Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Si Pembuat Tanker

Kisah perusahaan pembuat tanker general dynamics yang dipimpin oleh dave lewis yang tidak mampu memenuhi jadwal penyelesaian tanker lng. tulisan majalah forbes tentang hal tersebut. (eb)

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBOH LNG terakhir timbul karena galangan kapal General Dynamics di kota Quincy, Massachussetts AS, minta pengunduran waktu penyelesaian tanker-tanker LNG untuk rute Kalimantan Timur-Jepang. Juga General Dynamics (GD) dikabarkan minta kenaikan harga bagi 2 dari 7 tanker LNG yang dipesan Burmast East Shipping Corp. itu. Apa latarbelakang keterlambatan dan kenaikan harga kontrak yang diminta GD? Majalah Forbes yang terbit di New York, AS, 1 September lalu menyajikan artikel yang ditulis wartawannya Lawrence Minard Berikut ini adalah terjemahan yang disingkat dari dwi mingguan itu: ORANG sana menjulukinya The Monster. Dok Quincy itu memblokir daerah seluas 70 hektar sepanjang pantai Massachusetts, tempat lahir kapal-kapal AL-AS yang kesohor. Cuma sayangnya, sejak 1963 dok itu menjadi pos rugi terus menerus bagi perusahaan induknya, General Dynamics Corporation. Manajemen yang tidak becus dan kompetisi yang terlalu berat telah membuat Quincy menjadi puing-puing fisik dan finansiil, hanya punya order-order kecil dari Angkatan Laut AS ketika pimpinan GD diambil oper oleh David S. Lewis, 6 tahun silam Sampai-sampai nilai dok itu sudah diturunkan menjadi $ AS 30 juta saja dalam buku kas GD -- sekedar cukup buat membayar pesangon karyawannya seandainya dok itu ditutup saja waktu itu. Itulah yang sedang difikirkan oleh dewan direksi GD, sebelum tongkat komando diambil oper oleh Dave Lewis bekas direktur pabrik pesawat terbang McDonnel Douglas. Mendadak sontak krisis minyak bumi melibat dunia. Dan ini mendongkrak permintaan bagi angkutan gas alam. Judul surat-surat kabar segera penuh dengan gas alam: bagaimana mengangkutnya dari Aljazair ke pantai timur AS, dan dari Indonesia ke Jepang serta pantai barat AS. Soalnya, bahan bakar fosil yang sebelumnya tidak begitu populer itu memang tidak bisa diterbangkan dengan balon-balon raksasa menyeberangi samudera. Makanya harus dimampatkan lebih dulu sampai cair, dialirkan ke dalam tangki kapal raksasa yang panjangnya 1000 kaki. Dengan cara itu LNG (gas alam cair) yang suhunya 156ø C di bawah nol itu ekonomis untuk diangkut melewati jarak jauh. Mungkinkah The Monster menerima order pembuatan tanker-tanker LNG seperti itu? Lewis, yang tempo hari berhasil memproduksi dan melariskan 5000 pesawat bomber-pemburu jet F-24 Phantom untuk McDonnel Douglas, kali ini pun menegaskan: "ya". Inilah kesalahannya yang paling fatal. Sebab kalau saja dia pagi-pagi mau menutup galangan kapal itu, kerugiannya bakal lebih kecil dari pada melanjutkannya dengan pembuatan tanker-tanker gajah itu. Meskipun ditentang oleh Kol. Henry Crown pemegang saham GD terbesar yang dulunya juga menentang pencaplokan dok itu oleh direksi GD yang lama, Dave Lewis toh jalan terus. Mengenang keputusannya itu, Lewis menjelaskan: "Tampaknya saat itu dengan menerima order pembuatan 6 tanker LNG saja hasilnya akan sama dengan nilai seluruh galangan kapal ini. Dan kelihatannya kami tidak mungkin rugi. Malah mungkin saja program LNG ini bisa berkembang terus dan GD tinggal menghitung dolar yang masuk dari operasi dok ini". Pikiran itu, mungkin dilandasi kesuksesannya menjual F-4 Phantomnya tempo hari. Tapi mungkin dia lupa, bahwa bermain dengan tanker LNG jauh lebih mahal. Satu tanker saja bisa berharga $ AS 100 juta, sementara pesawat jetnya dulu hanya $ AS 6 juta sebuah. Selama tahun 1973 Lewis berhasil mengumpulkan order tidak cuma bagi 6 tanker, tapi seluruhnya 10. Tiga untuk melayani angkutan gas alam cair dari Aljazair ke pantai timur AS, dan 7 biji untuk mengangkut LNG dari Kalimantan Timur ke Jepang. Makelar untuk pesanan 10 tanker itu adalah si Yunani berkumis Elias J. Kulukundis, yang dulu memimpin operasi tanker Burmah Oil. Impian Lewis waktu itu adalah menjadikan perusahaannya 'General Motors'nya tanker gas alam. Tanpa peduli bahwa GD sama sekali belum berpengalaman membuat kapal berteknologi tinggi. Tanpa peduli bahwa dok-dok saingannya -- yang sudah berpengalaman juga mulai terjun ke bidang itu. Bahkan tanpa peduli bahwa Bethlehem Steel Corporation, salah satu produsen kapal yang paling berpengalaman di AS, masih belum tertarik untuk memprodusir satu tanker LNG pun. Lewis juga tidak mau tahu bahwa perusahaan-perusahaan lain membuat tangki-tangki LNG berbentuk bola dengan berat 850 ton itu satu per satu. Dia berpendapat, bola-bola baja itu dapat diprodusir secara massal dengan sistim ban berjalan. Inilah kesalahannya yang pertama. Pembuatan bola-bola baja untuk tanker-tanker Indonesia dan Aljazair itu disubkontrakkannya lagi pada pabrik baja Pittsburgh-Des Moines Steel yang juga kekurangan modal dan pengalaman seperti GD. Ternyata setelah utak-utik 2 tahun lamanya tanpa menghasilkan satu bola baja pun, akhir 1974 GD mengambil-alih pabrik PDM di Charleston South Carolina dan memompakan modal ekstra dalam usaha itu. Sampai saat itu total jenderal sudah $ AS 80 juta dihabiskan Lewis untuk proyek itu. Sementara itu, kontrak-kontrak pengangkutan LNG di mana-mana mulai goyah. Pembangunan pabrik pencairan gas alam di Aljazair tertunda, dan US Federal Power Commission juga belum menyetujui pembangunan terminal penampungan LNG Aljazair itu di Staten Island, New York dan Providence, Rhodes Island. Di kandang Burmah Oil sendiri, operasi 42 tanker Kulukundis hampir membuat perusahaan itu bangkrut. Maka Kulukundis un dipecat. Walhasil, Lewis kehilangan landasan berpijak untuk mewujudkan impiannya membangun kembali puing-puing The Monster. Para saingannya sementara itu malah sudah siap memprodusir tanker-tanker LNG untuk maskapai IU International Leif Hough dan Gaz Ocean. Malah sudah ada beberapa tanker yang rampung atau hampir rampung untuk memperebutkan 2 dari 7 tanker LNG yang dimaksudkan untuk rute Indonesia-Jepang. Jepang sendiri pun sudah mulai mengincer kesempatan untuk merebut order bagi galangan kapalnya sendiri. Padahal GD sampai saat itu belum rampung membuat bola bajanya yang pertama, yang masih harus diangkut dengan kapal dari Charleston ke Quincy. Kendati demikian, Dave Lewis belum melepaskan impiannya sama sekali. Kalau dia masih dapat melever kapalnya yang pertama di Kalimantan musim panas mendatang, kalau para saingannya di Amerika dan Jepang tidak membuyarkan kontrak-kontrak yang terdahulu dan kalau pemerintah AS tetap menyetujui jaminan Federal Maritime Administration bagi pinjaman GD, maka Lewis mungkin dapat mengharapkan doknya mencapai titik impas setelah produksi tankernya yang ke-8. Tapi bagaimana sesudah itu? Pesanan tanker LNG itu datangnya hanya satu-satu, sehingga prinsip ban berjalan tidak efektif bagi produksi tanker-tanker begini. Makanya bisa jadi GD hanya akan diwarisi satu monster yang lebih menakutkan lagi. Sepanjang tahun 1975 saja kerugian dok itu sudah melampaui $ AS 21 juta, dan tahun ini diperkirakan kerugian akan bertambah $ AS 8 juta lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus