LANTAI 17 Hotel Intercontinental di Jenewa masih tetap dijaga
para sekuriti Swiss, sekalipun konperensi tengah tahunan OPEC
yang ke-60 sudah selesai. Di hari Kamis itu, dua hari setelah
usainya konperensi, masih banyak wartawan yang belum pulang.
Mereka rupanya masih ingin mengincar penghuni yang tinggal di
kamar suite 1715.
Penghuni kamar itu, yang tak lain adalah Sheik Ahmad Zaki
Yamani, rupanya masih punya urusan di hotel itu. "Dia akan
berceramah malam ini di hotel ini," bisik seorang wartawan
Amerika. Menteri Perminyakan Arab Saudi itu memang dikabarkan
memberikan ceramah di hotel yang megah itu. Tapi para wartawan
terpaksa gigit jari, karena ceramah yang diberikan oleh tokoh
OPEC itu ternyata tak punya sangkut paut dengan soal minyak --
yakni tentang hubungan antara Islam dan Kristen.
Gambaran itu menunjukkan, betapa pentingnya Yamani masih dalam
hubungan antara OPEC dan negara pengimpor minyak. Setiap kali,
soalnya berpusat pada Arab Saudi. Dan kali ini, pertanyaannya
ialah betulkah minyak Arab Saudi akan dinaikkan harganya setelah
sidang? Kapan kira-kira?
Setiap kali disodori pertanyaan begitu, Sheik Yamani sembari
bergegas, hanya menjawab "Kita lihat saja nanti."Berbeda dengan
sidang-sidang OPEC sebelumnya, dalam pertemuan reguler mereka di
Jenewa kali ini, Sheik Yamani memang nampak sengaja menghindar
dari kejaran pers. Tak begitu jelas apa sebabnya tokoh minyak
yang suka publisitas itu lebih memilih untuk bungkam di Jenewa.
Seorang peserta penting dalam OPEC, memberi alasan Zaki amani
"tak ingin lagi tergelincir seperti di Washington."
Di Washington itulah, sekitar dua minggu sebelum dimulainya
konperensi di Jenewa, Menteri Perminyakan Arab Saudi itu
menyatakan bahwa "Arab Saudilah yang sengaja menciptakan glut
(kelebihan minyak)." Kepada peserta OPEC yang tak mau disebutkan
namanya itu, Zaki Yamani mengatakan, ia menjawab sekeras itu
karena terpancing pertanyaan seorang wartawan Amerika bahwa Arab
Saudi sekarang sudah tak punya gigi lagi dalam OPEC.
Polemik
Ternyata yang terjadi di Jenewa adalah sebaliknya. Menjelang
akhir sidang Selasa sore waktu Jenewa, timbul suatu polemik yang
cukup hebat antara Yamani dengan beberapa peserta.
Empat negara yang paling terpukul dengan adanya glut itu --
Lybia, Nigeria, Gabon dan Kuwait -- kabarnya telah mendesak
Sheik Yamani agar sidang itu juga memutuskan untuk menaikkan
harga patokan minyak jenis Arabian Hight Crude dari US$ 32
menjadi US$ 34. Di lain pihak, Yamani meminta ke 12 anggota OPEC
untuk bersabar dulu. Ia masih harus berunding dengan Pangeran
Fahd dan beberapa pemimpin Arab Saudi yang lain.
Melihat gelagat yang kurang baik, tampillah Sheik Ali Khalifa
Al-Sabah, Menteri Perminyakan Kuwait yang dihormati itu.
Termasuk salah seorang konseptor OPEC, Sheik Ali pun
mengemukakan argumentasi mengapa Arab Saudi perlu memutuskan
kenaikan harga patokan itu sekarang juga, dan tidakmenunggu
sampai di sidang akhir tahun di Abu Dhabi nanti.
Mendengar itu Sheik Yamani yang lebih senior dari Ali Khalifa
menjawab tenang "Ali saudaraku, anda sebenarnya tak perlu
mendesak saya begitu, karena anda sungguh mengetahui duduk
soalnya." Dan dalam satu napas, tanpa bernada emosi, Sheik
Yamani dikabarkan berkata "Marker crude itu adalah minyak saya.
Sayalah yang berhak memutuskan kapan minyak itu akan naik, bukan
sidang ini."
Meskipun suara Yamani berbeda dengan keinginan 12 anggota OPEC,
sidang akhirnya memutuskan untuk meneruskan hasil keputusan
konperensi OPEC ke-59 di Bali, pertengahan Desember tahun lalu.
Yaitu menetapkan harga deemed marker crude atau yang dianggap
sebagai patokan harga minyak dengan batas US$ 36 per barrel. Dan
menetapkan harga maksimum minyak OPEC setinggi US$ 41 per
barrel. Lalu, ini yang penting, konperensi juga setuju sebagian
besar anggota melakukan pengurangan produksi minimal 10%.
Yang menarik dalam keputusan itu adalah tidak disebutkannya
harga patokan Arabian Light Crude yang tetap bertahan dengan US$
32 per barrel. Menurut seorang anggota delegasi, "penyebutan itu
sengaja dihindarkan, agar umum memperoleh kesan Arab Saudi
barangkali akan menaikkan harganya dalam waktu dekat ini."
Kapan? Tak satu pun anggota yang bisa memastikannya, kecuali
Arab Saudi sendiri. Humberto Calderon Berti, yang sebelum
dimulainya sidang sempat diajak makan malam oleh Sheik Yamani di
sebuah restoran eksklusif di Jenewa, percaya "Arab Saudi akan
menaikkan harga mungkin sebanyak US$ 2 per barrel sebelum sidang
di Abu Dhabi." Menteri Pertambangan dan Energi Venezuela itu
bahkan merasa yakin Arab Saudi akan memotong produksi mereka
yang sekarang 10,3 juta barrel sehari "dengan sekitar 10%."
Iran Mencela
Keyakinan itu juga diungkapkan Hassan Sadat, 36 tahun, Wakil
Menteri Perminyakan Iran. Ia mencela sikap Sheik Yamani. "Secara
politis sikap Yamani yang arogan dan bertentangan dengan
mayoritas OPEC akan menyudutkan posisi Arab Saudi sendiri,"
katanya. "Mau tidak mau Arab Saudi pasti akan menaikkan harga
minyaknya dan menurunkan produksi dalam waktu dekat."
Hassan Sadat, yang masih suka kelihatan mengenakan hem lengan
panjang tanpa dasi, menuding glut yang sekarang mencapai sekitar
3 juta barrel sehari itu adalah "buatan Arab Saudi". Ia juga
menuding "pemerintah Arab Saudi tak berbuat apa pun untuk
rakyatnya."
Tapi ia nampak lebih tenang dibandingkan sewaktu konperensi di
Bali pertengahan Desember tahun lalu. Singkatnya, delegasi Iran
tak lagi sedemonstratif seperti di Bali, dengan membawa-bawa
gambar Imam Khomeiny dan menempatkan foto besar dari Mohammad
Jawad. Baqir Tongyuyan di kursi yang sengaja dikosongkan. Hanya
dalam ruang sidang Salle De Bal di Hotel Intercontinental
Jenewa, kursi sebelah kiri Hassan Sadat masih saja nampak
kosong. "Itu sengaja kami minta sebagai penghormatan terhadap
Menteri Perminyakan Iran Mohammad Tongyuyan yang disandera oleh
tentara Irak dan sampai sekarang belum ketahuan nasibnya,"'kata
seorang anggota delegasi Iran.
Toh terjadi titik pertemuan antara kedua negeri yang masih
bersengketa itu dalam menghadapi sikap Sheik Yamani. Yang jelas,
Iran dan Irak yang baru mulai pulih produksi minyaknya, tak
terkena hasil konsensus di Jenewa yang menyetujui pemotongan
produksi 10%.
Meskipun Iran dan Irak mendapat dispensasi, negeri penghasil
minyak sekecil Gabon (170 ribu barrel sehari) dan Equador (217
ribu), terkena konsensus itu. Equador menderita kesuliran lain
karena seluruh ekspor minyaknya tidak dikontrakkan, tapi dijual
di pasaran tunai (spot). Kini, setelah harga-harga spot rontok
menjadi di bawah harga konrak tak mudah bagi negeri yang
berpenduduk hampir 8 juta itu untuk mencari pembeli.
Di tengah kesulitan OPEC menjual minyaknya, gerakan penurunan
pro8illksi itu sendiri oleh Presiden OPEC Subroto dilihat
sebagai suatu "era baru" dalam organisasi produsen dan
pengekspor minyak itu. Dalam usiarlya yang 21 tahun OPEC sudah
sering menaikkan harga mereka secara beruntun. Tapi baru sekali
ini OPEC tergolong kompak menurunkan produksinya, suatu hal yang
tadinya mereka haramkan.
Ada lagi yang perlu dicatat sikap setuju untuk tidak bersetuju,
sudah sejak tahun 1974 berkumandang dalam sidang-sidang OPEC.
Dengan begitu OPEC dalam setiap sidang yang betapa pun
hangatnya, tetap terhindar dari perpecahan.
Adapun tentang sikap Sheikh Zaki Yamani yang suka menentang arus
itu, seorang anggota delegasi Indonesia telah menggambarkannya
dengan tepat. "Yamani, dalam sejarah OPEC, tak pernah mau merasa
didikte oleh anggota yang lain selama berlangsungnya sidang. Dia
biasanya mengambil keputusan menjelang dimulainya sidang seperti
di Karakas dua tahun lalu, atau setelah sidang itu berakhir,"
katanya.
Kata-kata itu terbukti benar di Jenewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini