PANTAI Ngliyep, yang bakal dikembangkan jadi daerah pariwisata,
nampaknya sama sekali tak dilengkapi dengan alat-alat penolong:
tali panjang, atau pelampung. Tapi, barangkali itu tak terlalu
disesali. Yang nampaknya banyak disesali adalah kurangnya
perhatian petugas-petugas setempat terhadap pertolongan
kecelakaan. Meskipun kecelakaan itu berulang-ulang tiap tahun.
"Seolah-olah maut di pantai Ngliyep dijadikan obyek", tutur
Nardi. Ketika Nardi meminta regu Hansip sebagai peronda, maka
mereka memang meminta fasilitas: makan, minum, rokok dan
sebagainya.
Itu belum seberapa."Soal jenazahpun tak mampu menggugah perasaan
mereka", keluh Nardi. Menurut ceritanya, ketika Nardi meminta
pertolongan petugas-petugas plus Hansip setempat, mereka
mengajukan tarif Rp 25.000 per mayat. "Baik akan saya bayar jika
jenazah itu diserahkan", kaa Nardi kepada mereka. Ketika
beberapa penduduk sekitar 5 km di sebelah barat mengusung mayat
dibawa ke tempat Nardi tinggal, para petugas juga menuntut
bayaran. Padahal yang bersusah payah penduduk itu. Dan kata
Nardi, penduduk yang repot-repot datang dan tak menuntut imbalan
itu hanya menerima bagian yang teramat kecil. Habis penemuan
ke-3 mayat, petugas itu menemui Nardi lagi, dan meminta "ongkos"
dinaikkan jadi Rp 35 ribu per mayat. Tak ada jalan lain kecuali
menganggukkan kepalanya. Tapi, mayat memang tak ditemukan.
Pengalaman ini jadi pelajaran bagi Nardi rupanya. Ia berjanji,
bila masalahnya selesai, ia bakal memberikan sumbangan berupa
peralatan pertolongan di Ngliyep. Sementara ini ia harus
memikirkan keluarga korban. Sebab, 3 di antara korban ada yang
telah berkeluarga, dan keadaannya tak cukup mampu. Maka,
pengeluaran untuk menebus mayat sampai pemakamannya tentu saja
harus menjadi tanggungan perguruan Kyokushinkai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini