Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pelukis Flamboyan yang Terbelah

Raden Saleh itu Arab urung, Londo durung, Jawa tanggung.

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESTA di Salon Madame de la P di Paris itu sangat meriah. Ruangannya dipenuhi para tokoh ilmu, seni, dan sastra negeri itu, seperti Alexander Dumas, pengarang The Count of Monte Cristo; kritikus Alphonse Karr, entomolog Hyppolyte Lucas, dramawan Etienne Arago, Madame Melanie Waldor, dan Comtesse de Renneville yang cantik. Mereka mengenakan kostum yang sesuai, indah, dan ceria untuk berdansa atau mazurka, menari berpasangan.

Tapi semua keglamoran itu belumlah seberapa. Di antara baju-baju berbulu tebal, sepatu merah, dan perempuan bertubuh subur itu, semua mata tertuju pada satu titik: seorang Jawa tampan berpakaian paling indah. Pemuda berkulit sawo matang itu menggunakan sorban dengan hiasan bulu-bulu dan berlian serta baju hijau ketat dengan bordir emas. Sabuk dan tangannya penuh dengan segala macam batu berharga.

Lelaki itu adalah Raden Saleh Syarif Bustaman. ”Dia seakan menjadi Pangeran Djalma,” tulis Le Petit Courrier des Dames, majalah busana mingguan Prancis, pada 5 Maret 1845. Pangeran Djalma adalah tokoh Romeo versi novelis Eugene Sue dalam Le Juif Errant (Yahudi Pengembara), cerita bersambung yang sangat populer di sana kala itu.

Sejak tiba di Paris pada 23 Januari 1845, Saleh menjadi tokoh yang menarik perhatian masyarakat, terutama kostumnya, yang orang-orang sebut ”pakaian fantasi Jawa yang mencolok”. Dia memang sangat memperhatikan penampilan dan terkesan sengaja memakai kostum mewah dan hebat untuk menarik perhatian.

Tidak ada model pakaian seperti yang dikenakan Saleh, karena dia merancang sendiri pakaiannya. Itu sebabnya penata tari Sardono W. Kusumo menyebut Saleh sebagai perancang busana pertama dari Indonesia. ”Dia berpakaian sangat fancy dan teatrikal. Bahkan, kalau dilihat-lihat, kostumnya itu seperti kostum panggung Michael Jackson,” kata anggota panitia Seminar 200 Tahun Raden Saleh itu. Seminar itu digagas Gubernur Jakarta Fauzi Bowo dan mempertemukan para ahli Raden Saleh dari berbagai negara di Jakarta, dua pekan lalu.

Raden Saleh memang selalu tampil bergaya. Saat mendapat kesempatan belajar seni lukis di Negeri Belanda, dia juga sangat peduli dengan penampilan. Jeanne de Loos-Haaxman, sarjana seni Belanda yang meneliti catatan pengeluaran Saleh, menyebut beberapa barang yang dikenakan sang seniman pada 1832, yakni mantel hangat Rusia berwarna hijau yang sangat halus, rompi berbunga-bunga, jas dari kain laken halus berwarna zaitun, pantalon wol dan rompi berwarna lembut, serta kemeja Inggris dengan hiasan leher dari kain batis, dengan pelipir lipatnya, yang merupakan bagian hiasan pakaian pria zaman itu.

Penampilan penuh warna gaya Saleh dapat dilihat di beberapa lukisan foto Saleh karya sejumlah seniman yang kini masih ada dan tersimpan di museum dan tangan kolektor. Lukisan cat minyak karya Johann Karl Baehr, yang diperkirakan dilukis pada 1841, misalnya, menggambarkan Saleh memakai sorban halus merah-putih dengan ornamen berwarna emas dan hijau serta ujung berumbai-rumbai benang emas. Pakaiannya seperti baju koko putih berkancing emas, yang ditutupi jaket besar seperti beskap berwarna hitam dengan warna merah di bagian dalam. Kerah jaket itu terbuka bagai jas, tapi dengan lipatan yang sangat besar yang hampir menutupi seluruh leher belakangnya. Lipatan dekat kancing dan bagian bawah dihiasi ornamen berbentuk daun-daun bergelombang dari benang emas.

Lukisan hitam-putih karya Fr. Hanfstaengel yang bertitimangsa 1843 menggambarkan Saleh mengenakan sorban dan baju berlengan panjang yang ditutupi rompi berlengan sebatas atas siku serta sambungan lengan yang melebar dan menggantung. Kostum yang aneh itu makin unik dengan tambahan ”sayap” berupa kain lebar yang melingkar di leher dan dua ujungnya menggantung di belakang.

Adapun beberapa sketsa pensil karya Siegwald Johannes Dahl menggambarkan Saleh mengenakan topi Turki dan scarf yang dililitkan di leher serta celana gedombrang. Baju itu lalu ditutup dengan jas berkancing rapat dan sabuk cukup besar. Scarf ini kadang diikat seperti dasi dengan sebagian ujung menggembung keluar dari jas.

Saleh tak hanya mengenakan kostum unik di Eropa, tapi juga ketika dia kembali ke Jawa pada 1851. Sir E.K. Laird, bangsawan Inggris yang pernah bertemu dengannya pada masa itu, mengatakan, ”Ia mengenakan seragam biru tua berkoktail merah yang terkancing rapat, dengan kerah mencapai telinga. Di dadanya berkilau bintang jasa, dan rambutnya yang gondrong digelung kecil di tengkuk. Kalau kulitnya tidak sawo matang, bisa saya mengatakan bahwa ia berpakaian seperti jenderal masa lalu, misalnya Jenderal Nelson.”

Mengapa Raden Saleh berpakaian demikian? Menurut Sardono, ketika mempelajari budaya Barat dan bergaul di lingkungan aristokrat Belanda, Saleh sadar bahwa pakaian itu menjadi simbol, yang memiliki kode tertentu. Pakaian, misalnya, menunjukkan kelas dan posisi sang pemakai. Tapi ada masalah karena dia tak bisa mengenakan pakaian Jawa biasa di sana, yang iklimnya jelas tak sesuai dengan iklim Nusantara.

Di Belanda, Saleh dipandang sebagai anak kolonial, pribumi dari negeri yang dijajah. Dia pernah mengirim surat ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar diizinkan mengenakan kostum tentara Belanda, tapi ditolak. Lalu dia mengirim surat lagi agar diizinkan mengenakan kostum tentara yang sudah dibubarkan, tapi ditolak juga. ”Akhirnya, Saleh merancang sendiri bajunya yang mirip-mirip kostum tentara itu,” ujar Sardono.

Kostum-kostum kalangan elite masa itu, kata Sardono, memang mirip kostum panggung. Orang-orang memakai rambut palsu, baju khusus untuk acara tertentu, dan perempuan berbaju sempit dengan rok menggelembung. ”Bedanya, Raden Saleh tidak terikat aturan berpakaian mereka. Dia bebas memilih kostumnya, sehingga dia secara kreatif menciptakan kostum khusus untuk dirinya,” ujarnya.

”Raden Saleh itu Arab urung, Londo durung, Jawa tanggung,” kata Peter Carey, sejarawan dari Universitas Oxford, yang menulis buku Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh.

Jiwa Saleh, kata Carey, terbelah-belah. Saleh adalah orang Jawa keturunan Arab yang mendapat kesempatan untuk hidup di Belanda dan menyerap pengetahuan Barat. Selain belajar melukis, dia belajar botani, geologi, etnografi, dan sejarah ketika mengikuti kegiatan ilmiah Profesor C.G.C. Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor. Ketika beasiswanya untuk belajar melukis di Belanda habis, Saleh memperpanjangnya untuk studi matematika, survei tanah, dan mekanika.

Saat kembali ke Batavia, Saleh membawa teropong, pelana kuda, dan buku Revolusi Prancis. Dengan pengetahuan dan alat-alat itu, dia menggali fosil-fosil di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan izin pemerintah kolonial. Dia menemukan banyak fosil, antara lain fosil yang diduga sejenis hiu purba Carcharodon megalodon, siput laut, dan geraham mastodon. Saleh juga sempat berkeliling Jawa dan mengumpulkan 38 manuskrip kuno, yang semuanya diserahkan ke Masyarakat Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan. Itulah sebagian sumbangannya di ranah ilmu.

Raden Saleh juga menguasai bahasa Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Tapi, di mata penjajah, dia tetaplah orang berkasta rendah, sehingga dilarang berbahasa Belanda kepada guru gambarnya di Belanda. Saleh hanya diizinkan berbahasa Melayu pasar, jenis bahasa yang lebih kasar dan jauh berbeda dari bahasa Melayu yang kita kenal.

Walau begitu, Saleh tahu bahwa dia diterima dengan baik di kalangan elite karena kepandaiannya bergaul dan keahliannya dalam melukis. Tapi dia merasa diterima lebih terbuka di Prancis dan Jerman. Di Dresden, Jerman, dia lebih bebas dan dapat menjadi dirinya sendiri karena bisa berbicara dalam bahasa Jerman, yang bukan bahasa kolonial. ”Orang Jerman juga membuka hati dan pintu untuknya sebagai sesama manusia. Dia diterima sebagai bangsawan Jawa yang punya kekhususan karena bakat yang dimilikinya,” kata Carey.

Di sini Saleh sadar bahwa pribumi itu tidak harus menjadi kuli dan dapat menghargai prestasi. Namun, ujar Carey, kehadiran Saleh itu seperti menciptakan kelas baru dalam hierarki sosial ciptaan kolonial Belanda. ”Sayangnya, saat itu dia sendirian. Dia tidak punya teman seperti di masa Dr Soetomo mendirikan Boedi Oetomo,” kata Carey.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus