HEBOH LNG terakhir timbul karena galangan kapal General Dynamics
di kota Quincy, Massachussetts AS, minta pengunduran waktu
penyelesaian tanker-tanker LNG untuk rute Kalimantan
Timur-Jepang. Juga General Dynamics (GD) dikabarkan minta
kenaikan harga bagi 2 dari 7 tanker LNG yang dipesan Burmast
East Shipping Corp. itu. Apa latarbelakang keterlambatan dan
kenaikan harga kontrak yang diminta GD? Majalah Forbes yang
terbit di New York, AS, 1 September lalu menyajikan artikel yang
ditulis wartawannya Lawrence Minard Berikut ini adalah
terjemahan yang disingkat dari dwi mingguan itu:
ORANG sana menjulukinya The Monster. Dok Quincy itu memblokir
daerah seluas 70 hektar sepanjang pantai Massachusetts, tempat
lahir kapal-kapal AL-AS yang kesohor. Cuma sayangnya, sejak 1963
dok itu menjadi pos rugi terus menerus bagi perusahaan induknya,
General Dynamics Corporation. Manajemen yang tidak becus dan
kompetisi yang terlalu berat telah membuat Quincy menjadi
puing-puing fisik dan finansiil, hanya punya order-order kecil
dari Angkatan Laut AS ketika pimpinan GD diambil oper oleh David
S. Lewis, 6 tahun silam
Sampai-sampai nilai dok itu sudah diturunkan menjadi $ AS 30
juta saja dalam buku kas GD -- sekedar cukup buat membayar
pesangon karyawannya seandainya dok itu ditutup saja waktu itu.
Itulah yang sedang difikirkan oleh dewan direksi GD, sebelum
tongkat komando diambil oper oleh Dave Lewis bekas direktur
pabrik pesawat terbang McDonnel Douglas. Mendadak sontak krisis
minyak bumi melibat dunia. Dan ini mendongkrak permintaan bagi
angkutan gas alam. Judul surat-surat kabar segera penuh dengan
gas alam: bagaimana mengangkutnya dari Aljazair ke pantai timur
AS, dan dari Indonesia ke Jepang serta pantai barat AS.
Soalnya, bahan bakar fosil yang sebelumnya tidak begitu populer
itu memang tidak bisa diterbangkan dengan balon-balon raksasa
menyeberangi samudera. Makanya harus dimampatkan lebih dulu
sampai cair, dialirkan ke dalam tangki kapal raksasa yang
panjangnya 1000 kaki. Dengan cara itu LNG (gas alam cair) yang
suhunya 156ø C di bawah nol itu ekonomis untuk diangkut melewati
jarak jauh.
Mungkinkah The Monster menerima order pembuatan tanker-tanker
LNG seperti itu? Lewis, yang tempo hari berhasil memproduksi dan
melariskan 5000 pesawat bomber-pemburu jet F-24 Phantom untuk
McDonnel Douglas, kali ini pun menegaskan: "ya". Inilah
kesalahannya yang paling fatal. Sebab kalau saja dia pagi-pagi
mau menutup galangan kapal itu, kerugiannya bakal lebih kecil
dari pada melanjutkannya dengan pembuatan tanker-tanker gajah
itu. Meskipun ditentang oleh Kol. Henry Crown pemegang saham GD
terbesar yang dulunya juga menentang pencaplokan dok itu oleh
direksi GD yang lama, Dave Lewis toh jalan terus.
Mengenang keputusannya itu, Lewis menjelaskan: "Tampaknya saat
itu dengan menerima order pembuatan 6 tanker LNG saja hasilnya
akan sama dengan nilai seluruh galangan kapal ini. Dan
kelihatannya kami tidak mungkin rugi. Malah mungkin saja program
LNG ini bisa berkembang terus dan GD tinggal menghitung dolar
yang masuk dari operasi dok ini".
Pikiran itu, mungkin dilandasi kesuksesannya menjual F-4
Phantomnya tempo hari. Tapi mungkin dia lupa, bahwa bermain
dengan tanker LNG jauh lebih mahal. Satu tanker saja bisa
berharga $ AS 100 juta, sementara pesawat jetnya dulu hanya $ AS
6 juta sebuah.
Selama tahun 1973 Lewis berhasil mengumpulkan order tidak cuma
bagi 6 tanker, tapi seluruhnya 10. Tiga untuk melayani angkutan
gas alam cair dari Aljazair ke pantai timur AS, dan 7 biji untuk
mengangkut LNG dari Kalimantan Timur ke Jepang. Makelar untuk
pesanan 10 tanker itu adalah si Yunani berkumis Elias J.
Kulukundis, yang dulu memimpin operasi tanker Burmah Oil.
Impian Lewis waktu itu adalah menjadikan perusahaannya 'General
Motors'nya tanker gas alam. Tanpa peduli bahwa GD sama sekali
belum berpengalaman membuat kapal berteknologi tinggi. Tanpa
peduli bahwa dok-dok saingannya -- yang sudah berpengalaman juga
mulai terjun ke bidang itu. Bahkan tanpa peduli bahwa Bethlehem
Steel Corporation, salah satu produsen kapal yang paling
berpengalaman di AS, masih belum tertarik untuk memprodusir satu
tanker LNG pun.
Lewis juga tidak mau tahu bahwa perusahaan-perusahaan lain
membuat tangki-tangki LNG berbentuk bola dengan berat 850 ton
itu satu per satu. Dia berpendapat, bola-bola baja itu dapat
diprodusir secara massal dengan sistim ban berjalan. Inilah
kesalahannya yang pertama. Pembuatan bola-bola baja untuk
tanker-tanker Indonesia dan Aljazair itu disubkontrakkannya lagi
pada pabrik baja Pittsburgh-Des Moines Steel yang juga
kekurangan modal dan pengalaman seperti GD. Ternyata setelah
utak-utik 2 tahun lamanya tanpa menghasilkan satu bola baja pun,
akhir 1974 GD mengambil-alih pabrik PDM di Charleston South
Carolina dan memompakan modal ekstra dalam usaha itu. Sampai
saat itu total jenderal sudah $ AS 80 juta dihabiskan Lewis
untuk proyek itu.
Sementara itu, kontrak-kontrak pengangkutan LNG di mana-mana
mulai goyah. Pembangunan pabrik pencairan gas alam di Aljazair
tertunda, dan US Federal Power Commission juga belum menyetujui
pembangunan terminal penampungan LNG Aljazair itu di Staten
Island, New York dan Providence, Rhodes Island. Di kandang
Burmah Oil sendiri, operasi 42 tanker Kulukundis hampir membuat
perusahaan itu bangkrut. Maka Kulukundis un dipecat. Walhasil,
Lewis kehilangan landasan berpijak untuk mewujudkan impiannya
membangun kembali puing-puing The Monster.
Para saingannya sementara itu malah sudah siap memprodusir
tanker-tanker LNG untuk maskapai IU International Leif Hough dan
Gaz Ocean. Malah sudah ada beberapa tanker yang rampung atau
hampir rampung untuk memperebutkan 2 dari 7 tanker LNG yang
dimaksudkan untuk rute Indonesia-Jepang. Jepang sendiri pun
sudah mulai mengincer kesempatan untuk merebut order bagi
galangan kapalnya sendiri. Padahal GD sampai saat itu belum
rampung membuat bola bajanya yang pertama, yang masih harus
diangkut dengan kapal dari Charleston ke Quincy.
Kendati demikian, Dave Lewis belum melepaskan impiannya sama
sekali. Kalau dia masih dapat melever kapalnya yang pertama di
Kalimantan musim panas mendatang, kalau para saingannya di
Amerika dan Jepang tidak membuyarkan kontrak-kontrak yang
terdahulu dan kalau pemerintah AS tetap menyetujui jaminan
Federal Maritime Administration bagi pinjaman GD, maka Lewis
mungkin dapat mengharapkan doknya mencapai titik impas setelah
produksi tankernya yang ke-8. Tapi bagaimana sesudah itu?
Pesanan tanker LNG itu datangnya hanya satu-satu, sehingga
prinsip ban berjalan tidak efektif bagi produksi tanker-tanker
begini. Makanya bisa jadi GD hanya akan diwarisi satu monster
yang lebih menakutkan lagi. Sepanjang tahun 1975 saja kerugian
dok itu sudah melampaui $ AS 21 juta, dan tahun ini diperkirakan
kerugian akan bertambah $ AS 8 juta lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini