Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERIUHAN pecah. Euforia dukungan bagi kesebelasan Inggris yang berhasil menyamakan kedudukan 2-2 melawan Jerman adalah penyebabnya. Sebagian besar pengunjung bar Mellys di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, merayakan gol Frank Lampard, pekan lalu. Ada yang berpelukan, ada juga yang sekadar tos. Bahkan suara gelas pecah dianggap menjadi bagian dari perayaan.
Sejurus kemudian, suasana meriah tadi mendadak antap. Wasit Jorge Larrionda asal Uruguay yang memimpin pertandingan babak 16 besar itu tak mengesahkan gol di menit ke-37 tersebut. Pertandingan berlanjut dengan skor 2-1 untuk keunggulan Jerman. Protes tak hanya di lapangan. Sebagian pendukung Inggris mengumpat di bar tempat Tempo ikut menyaksikan pertandingan tersebut. Cemoohan buat wasit tak hanya beterbangan di Mellys, tapi di seantero jagat.
Polemik tentang gol Lampard pun berkepanjangan. Keesokan harinya, segenap warga Inggris mengutuk ”kebutaan” wasit yang merugikan timnya. Dunia juga ikut berteriak. Pasalnya, bola tendangan Lampard jelas-jelas sudah melewati garis setelah membentur palang gawang. ”Jika skornya 2-2, hasil akhirnya akan berbeda. Saya kecewa,” kata Lampard. Dalam pertandingan itu akhirnya Inggris kalah 1-4.
Protes pun bermunculan. Lampard dan pelatih Fabio Capello dengan keras meneriakkan agar Asosiasi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menerapkan goal line technology. Dengan teknologi ini, bisa dipastikan apakah bola sudah melewati garis gawang dengan bantuan sensor. Teknologi serupa sudah digunakan di berbagai cabang olahraga, seperti baseball, tenis, hoki, dan American football. ”Di mana teknologi itu ketika kita membutuhkannya untuk memastikan gol atau tidak?” kata Capello.
FIFA tak menanggapi protes itu. Pasalnya, sebelum Piala Dunia 2010 dimulai, Presiden FIFA Joseph Blatter menegaskan penggunaan teknologi dalam sepak bola tak diperkenankan. Alasannya, tak mungkin menghentikan pertandingan untuk mengambil keputusan. ”Itu akan mengacaukan ritme pertandingan dan menghilangkan kemungkinan mencetak gol,” ujar Blatter, Maret lalu. Selain itu, ia menilai sepak bola adalah permainan manusiawi yang biasa diisi kesalahan.
Selang beberapa jam dari gol Lampard, di pertandingan Argentina lawan Meksiko, gol Carlos Tevez juga mengundang kecaman. Lagi-lagi penyebabnya adalah kelalaian wasit Roberto Rosetti. Gol pertama Tevez di menit ke-26 disahkan Rosetti. Padahal dalam tayangan ulang jelas terlihat Tevez berada dalam posisi offside sebelum menyundul umpan dari Lionel Messi.
Perkara ini mendapat protes keras dari pemain dan ofisial Meksiko. Mereka menunjuk layar besar di Stadion Soccer City di Johannesburg tempat tayangan ulang berlangsung. Seusai pertandingan, Tevez juga mengakuinya. ”Saya tahu saya offside,” ujarnya. ”Tapi wasit menyatakan itu gol, lalu saya merayakannya.”
Gelombang reaksi atas dua kejadian itu mengalir deras. Masalahnya, nilai gol di babak sistem gugur sangat krusial. Sama seperti Inggris, pelatih Meksiko Javier Aguirre menyatakan gol pembuka itu meruntuhkan moral pemainnya yang masih terjaga hingga sebelum gol tercipta. ”Setelah gol itu, pertandingan berubah secara dramatis,” ujar Aguirre.
Presiden Joseph Blatter hadir di kedua stadion tersebut. Ia menyaksikan semua kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Dua hari berselang, sang Presiden akhirnya angkat bicara. Ia minta maaf kepada Inggris dan Meksiko. ”Saya disusahkan oleh bukti kesalahan para wasit itu,” kata Blatter.
Bak menjilat omongan sendiri, Blatter lebih lanjut mengungkapkan ia akan membuka opsi penggunaan goal line technology atau teknologi garis gawang dalam pertandingan. ”Berdasarkan pengalaman tadi, sangat tidak masuk akal jika tidak membuka opsi teknologi garis gawang.” Masalah ini akan dibahas dalam diskusi tentang aturan pertandingan oleh Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional di Cardiff, Wales, Juli ini.
Kontroversi gol Tevez dan Lampard seakan menjadi puncak kekesalan yang disebabkan keteledoran wasit. Sejatinya, gol kontroversial sudah dimulai pada partai pertama Piala Dunia 2010. Dalam partai pembuka antara tuan rumah Afrika Selatan dan Meksiko, gol Carlos Vela di menit ke-37 tak diakui wasit Ravshan Irmatov dari Uzbekistan karena offside. Padahal, ketika Vela mendapat umpan dari rekannya, Guillermo Franco, masih ada gelandang Afrika Selatan, Steven Pienaar, di garis gawang.
Walau sempat memancing perdebatan, Vela memang disepakati berada dalam posisi offside. Dalam aturan FIFA disebut, jika seorang penyerang berada lebih dekat ke garis gawang daripada bola atau second last opponent, ia berada dalam posisi offside. Dalam kasus Vela, kiper Afrika Selatan, Khune, adalah yang disebut sebagai second last opponent. Pienaar yang di garis gawang adalah orang pertama.
Pada umumnya, ketika sebuah tim bertahan, kiper adalah orang yang disebut last opponent atau lawan terakhir. Sehingga, dalam kondisi normal, second last opponent tersebut adalah bek. Namun pada kasus Vela, kiper menjadi second last opponent karena maju meninju tendangan sudut.
Yang lainnya adalah gol gelandang Amerika Serikat, Maurice Edu, ke gawang Slovenia. Partai ketiga di Grup C yang berakhir imbang 2-2 itu seharusnya dimenangi Amerika jika gol Edu di menit ke-85 itu disahkan. Gol Edu yang lari dari belakang menyongsong tendangan bebas Landon Donovan dibatalkan wasit Koman Coulibaly. Kontan hal ini memancing kritik keras, terutama dari pihak Amerika. ”Saya tidak tahu alasan wasit,” kata Donovan, yang juga kapten tim.
Kegusaran tim Amerika semakin bertambah tatkala partai pamungkas di fase grup melawan Aljazair. Gol Clint Dempsey di babak pertama dibatalkan wasit Frank de Bleeckere dari Belgia karena ia dianggap offside. Padahal dalam tayangan ulang jelas terlihat Dempsey tidak offside. Untungnya, Amerika berhasil unggul 1-0 berkat gol Donovan pada injury time. Pertandingan ini disebut-sebut sebagai partai paling dramatis dalam sejarah sepak bola Amerika.
Tim Samba Brasil juga tak luput dari kontroversi. Gol kedua Brasil dalam partai melawan Pantai Gading yang dicetak Luis Fabiano pada menit ke-51 disahkan wasit Stephane Lannoy. Padahal Fabiano menyentuh bola dengan tangannya sebelum mencetak gol. Hal itu diakui Fabiano seusai pertandingan. ”Tetapi itu tidak sengaja,” kata striker klub Sevilla ini.
Salah satu gol kontroversial lain yang lalai dari perhatian adalah yang dicetak striker Jerman, Miroslav Klose, ketika berhadapan dengan Inggris. Gol pertama itu dimulai dari tendangan gawang kiper Jerman Manuel Neuer yang disambut Klose. Sejatinya, dalam tayangan ulang, Klose berada dalam posisi offside ketika kaki Neuer menyentuh bola. Bahkan tim Inggris ketika itu juga tak sadar akan hal ini. Hal itu baru terlihat dalam tayangan ulang.
Kesalahan demi kesalahan yang diukir wasit selama Piala Dunia 2010 membuka mata FIFA. Federasi sendiri bukan tanpa usaha untuk meningkatkan kualitas wasit. Selain meningkatkan program pelatihan wasit, FIFA menghabiskan dana Rp 400 miliar untuk menyeleksi 30 wasit dan 60 asistennya yang bertugas di Piala Dunia. Namun harus diakui itu belum memberikan hasil maksimal.
Belakangan FIFA mengakui berbagai kesalahan yang dilakukan para pengadil lapangan hijau itu. Lima wasit yang dinilai melakukan kesalahan fatal sudah dipulangkan. Mereka adalah Roberto Rosetti (Italia), Jorge Larrionda (Uruguay), Stephane Lannoy (Prancis), Massimo Bussaca (Swiss), dan Koman Coulibaly (Mali).
Kini FIFA menapakkan kakinya selangkah lebih maju. Blatter menyatakan FIFA akan mengkaji penerapan goal line technology. Namun opsi menanam chip di bola dan penayangan ulang sebelum wasit mengambil keputusan masih belum jelas. ”Untuk situasi seperti yang dialami Meksiko (melawan Argentina), kita tidak membutuhkan teknologi,” ujar Blatter, yang mengindikasikan tidak ada penerapan tayangan ulang.
Rencana penerapan ”teknologi baru” mendapat reaksi beragam dari wasit. Kepala Wasit FIFA Jorge Maria Garcia Aranda mengatakan, hal itu bukan kewenangan wasit. ”Kewajiban saya bukan untuk membicarakan penggunaan teknologi, tapi tampil sebaik mungkin,” ujar Aranda.
Wasit asal Inggris, Howard Webb, punya pendapat yang lebih menyegarkan. Ia terbuka untuk apa pun asal bisa membantu wasit lebih kredibel dalam memutuskan. ”Apa pun alat yang diberikan, saya akan menggunakannya untuk menghasilkan keputusan yang tepat,” kata Webb, yang juga memimpin partai final Liga Champions musim lalu.
Memang, penerapan teknologi bukanlah barang haram. Penggunaan headset saat ini adalah salah satu contohnya. Teknologi ditujukan untuk membantu wasit, bukan untuk menggantikan posisinya. Seperti yang pernah dikatakan Massimo Bussaca. ”Saya bukan Tuhan. Saya melakukan kesalahan,” kata wasit yang dipulangkan karena mengkartumerahkan kiper Afrika Selatan ketika menghadapi Uruguay ini.
Tito Sianipar (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo