Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setuju untuk tidak setuju

Pengaruh keputusan sidang opec ke-60 di jenewa bagi indonesia, sehubungan dicapainya kesepakatan menurunkan produksi minyak sebesar 10%. padahal bagi indonesia dana dari minyak dibutuhkan. (eb)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN suatu olok-olok bila Seik Zaki Yamani menjuluki Prof. Dr. Subroto sebagai "Mister Harmonizer." Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia yang kembali terpilih sebagai Presiden OPEC selalu berusaha untuk menenteramkan jalannya persidangan di Jenewa. Ia juga berhati-hati menjawab pertanyaan para wartawan yang bertubi-tubi. "OPEC telah setuju untuk tidak bersetuju," kata Subroto mengomentari hasil sidang yang praktis membekukan harga minyak selama enam bulan. Dengan kata lain "OPEC tetap menghorrnati sikap Arab Saudi." Dengan suatu pengorbanan, tentunya. Di Jakarta, selesai menghadiri sidang pleno pertama konperensi para Menteri Ekonomi ASEAN, 29 Mei, subroto mengakui "penerimaan Indonesia dari minyak bumi dalam bulan-bulan pertama sesudah pengurangan produksi yang ditetapkan OPEC memang akan berkurang." Indonesia, seperti halnya Venezuela, sebenarnya masih belum merasakan pengaruh dari glut itu. Kedua negeri itu mempunyai pasaran yang tetap. Venezuela mengontrakkan sebagian besar ekspor minyaknya ke AS. Sebagian besar ekspor minyak Indonesia mengalir ke Jepang dan Pantai Barat AS. Dari produksi minyak Indonesia yang terakhir tercatat 1,64 juta barrel sehari, sebanyak 1,1 juta barrel disisihkan untuk ekspor. Kalau pemotongan 10% yang ditentukan di Jenewa diambil dari produksi, pasti Indonesia akan rugi. Tapi menurut sebuah sumber perminyakan TEMPO, pemotongan yang 10% itu akan diambil dari jumlah ekspor. Itu berarti ekspor akan berkurang dengan 110.000 barrel sehari. Kalau ukuran produksi yang digunakan, maka pengurangannya adalah 6,7%, yang berarti sama dengan 110.000 barrel sehari. Tapi sebuah sumber yang mengetahui ragu bahwa Indonesia akan mematuhinya, mengingat dana dari minyak itu amat dibutuhkan untuk membiayai APBN yang sekarang berjalan. Dalam APBN 1981/1982 ini pos penerimaan Pajak Perseroan Minyak tercatat sebesar Rp 8,5 triliun lebih. Jumlah segede itu berdasarkan anggapan harga minyak selama tahun anggaran tersebut rata-rata mencapai US$ 36 per barrel. Ketika itu suasana pasaran minyak memang masih ramai. Terutama pasaran minyak tunai (spot) yang melonjak sampai di atas US$ 40 per barrel. Ternyata sekarang anggapan itu agak meleset. Harga ekspor minyak Indonesia kini mencapai US$ 35 per barrel. Dan dalam suasana pasar selesu sekarang, sulit diharapkan harga minyak itu akan bisa dikatrol lagi. Namun bila Indonesia dalam praktek tak akan mengurangi produksi dengan 110.000 barrel sehari, angka yang mana akan disodorkan kepada OPEC? Kabarnya mekanisme angka yang di bawah 110.000 barrel tapi bisa diterima OPEC itulah yang kini sedang diutak-atik staf Subroro bersama orang-orang Departemen Keuangan. Dan pada 4 Juni ini akan ada penjelasan dari pemerintah kepada DPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus