USAHA Gubernur Ismail mencari identitas nasional kini mengimbas seni bela diri. Setelah mengganyang istilah asing untuk nama toko, gedung bioskop, rumah makan, hotel, dan lain-lainnya, gubernur Jawa Tengah itu mulai berpaling ke kalangan remaja di wilayahnya - agar menggemari pencak silat. "Sudah lama, hati saya nelangsa (sedih) melihat remaja kita tergila-gila pada seni bela diri asing," kata Ismail. Letnan jenderal (purnawirawan) itu khawatir pencak silat sebagai seni bela diri domestik akan punah. Maka, 28 April lalu dibangunlah sebuah padepokan pencak silat,di Kartosuro, 10 km dari Solo. Bergaya arsitektur Jawa, di atas tanah seluas 1.400 m2, dengan biaya Rp 65 juta yang sebagian besar dari kantung Pengusaha Probosutedjo, padepokan pencak silat ini merupakan yang pertama di Indonesia. Di kompleks yang diresmikan Menko Polkam Surono itu, "Pencak silat akan dikaji, diteliti, dan dikembangkan," ujar Ismail. Itu tidak berarti, "saya anti asing," kata Ismail ketika menerima TEMPO di kediaman resmi gubernur, Puri Gede, Semarang, pekan lalu. Sebagai olah raga, semua cabang,baik judo, karate, maupun taekwondo, memang perlu dikembangkan agar mencapai taraf internasional. "Tapi sebagai seni dan bela diri, mesti dikaitkan dengan identitas bangsa, dengan sistem nilai, yang menumbuhkan harga diri, dan membanggakan," katanya.Untuk itu, "saya berkiblat pada bumi sendiri, bukan ajinomoto." Dan ini menyangkut patriotisme, "Sehingga merupakan prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar," katanya lagi . Di padepokan Kartosuro itulah, dalam bayangan Ismail, berbagai perguruan dengan macam-macam aliran itu akan saling tukar pikiran. Jurus-jurus yang berlebih-lebihan dibikin efisien. "Tebakan-tebakan,.sabetan- sabetan, dan tangkisan-tangkisan dibuat efektif, sehingga menarik untuk para remaja," kata Ismail, yang bulan lalu dikukuhkan sebagai sesepuh perisai diri. Dari padepokan itu pula, diharap lahir jurus-jurus baru. Sehingga, selain juru-jurus lama, dengan sebutan "kera menangkap tawon" misalnya,kata lsmail, akan lahir mungkin sabetan Mahesa Jenar, atau tendangan Ismail. "Dan lidah kita tidak perlu kecetit, menyebut juru dengan istilah asing." Dewasa ini, menurut Ketua IPSI Pusat Eddie Nalapraya, ada ebih dari 800 aliran pencak silat di Indonesia. "Kelak, di padepokan Kartosuro ini, kami akan bicara standardisasi gerakan," katanya pada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Di Kotamadya Semarang, usaha membikin standardisasi itu sudah dicoba. "Tapi hanya untuk latihan dasar," ujar Imam Untoro, Ketua Komda IPSI Ja-Teng. Hasilnya, berupa bentuk delapan rangkaian, yang masing masing berisi delapan gerakan. Tapi usaha ini mendapat tantangan dari berbagai aliran. "Standardisasi hanya tercapai jika perguruan bersedia mengorbankan aliran masing-masing," kata Pandji Oetojo, pesilat dari Setia Hati yang juga duduk di Komisi Teknik IPSI Ja-Teng. Baru untuk kepentingan pertandingan, standardisasi penilaian secara nasional dapat dibikin itu pun baru tahun 1980.Misalnya, menendang mendapat nilai dua, memukul nilai satu, tangkapan lima detik mendapat nilai empat. Bagi Ismail sendiri,standardisasi gerakan merupakan hal yang idealistis. Bukan hanya karena faktor fanatisme perguruan, tapi sebagai seni pencak silat sulit diseragamkan. Pesilat dari Setia Hati, misalnya, pada acara peresmian padepokan itu tampil dengan diiringi gamelan. Gerakannya cenderung Iemah gemulai, bagai menari. "Tapi,awas, kalau kena, mata bisa copot, tulang bisa patah," ujar Martosam, 80, seorang tokoh SH dari Ambarawa. Kakek ini telah mengembangkan perguruannya selama 50 tahun, dan kini ia mengasuh 300 murid. Selain faktor seni, tak sedikit perguruan pencak silat yang mengembangkan kekuatan"dalam". Perguruan Rogojati dari Banjarnegara, Banyumas, memamerkan kemampuannya seperti mematahkan besi dengan tangan telanjang, atau menggoreng makanan dengan tangan di minyak mendidih. Bagi kalangan bela diri impor, imbauan Ismail agar Iebih berpaling ke pencak silat tidak dianggap menyudutkan mereka. "Ketika regu karate Jateng akan berangkat ke Kejurnas, kami dilepas di rumah Gubernur," kata Moh. Sawali, Ketua Pengda Inkai Ja-teng. Dan Gubernur Ismail bangga ketika dalam pertandingan klasifikasi di Lampung untuk POM mendatang, Jateng meningkat prestasinya meraih juara III. Maka,bagi Sawali, "imbauan Gubernur itu lebih bersifat politis," katanya. Maksudnya: "seperti imbauan agar berbahasa Indonesia yang baik dan benar," kata Sawali, "tapi tidak berarti menolak belajar bahasa Inggris."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini