RIBUT-RIBUT soal tanker LNG -- yang bakal mengangkut gas alam
cair dari Bontang ke Jepang bulan Maret tahun depan -- untuk
sementara sudah reda. Dalam perundingan antara Indonesia sebagai
produsen, gabungan lima konsumen Jepang (Jilco -- Japan
Indonesia LGN Company), dan Burmah Oil sebagai pelaksana
angkutan di Tokyo 1 September lalu, dicapai kata sepakat
menaikkan onkos transpor sebanyak 20%, dari $AS 0,30 per juta
BTU, menjadi $AS 0,35
Itu pertama. Pokok kedua, adalah kepastian jaminan Burmah Oil
bahwa "gasnya ke luar, kapalrnya siap" seperti kata Radius
Prawiro, Menteri Pertambangan ad interim yang memimpin delegasi
Indonesia. Karena itu, untuk menjaga kemungkinan belum
rampungnya tanker yang dipesan anak perusahaan Burmah Oil dari
dok General Dynamics AS, Burmah akan mencarter 2 kapai tangki
LNG dari maskapai Norwegia Gotaas-Larsen dan maskapai Jerman
Barat Leif- Hoegh.
Siapa yang akan menanggung biaya carter itu? "Ya fihak Burmah ",
kata Dirut Pertamina menjawab pertanyaan TEMPO. Dengan catatan:
"kalau biaya carter itu nantinya terbukti lebih rendah dari yang
sudah disetujui itu, maka kita akan minta pada Burmah aar biaya
angkutan yang sudah disetujui di Tokyo itu juga diturunkan. Tapi
kalau ternyata lebih tinggi, kita akan tetap bertahan pada biaya
angkutan yang berlaku sekarang", katanya.
Tapi tak kalah pentingnya adalah berita bahwa nama Burmast East
Shipping -- anak perusahaan Burmah Oil yang memesan tanker itu
tak disebut-sebut lagi. Rupanya oleh Burmah Oil sebagai
perusahaan induk, perjanjian carter angkutan LNG dari Bontang ke
Jepang yang disepakati oleh dirut Pertamina waktu itu (Ibnu
Sutowo) dan direktur Burmast East E.J. Kulukundis bulan
September 1973, dianggap tidak berlaku lagi.
Kontrak itu kini dialihkan ke anak perusahaan, Burmah Gas
Transport Ltd. (BGT). Berbeda dengan BGT yang 100% sahamnya
dipunyai Burmah Oil, maka Burmast East hanya 57,5% sahamnya
milik Burmah Oil. Sedang sisanya (42,570), menurut spekulasi di
kalangan pengusaha tanker -- seperti dikutip majalah Forbes --
"adalah punya nama Ibnu Sutowo dan Kulukundis".
Soal tanker-tarker General Dynamics yang dipesan Burmah Oil itu
telah menyita halaman pers di Amerika Jepang, Inggeris dan
Indonesia sendiri sejak Agustus lalu. Pangkal perkaranya karena
General Dynamics menyatakan tidak sanggup menyelesaikan semua
kapal yang dipesan Burmah menurut jadwal, kalau mau berpegang
pada harga yang disepakati tahun 1973. Khususnya untuk tanker
ke-6 dan ke-7 yang dibuat paling belakangan.
Kenaikan harga tanker yarrg dituntutnya tidak tanggung-tanggung:
dari $AS 90 juta menjadi $AS 150 juta untuk sebuah tanker
berdaya angkut 125 juta liter LNG. Tanker LNC berkapasitas sama
buatan galangan-kapal Stavanger, Norwegia, baru tahun lalu naik
harganya dari $ 85 juta menjadi $AS 100 juta. Besar kemungkinan,
mahalnya tanker buatan General Dynamics di dok Quincy itu karena
kurang cakapnya perusahaan itu (lihat: SiPembuat Tanker)
Apapun sebabnya, desakan General Dynamics yang tampaknya mau
diajak kerja sama oleh Burmah Oil tak diabaikan oleh Burmah.
Malah mulanya Burmah mendesak Jilco dan Pertamina untuk
menaikkan ongkos angkut dari $AS 0,30 per juta BTU itu sebanyak
60%.
Sementara itu, kenaikan harga tanker itu karena General Dynamics
mau berjaga-jaga kalau Badan Maritim Federal AS (FMA) mencabut
jaminan yang diberikannya pada bank-bank AS yang membiayai
produksi tanker-tanker itu. Soalnya, di AS sorotan sedang
memanas ke arah General Dynamics karena sementara anggota
Kongres memprotes jaminan FMA itu. Alasan: order buat General
Dynamics datangnya dari perusahaan asing (Burmah).
Juga karena kapal-kapal yang sedang diprodusir Quincy itu,
nantinya tidak digunakan untuk lalulintas perdagangan dengan AS.
Dengan demikian General Dynamics dapat dituduh melanggar UU
Maritim Federal AS (1946) yang memprioritaskan jaminan kredit
FMA untuk kapal-kapal yang bakal digunakan oleh warga negara AS
dalam perdagangan dengan negerinya sendiri. Bukan orang asing.
Sorotan terhadap General Dynamics dan Burmah Oil di Amerika itu
makin memanas, karena tuduhan bahwa Burmah Oil menyuap
pejabat-pejabat di Jepang dan Indonesia untuk mendapat order
tanker-tanker LNG itu.
Pejabat-pejabat Indonesia kabarnya disogok lewat
perusahaan-perusahaan Astrofino Delmar dari Panama dan Edna di
Hongkong milik pengusaha Singapura Robin Loh yang tempo hari
banyak mendapat order dari Pertamina. Agen Edna di Jakarta
dipimpin Tika Djoemana, terakhir berkantor di jalan K.H. Mas
Mansyur. Sedang para pejabat maritim di Jepang kabarnya disogok
sebanyak $AS 3 juta melalui Sumio Higashi, direktur maskapai Far
East Oil Trading Co. yang dikenal sebagai importir minyak Minas
dari Dumai. Kebetulan pula, ke-5 perusahaan pendiri dan pemegang
saham Far East Oil adalah juga ke-5 perusahaan pengimpor LNG
Indonesia (Jilco), yakni Kansai Electric, Chubu Electric, Kyushu
Electric, Osaka Gas dan Nippon Steel.
Sebelumnya, 11 Maret lalu kantor berita, 4P memberitakan dari
Tokyo bahwa atase maritim AS di sana, Michael Somack, dicoba
disogok $AS 5 juta oleh 5 pedagang berkewarganegaraan AS dan
Taiwan. Ke-5 pedagang itu, oleh pengadilan di AS dituduh
merugikan negara $AS 2,7 juta karena menarik untung secara tak
sah dari penjualan 7 kapal bikinan AS pada warga negara asing.
Ketika Michael Somack mencium penipuan itu, dan bermaksud
melaporkannya pada atasannya di Washington, D.C, dia dicoba
disogok oleh 5 orang Cina itu. Tapi repotnya, pengadilan di New
Jersey tidak dapat menindak ke-5 orang itu, sebab 3 orang di
antaranya tinggal di Taipeh dan seorang -- Adam K. Wen --
disebut berdiam di Jakarta. Antara AS dengan Taiwan dan
Indonesia belum ada perjanjian ekstradisi.
Perkara 5 orang Taiwan dan AS itu kembali hangat setelab
mingguan berwibawa The Economist 3 September lalu memberitakan
terlibatnya seorang warga negara AS, C.Y. Chen dalam masalah
Burmah-General Dynamics itu. Chen ini, kabarnya bertindak
sebagai perantara dalam pembelian kapal-kapal General Dynamics
dengan membentuk perusahaan bernama 'Energy Transportation
Corporation'. Perusahaan ini menyewa ke-7 kapal itu dari tiga
bankir AS yang membiayai pembuatan kapal-kapal itu, yakni
Continental Illinois, Bankers Trust dan Chemical Bank. ETC
kemudian menyewakannya lagi kepada Burmast East, yang
selanjutnya menyewakannya lagi pada Pertamina dan Jilco.
Menteri Pertambangan Dr Sadli memberikan penjelasan di depan
Komisi VI DPR-RI pertengahan September lalu. Sadli membenarkan,
pada 23 September 1973, telah ditandatangani persetujuan
pengangkutan LNG antara Pertamina dengan Burmast East Shipping
Company yang terdaftar di Liberia. Bentuk persetujuan adalah
sewajasa angkutan ruang-kapal, dalam dollar AS per meter kubik
muatan. Berdasarkan perkiraan volume penjualan sebanyak 7,5 juta
metric ton LNG setahun, Burmast memesan 7 tanker LNG dengan daya
angkut 125 juta liter gas alam cair pada galangan kapal General
Dynamics di Quincy AS. Tujuh kapal itu harus selesai sesuai
dengan jadwal pengapalan gas alam cair itu dari Bontang dan Arun
ke Jepang.
Kontrak antara Pertamina dan Burmast East itu, yang mendahului
kontrak penjualan 7,5 juta ton LNG setahun pada Jilco,
dilengkapi beberapa syarat pengaman. Pertama, kontrak itu masih
dapat dibatalkan bila kemudian ternyata Pertamina tidak mencapai
kata sepakat dengan calon langganannya di Jepang. Kedua,
penyewaan kapal yang ke-7 dapat dibatalkan kalau ternyata volume
penjualan gas alam cair itu tidak membutuhkan 7 kapal. Tapi
sebaliknya jika diperlukan, Burmast akan menyediakan kapal yang
ke-8. Untuk memperoleh pinjaman ringan, Burmast East dan Burmah
Oil Tankers yang terdaftar di Bermuda mengadakan kerjasama
dengan satu perusahaan AS, yakni Energy Transportation
Corporation (ETC) itu. Maksudnya agar perusahaan ETC itulah yang
minta fasilitas Mortgage Insurance Guarantee alias Title XI pada
US Federal Maritime Administration (MarAd), yakni suatu sistim
pembiayaan jangka panjang dengan bunga rendah.
Pengajuan permohonan jaminan MarAd serta kontrak penjualan LNG
ke Jepang itu telah mendapat persetujuan Dewan Komisaris
Pertamina 23 Maret 1974. Jadi berbulan-bulan kemudian setelah
MarAd menyetujui jaminan Title XI bagi ETC, untuk 4 tanker yang
pertama (7 Nopember 1973). Sedang tanker yang ke-5, baru
mendapat jaminan MarAd 21 Mei 1974. Untuk ke-2 tanker yang
terakhir, sampai sekarang jaminan MarAd belum diberikan.
Mungkin itu sebabnya, Bummast East -- melalui ETC itu --
terlambat mengorder pembuatan kedua tanker yang terakhir itu
pada General Dynamics. Sebab order pembuatan 5 tanker yang
pertama -- dinamakan Cherokee I s/d V --sudah diajukan jauh-jauh
hari pada tahun 1973 itu juga.
Nah, keterlambatan pengorderan tanker ke-6 dan ke-7 itulah yang
menyebabkan General Dynamics kemudian pasang tarif lebih tinggi
bagi kedua tanker terakhir. Akibatnya lahirlah revisi ongkos
angkut menjadi ASS 0,35 per juta BTU serta kesanggupan kelompok
Burmah --d alam hal ini BGT - untuk mencarter 2 tanker LNG dari
perusahaan lain (Gotaas-Larsen dan Leif-Hough). Keterangan Sadli
ini, rupanya diterima begitu saja oleh para wakil rakyat di
Senayan sembari manggut-manggut. Mereka tidak bertanya seberapa
jauh kontrak berlapis-3 itu menaikkan harga tanker General
Dynamics itu. Dan kalau toh untuk berjaga-jaga perlu dicarter 2
tanker lagi dari Eropa Barat, mengapa harus diperantarai oleh
kelompok Burmah lagi? Dan mengapa Pertamina justru begitu asyik
bekerjasama dengan kelompok Burmah Oil dan dok General Dynamics
yang pernah nyaris bankrut itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini