SUASANA di Suva Courtessy Inn, kubu tim PSSI Utama selama empat
hari di Fiji, Minggu pagi lalu tampak agak "tegang". Kapten
Zulham Effendy, dikenal dekat dengan wartawan, kali ini tak
banyak bicara.
Apa pasal? Diam-diam Zulham ternyata telah menyiapkan pola
permainan "baru" bagi timnya. Itu terlihat jelas waktu mereka
menggulirkan bola ke daerah pertahanan kesebelasan Fiji. Tak
ada lagi tombak kembar dari sistem 4-4-2 sebagaimana
diinstruksikan pelatih Harry Tjong dalam tiga pertandingan Pra
Piala Dunia Grup I Asia-Oceania 1981 terdahulu. Yang mereka
mainkan kali ini adalah pola 4-3-3. "Saya yang minta teman-teman
untuk mengubah formasi," kata Zulham seusai pertandingan.
"Mereka setuju."
Perubahan pola itu, menurut Zulham, untuk meningkatkan daya
dobrak tim. "Bukankah. dengan formasi 4-4-2 yang selama ini
dilakukan kita belum pernah mencetak gol?" sela Rully Nere.
Tjong tetap tak dapat menerima perubahan itu. Di kamar pakaian,
waktu jedah, ia mengecam keras anak asuhannya yang telah
melanggar instruksinya. Antara lain dikritiknya Rully jadi
pemain sayap, hanya karena itu bukanlah tipenya. Waktu
dinasihati, para pemain mengangguk tanda mengerti. Tapi di
lapangan mereka kembali menggunakan sistem 4-3-3. "Mereka telah
mulai membangkang," kata Tjong kepada wartawan Merdeka Zuchry
Hussein.
Pertandingan PSSI Utama melawan Fiji berakhir tanpa gol. Tapi
itu merupakan prestasi "terbaik" tim Indonesia dari empat
pertandingannya. "Kalau ada Ronny (Pattinasarany), kita pasti
menang," kata manajer tim Syarnubi Said. "Lawan begitu jelek.
Tapi pemain kita tak mampu memanfaatkannya." Ronny bersama
Bambang Nurdiansyah terkena kartu merah waktu melawan Selandia
Baru di Auckland, sehingga tidak diperkenankan memperkuat tim
untuk dua kali pertandingan lanjutan.
Dalam tiga penampilannya terdahulu -- melawan Selandia Baru
(0-2) di Jakarta (11 Mei) dan di Auckland (0-5, 23 Mei), dan
dengan Australia (0-2) di Melbourne (20 Mei) -- PSSI Utama tak
berdaya sama sekali. Kalah terus. "Semua itu kesalahan Tjong. Ia
terlalu ngotot pada suatu pola tanpa memperhatikan faktor
pemainnya," komentar bekas pelatih nasional drg. Endang Witarsa.
Tjong tak lari dari tanggungjawab. Ia akan meletakkan jabatan
sebagai pelatih kepala tim nasional. "Banyak pelatih lain yang
lebih baik dari saya," ujar Tjong. Ia menangani PSSI Utama
bersama Sugih Hendarto dan Sartono sejak Juni 1980.
Kegagalan beruntun ini mungkin membuat pengurus PSSI makin
berpengalaman membina tim nasional. "Berbagai pola telah kita
terapkan. Juga pelatnas jangka panjang maupun pendek. Toh masih
gagal terus," kata bekas Ketua Umum PSSI Maladi. "Sekarang
tampaknya kita harus kembali pada kepribadian lama: main cepat
dan operan pendek. Itulah ciri khas kita selama ini."
Tim PSSI Utama yang tampil di Seoul memang agak berbeda dengan
yang ke Pra Piala Dunia Grup I Asia Oceania. Waktu terjun di
Seoul, tim itu masih diperkuat oleh Stephanus Sirey, dan Rully
belum pula cedera. Sekarang dipasang Wahyu Tanoto, Kasyadi,
Badiaraja Manurung -- semuanya belum berpengalaman
internasional. "Kalau klub memberi saya materi yang baik,
hasilnya tidak akan separah sekarang," kau Tjong.
Untuk memperkuat PSSI Utama, Tjong antara lain mengincar Hadi
Ismanto, Syamsul Arifin, Dullah Rahim, Abdi Tunggal -- semuanya
pemain depan. Tapi tak seorang pun yang memenuhi panggilan.
Alasan mereka mulai dari soal keluarga sampai masalah cedera.
"Mungkin kepengurusan sekarang sedang apes," kata Ketua
Presidium PSSI Soeparjo Pontjowinoto.
Merosotnya mutu tim nasional sekarang -- menurut tokoh PSSI
lainnya, Kosasih Purwanegara SH -- disebabkan terlalu banyak
tangan yang mencampuri pembentukan tim. Antara lain disebutnya
lembaga sadan Tim Nasional yang punya sepuluh anggota dan
semuanya menentukan. "Di zaman Maladi (Ketua Umum PSSI periode
1950-59) semua keputusan dalam pemilihan pemain diserahkan
kepada pelatih," katanya.
Tuduhan itu dibantah Soeparjo. "Kami tidak pernah membatasi hak
seorang pelatih," katanya kepada Najib Salim dari TEMPO."Kepada
Tjong bahkan kebebasan itu tidak hanya kami berikan 100%, tapi
1.000%." Tjong cuma tersenyum sinis mendengarnya. Tapi benarkah
begitu? "No comment, " jawabnya.
Di PSSI Utama saat ini, menurut "bekas" kapten Ronny
Pattinasarany, banyak pemain yang tak layak tim nasional. Ia
menolak membeberkan nama mereka. Tapi inilah komentar Ketua Jaka
Utama Ir. Marzuli Warganegara: "Di tempat kami Bambang Sunarto
itu cuma cadangan. Dibanding Sucipto kemampuannya sebagai
penyerang tak ada apa-apanya." Sucipto menurut Marzuli, adalah
penyerang yang cocok untuk pola 4-4-2 dari Tjong.
Bambang Sunarto mendapat tempat di PSSI Utama diduga lantaran ia
pernah dilatih di Brazil selama enam bulan di tahun 1979 --
proyek PSSI Binatama yang menelan biaya Rp 200 juta, sumbangan
Rujito dari Yayasan Tunas Raga. Tak terpilihnya Sucipto, kata
Marzuli, disebabkan tim pemandu bakat PSSI kurang jeli melihat
pemain.
"Kini terlalu gampang orang menjadi pemain nasional," kata
Junaedi Abdillah, pemain nasional yang memperkuat tim Pra-
Olympiade 1976. "Dulu saya merangkak bertahun-tahun." Banyak
pemain yang mendapat kostum PSSI dinilainya belum menguasai
dasar teknik persepakbolaan. "Dengan materi macam itu, seribu
(Luis Cesar) Menotti pun tak akan berhasil. Apalagi Tjong," sela
pelatih Tunas Inti Sinyo Aliandu. Menotti adalah pelatih tim
nasional Argentina dalam memboyong Piala Dunia 1978 dan Piala
Coca Cola untuk turnamen junior di Tokyo, 1979.
Kelemahan PSSI Utama tampak sudah tumpang tindih. Selain materi
pemain jelek, waktu untuk mempersiapkan tim juga terbatas.
Badiaraja Manurung dari Mercu Buana, misalnya, baru masuk
pelatnas seminggu sebelum pertandingan melawan Selandia Baru di
Jakarta. Pemanggilan mendadak seperti itu membuat pemain
tersebut sukar berkomunikasi di lapangan. "Bagaimana mungkin
menjalin kerjasama tim," lanjut Junaedi. "Yengertian itu hanya
mungkin tumbuh jika dibina lama." la menyarankan paling sedikit
dibutuhkan waktu tiga bulan di pelatnas jika menghadapi suatu
turnamen.
KEKALAHAN beruntun PSSI Utama telah membuat Ramang, macan
bola tahun 50-an dari Ujungpandang, tak habis pikir. "Pelatih
sudah ditatar, jaminan pemain baik, tapi kenapa tak maju-maju
juga," katanya. "Padahal di zaman kami dulu, apa. Tak ada
fasilitas. Bahkan masih diwajibkan memberi iuran untuk klub."
Ramang seperti juga Suwardi Arland tidak mempersoalkan pola yang
dipakai. "Pola itu hanya dipakai sebagai dasar bertolak waktu
memulai pertandingan," sela Suwardi, rekan seangkatan Ramang.
"Selebihnya ditentukan oleh otak dan karakter pemain itu
sendiri." Di tahun 50-an. Suwardi harus mengikuti jenjang yang
panjang untuk menjadi pemain top. Di klub saja waktu itu,
katanya, seseorang harus menempuh tujuh kelas. "Dulu kami tidak
gampang menjadi pemain bond. Apalagi namanya pemain nasional."
Di masa kejayaan tim nasional, 25 tahun lalu, memang hampir
semua pemain punya karakter, juga gaya sendiri. Tiap daerah
berbeda "Dengan melihat gaya permainannya saja sudah tahu dari
mana pemain itu berasal," kenang manajer tim Indonesia Muda,
Dimas Wahab. "Sekarang itu sudah tak ada lagi."
Pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, yang menangani PSSI lima
tahun silam membangkitkan rasa "keakuan" pemain, tapi ia
menyeragamkan pola latihan yang disebarkan oleh anak didiknya
baik di amatir maupun di Galatama. Tjong adalah salah seorang di
antara mereka.
Bekas pemain nasional Ramli Yatim dari Medan mengatakan disiplin
latihan sekarang sudah tak sekeras dulu. "Dulu setengah jam
sebelum latihan pemain sudah ada di lapangan."
Dulu dipakai, menurut Ramli, sistem 4-2-4 untuk menyerang dan
4-3-3 dalam bertahan. Untuk menerapkan pola itu selain
dibutuhkan kekompakan juga dituntut kecerdasan pemain. Tapi,
"sudah tiga tahun belakangan ini saya tak melihat pemain
nasional yang berinteligensi tinggi," sela pelatih PSMS
Yuswardi. Maksudnya ialah yang mampu mengembangkan sistem di
lapangan sebagaimana diinginkan pelatih."
Di Medan, cerita Yuswardi, pemain yang kurang inteligensi ini
dijuluki pemain "adidas", punya IQ (Inteligence Quotien)
rendah.
Iswadi, kini menjadi pelatih PSSI Pratama, dalam hal ini
berkata, "Ramang itu dulu pendidikannya rendah. Tapi IQ-nya
sebagai pemain bola tinggi, bahkan lebih tinggi dari pemain
sekarang." Ramang tak mengecap bangku pendidikan formal. Sebelum
menjadi pemain nasional, ia dikenal sebagai penarik beca.
Menurut Bardosono, Ketua PSSI periode 1974-77, penyebab
kemerosotan adalah mereka yang duduk di kursi pimpinan PSSI
sekarang. "Tak ada pengurus yang berwibawa," katanya. Ia
mengibaratkan PSSI, setelah Ali Sadikin mundur, diasuh oleh "ibu
tiri". Karena tak seorang lagi pun di antara pengurus yang
dipilih oleh Kongres PSSI. Sehingga kurang pendekatan mereka
terhadap klub, kata Bardosono. "Buktinya pemain yang dipanggil
menolak. Di zaman saya bahkan berbondong-bondong klub
mengirimkan pemainnya."
Masalah yang merongrong tim nasional sepuluh tahun terakhir,
kata Dimas, tak terlepas dari kesalahan di zaman kepengurusan
Kosasih. "Beliau waktu itu tak menyiapkan tim untuk masa depan.
Hingga Ali Sadikin (naik nobat 1977 dan mengundurkan diri tiga
tahun kemudian) dan pengurus sekarang kebagian jeleknya."
Waktu kepengurusan Kosasih, ia menerima warisan pemain seperti
Judo Hadianto, Sutjipto Suntoro, Max Timisela, Iswadi, Jacob
Sihasale, dan lain-lain. Tim nasional menjelang akhir
kepengurusan Kosasih menjuarai turnamen Piala Anniversary 1972
di Jakarta. Di zaman Maladi dan Abdul Wahab sebelumnya,
sekalipun pengurus tak menonjol, prestasi tim lebih hebat lagi.
Tim Indonesia sempat mengagetkan dunia dengan menahan Uni Soviet
0-0 (walau dalam pertandingan ulangan kalah 4-0) di Olympiade
Melbourne, 1956.
KEBERHASlLAN suatu kepengurusan tidak bisa hanya dilihat dari
kuat atau tidaknya tim nasional," kata Kepala Litbang PSSI Drs.
Rais. Ia menambahkan bahwa kesuksesan kesebelasan nasional
merupakan hasil akhir dari rangkaian pembinaan menyeluruh, mulai
dari kelancaran kompetisi di perserikatan maupun Galatama sampai
penyediaan pelatih untuk klub, dan tetek bengek lainnya
"Bagaimana mungkm kita punya tim yang kuat, jika standar
pelatih masih belum sama. "
Dibandingkan periode sebelumnya, menurut Rais, kompetisi yang
berjalan baik baru mungkm dalam masa kepengurusan Ali Sadikin.
"Hasilnya tentu saja belum bisa dinikmati sekarang. Paling tidak
baru tiga atau lima tahun mendatang," sela Soeparjo. Ia
mengharapkan pengertian masyarakat untuk tidak menuntut terlalu
muluk dari kepengurusan sekarang.
Bagaimana dengan sasaran medali emas sepakbola di SEA Games XI
di Manila? Inti tim nasional yang dipersiapkan tampaknya masih
tetap dari PSSI Utama sekarang. Dengan perombakan di sana-sini.
Yang pasti adalah pelatihnya berubah. Telah dikontrak pelatih
Bernd Fischer dari Jerman Barat yang mengambil alih tugas Tjong.
Fischer mulai bertugas 1 Juli.
"PSSI Utama harus dirombak total," komentar kolomnis Kadir
Yusuf. "Belum tentu pemain yang sekarang cocok dengan selera
Fischer." Dimas juga berpendapat demikian.
Sinyo Aliandu meragukan kemampuan Fischer menghadirkan
kesebelasan nasional yang kuat. "Saya memang tidak banyak
mengetahui reputasinya," katanya. "Tapi dari beberapa
penampilannya saya menjumpai hal yang kurang simpatik." la
menyebut antara lain kehadiran Fischer yang cuma 15 menit dalam
pertandingan PSSI Pratama dan Warna Agung di stadion utama
Senayan Hingga tak mungkin ia dapat melihat pemain berbakat.
"Saya khawatir PSSI akan menghadapi keadaan seperti waktu PSSI
Binatama dikirim ke Brazil dan dilatih oleh Alves Miraglia yang
ternyata tak ada apa-apanya."
Tak hanya Sinyo yang khawatir. Coerver kabarnya juga meragukan
kemampuan Fischer. Orang Jerman ini memang tak termasuk dalam
daftar pelatih beken.
Fischer diketahui PSSI pernah jadi pelatih kepala di klub VIR
Wormatia Worms, sebuah perkumpulan di Divisi II Jerman Barat.
Konon ia pernah melatih di Bermuda dan Barbados selama sembilan
tahun, tapi tak jelas klub yang diasuhnya. Fischer yang
dikontrak selama dua tahun, dengan bayaran Rp 3 juta sebulan,
didatangkan berkat bantuan Yayasan Tunas Raga dan KONI Pusat.
"Dilihat sepintas lalu pengetahuannya bolehlah," kata Humas PSSI
Uteh Riza Yahya.
Pengurus PSSI kabarnya terkesan oleh penilaian Fischer atas
kelemahan PSSI Utama setelah melihat pertandingannya melawan
Selandia Baru. Menurut Fischer, tim PSSI Utama kurang trampil
dalam penyelesaian akhir, tidak berusaha melakukan penetrasi
lewat pemain sayap, dan terlalu banyak membuang waktu di
lapangan tengah. "Kalau itu sih kita juga tahu," kata Ronny.
"Kita semua pokoknya kecewa dengan kekalahan PSSI Utama," kata
Bardosono. "Tapi sepantasnya kita tidak saling menyalahkan. Mari
bersama mencari jalan keluarnya."
Dengan Fischer? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini