juga tak sekali pun memboyong gelar Wimbledon. Pada 1972, ia kalah di final dari Stan Smith. Tahun berikutnya, di bawah ancaman boikot oleh Asosiasi Tenis Profesional (ATP) gara-gara kelakuan buruknya, Nastase roboh lagi di tangan Sandy Mayer. Tiga tahun kemudian, giliran Bjorn Borg menamatkan harapan Nastase. Itulah gelar juara Wimbledon pertama untuk petenis flamboyan Swedia ini. Dan empat tahun sejak itu, Borg juga yang selalu memenangkan Wimbledon. Borg termasuk yang beruntung di Wimbledon, dengan lima kali meraih gelar juara. Martina Navratilova juga tergolong yang bernasib baik di lapangan rumput keramat itu, dengan sembilan kali gelar juara. Sedangkan bagi Yayuk Basuki, yang kalah di babak ketiga tahun ini dari Steffi Graf, piala Wimbledon memang baru impian. Tapi bukan tak mungkin, juga mimpi untuk Ivan Lendl atau Andre Agassi. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini