Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Junaidi Dan Bardosono

Junaidi abdillah diskors 2 tahun oleh bardosono atas keberangkatannya ke eropa tanpa izin ketua umum pssi. Setelah diadakan pertemuan,pemecatannya dibatalkan. Junaidi tak mau main lagi untuk pssi. (or)

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB Junaidi Abdillah menggelinding ibarat bola. Jumat, 3 September siang, perjalanan karirnya sebagai pemain gelandang nasional telah digadskan lain oleh Ketua Umum PSSI, Bardosono. Ia diskors untuk jangka waktu 2 tahun tidak jelas terhitung mulai tanggal berapa. Surat Keputusannya belum dikeluarkan secara resmi. Lantaran keberangkatannya ke Eropa guna mencoba mengadu peruntungan dalam salah satu klub prof di sana dilakukan tanpa seizin Ketua Umum PSSI (TEMPO, 11 September 1976). Keputusan 'lisan' Ketua Umum PSSI itu dengan cepat mencuri perhatian publik sepakbola. Mengingat karir yang dirintis Junaidi telah ditempuh dalam masa yang panjang. Ia dilahirkan di Ampenan, 21 Pebruari 194B. Menginjak usia 16 tahun, ia telah terpilih untuk memasuki Pelatnas Salatiga. Tiga tahun kemudian sudah memperkuat barisan pemain Persebaya dan PSSI. Terpilih sebagai pemain Pre Olimpik 1972 di Rangoon. Tapi ia tak beruntung memperlihatkan ketrampilan dirinya. Karena waktu itu lutut kanannya mendapat cedera. Lama tak menunjukkan keahlian dalam menggocek bola, tahun 1974 Junaidi yang menjadi karyawan Pertamina bergabung dengan klub Indonesia Muda. Sekaligus bermain untuk Persija. Ketika pelatih Wiel Coerver tiba di Jakarta, pertengahan 1975 untuk mengawali kontrak melatih team PSSI ke turnamen Pre Olimpik 1976, ia dengan cepat terpukau oleh permainan Junaidi. Lantas ia meluncurkan janji pada Junaidi, untuk mengembangkan ketrampilan sebagai pemain di salah satu klub di Spanyol atau Perancis. Janji menambah pengalaman itu dengan cepat menggiurkan Junaidi. Dan waktu keberangkatanpun sudah ditetapkan: selepas turnamen Pre Olimpik. Jumlah kontrak pun sudah diancar-ancar: 100.000 Gulden per tahun. Akhir Juni lalu, kesempatan yang dinanti Junaidi pun datang. Asisten pelatih, Wiem Hendriks mengirimkan tiket KLM untuk dirinya. Dan pesan telepon: segera berangkat. Minggu, 4 Juli 1976 Junaidi pun terbang ke Amsterdam menemui Hendriks dan makelar Hunseigh. Kesuntukan waktu itulah yang menyebabkan Junaidi tak sempat menemui Ketua Umum PSSI. "Bagaimana mungkin saya menemui Pak Bardosono. Karena beliau waktu itu berada di Yogya", cerita Junaidi. Ia mungkin benar. Sebab waktu itu Bardosono tengah dirundung musibah. Puteranya meninggal dalam suatu kecelakaan lalulintas di Jawa Tengah. Hingga ia lama tak menampakkan diri di Jakarta. Atas pertimbangan itu, Sekretaris Umum PSSI, Yumarsono lalu membuatkan 'surat pengantar' buat Junaidi. Agar dirinya tidak sampai terlantar di negeri orang. Dan atas dasar 'surat pengantar' itu pula, pejabat DKI dan tokoh sepakbola Jayakarta, drs F.H. Hutasoit mengulurkan tangan dalam menjamin keberangkatannya -- jaminan ini diperlukan oleh Jawatan Imigrasi bagi pegawai yang hendak ke luar negeri. Kedatangan Junaidi yang tiba-tiba di Amsterdam cukup mengagetkan Coerver. Ia mengharapkan Junaidi datang bersama PSSI Harimau yang melawat ke Eropa. Karena dengan demikian, lebih mudah baginya untuk menawarkan Junaidi kepada klub-klub di sana. "Di situlah kekeliruan saya", kata Junaidi. "Saya kira Coerver yang menyuruh saya supaya cepat datang. Sebab tiket pesawat dikirimkan oleh asistennya, Hendriks". Karena Junaidi sudah berada di Belanda, di sini ia tidak mungkin main dalam salah satu klub mengingat ada pembicaraan telepon antara Muelleman, Ketua KNVB dengan Bardosono mengenai keberangkatan Junaidi yang tanpa izin Ketua Umum PSSI. Bardosono minta agar Junaidi tidak diterima di sana. Lalu oleh Hunseigh, bintang PSSI ini diperkenalkan dengan klub Hokkeren di Belgia. Setelah melalui 2 kali test -- 1 kali dalam pertandingan -- dan penurunan tarif dari 100.000 Gulden menjadi 70.000 Gulden, pimpinan Lokkeren tak menunjukkan keberatan atas Junaidi. "Mereka dengan positif menerima saya", tutur Junaidi setelah di sana menunjukkan kebolehan bersama pemain Polandia, Lubanski yang dikontrak sebesar 500.000 Gulden. "Hanya saja karena di Lokkeren sudah ada 3 pemain asing (jumlah yang ditetapkan peraturan), maka saya diminta untuk menunggu. Sementara mereka menjual salah seorang dari 3 pemain asing tersebut". Dalam proses menanti itu (sekalipun Hunseigh tetap mau mengeluarkan biaya bagi dirinya), Junaidi selalu dihubungi per- telepon oleh pacarnya. Yang meminta kalau ia sudah tak berhasil di sana agar pulang saja ke Indonesia. "Kalau tidak karena dia (Junaidi keberatan menyebutkan nama pacarnya), saya tidak bakalan kembali", lanjut Junaidi yang akan mengakhiri masa lajangnya sebelum 31 Desember depan. Pertengahan Agustus lalu, ia memang kembali. Dan tetap bkerja di bagian Aviasi Pertamina di Halim Perdanakusuma setelah meninggalkan pekerjaan 1 bulan -- terhitung masa cutinya selama 2 minggu. Junaidi yang jatuh di kaki 'SK' Ketua Umum PSSI itu, kini tampak tengah bersiap untuk menyambut masa depannya di Pertamina. Pilihannya memang tepat. Sebab selama karirnya sebagai pemain nasional PSSI, ia tak mengantongi apa-apa -- kecuali uang Rp 1.000.000 dari turnamen Pre Olimpik. Dan uang itu pun dikasihkan kepada neneknya untuk biaya naik haji. Adakah pengakuan terbuka Junaidi -- selama ini ia tak pernah mendapat tegoran di PSSI -- akan melunakkan hati Bardosono? Bukan Minta Maaf Ia kemudian memang jadi lunak. Rabu, 15 September malam ia minta Junaidi datang ke rumahnya untuk menjelaskan duduk perkara, disertai ketua IM Jakarta Pusat, Charlie Pelupessy. Ketua Umum PSSI itu berkata, "kalau Junaidi menyatakan maaf, ia akan direhabilitir". Jika tidak, "ia akan tetap diskors". Kecuali untuk klub IM dan Pertamina. Tapi Junaidi tetap pada pendirian. Ia merasa tidak bersalah dengan kepergiannya ke Eropa. Sementara itu Sinar Harapan 17 September memberitakan bahwa pemecatan Junaidi sebagai pemain nasional telah dibatalkan oleh Ketua Umum PSSI, Bardosono. Alasan Bardosono: Junaidi telah datang untuk minta maaf. Tapi pada TEMPO, Junaidi menyanggah. "Saya datang ke rumah pak Bardosono hanya untuk menjelaskan duduk persoalan. Itu pun karena diminta. Bukan untuk minta maaf", kata Junaidi. Berita- rehabilitasi dirinya itu ternyata tidak mengagetkan Junaidi. Karena tekadnya padu sudah. "Saya tidak akan mau main lagi untuk team nasional, selama pak Bardosono masih jadi pimpinan PSSI", kata Junaidi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus