BUKAN suatu olok-olok bila Seik Zaki Yamani menjuluki Prof. Dr.
Subroto sebagai "Mister Harmonizer." Menteri Pertambangan dan
Energi Indonesia yang kembali terpilih sebagai Presiden OPEC
selalu berusaha untuk menenteramkan jalannya persidangan di
Jenewa. Ia juga berhati-hati menjawab pertanyaan para wartawan
yang bertubi-tubi. "OPEC telah setuju untuk tidak bersetuju,"
kata Subroto mengomentari hasil sidang yang praktis membekukan
harga minyak selama enam bulan. Dengan kata lain "OPEC tetap
menghorrnati sikap Arab Saudi."
Dengan suatu pengorbanan, tentunya. Di Jakarta, selesai
menghadiri sidang pleno pertama konperensi para Menteri Ekonomi
ASEAN, 29 Mei, subroto mengakui "penerimaan Indonesia dari
minyak bumi dalam bulan-bulan pertama sesudah pengurangan
produksi yang ditetapkan OPEC memang akan berkurang."
Indonesia, seperti halnya Venezuela, sebenarnya masih belum
merasakan pengaruh dari glut itu. Kedua negeri itu mempunyai
pasaran yang tetap. Venezuela mengontrakkan sebagian besar
ekspor minyaknya ke AS. Sebagian besar ekspor minyak Indonesia
mengalir ke Jepang dan Pantai Barat AS. Dari produksi minyak
Indonesia yang terakhir tercatat 1,64 juta barrel sehari,
sebanyak 1,1 juta barrel disisihkan untuk ekspor.
Kalau pemotongan 10% yang ditentukan di Jenewa diambil dari
produksi, pasti Indonesia akan rugi. Tapi menurut sebuah sumber
perminyakan TEMPO, pemotongan yang 10% itu akan diambil dari
jumlah ekspor. Itu berarti ekspor akan berkurang dengan 110.000
barrel sehari. Kalau ukuran produksi yang digunakan, maka
pengurangannya adalah 6,7%, yang berarti sama dengan 110.000
barrel sehari.
Tapi sebuah sumber yang mengetahui ragu bahwa Indonesia akan
mematuhinya, mengingat dana dari minyak itu amat dibutuhkan
untuk membiayai APBN yang sekarang berjalan. Dalam APBN
1981/1982 ini pos penerimaan Pajak Perseroan Minyak tercatat
sebesar Rp 8,5 triliun lebih. Jumlah segede itu berdasarkan
anggapan harga minyak selama tahun anggaran tersebut rata-rata
mencapai US$ 36 per barrel.
Ketika itu suasana pasaran minyak memang masih ramai. Terutama
pasaran minyak tunai (spot) yang melonjak sampai di atas US$ 40
per barrel. Ternyata sekarang anggapan itu agak meleset. Harga
ekspor minyak Indonesia kini mencapai US$ 35 per barrel. Dan
dalam suasana pasar selesu sekarang, sulit diharapkan harga
minyak itu akan bisa dikatrol lagi.
Namun bila Indonesia dalam praktek tak akan mengurangi produksi
dengan 110.000 barrel sehari, angka yang mana akan disodorkan
kepada OPEC? Kabarnya mekanisme angka yang di bawah 110.000
barrel tapi bisa diterima OPEC itulah yang kini sedang
diutak-atik staf Subroro bersama orang-orang Departemen
Keuangan. Dan pada 4 Juni ini akan ada penjelasan dari
pemerintah kepada DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini