Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kenangan Dresden Akan Seorang Priayi Jawa

Raden Saleh menciptakan tiga sketsa, tiga rancangan lukisan, dan enam lukisan selama tinggal di Dresden.

5 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"DIA mengenakan celana panjang putih, rompi kuning dari bahan kasmir, dan mantel musim dingin bikinan Rusia berwarna hijau,” kata Jutta Tronicke, perempuan penduduk Maxen, kota kecil di dekat Dresden, Jerman, kepada Tempo mengenai penampilan pelukis bangsawan asal Semarang itu.

Keluarga Tronicke-lah yang membeli Rumah Biru (Blaue Haeusel), yang dibangun dengan bentuk kubah masjid hasil rancangan Raden Saleh pada saat di Maxen. Di atas pintu depan rumah yang dibuat pada 1848 itu kini terpampang tulisan berhuruf Jawa: ”Tuhanmu dan Cinta kepada Manusia”. Menurut Jutta Tronicke, dari hasil bacaannya, Raden Saleh selalu tampil perlente ketika tinggal di Dresden. Ia digandrungi banyak perempuan kulit putih dan diterima kalangan terhormat Jerman.

Setelah meninggalkan Den Haag pada 18 Mei 1839, Raden Saleh memulai lawatan seni ke belantara Eropa: Jerman dan Prancis. Di Duesseldorf dan Frankfurt, ia cuma betah beberapa hari, meski banyak seniman menganggap Duesseldorf sebagai kota seni yang romantis. ”Komposisi warna lukisannya puitis, tapi tidak ramah. Berat. Beda dengan karya lukisan Belanda yang nikmat dipandang, meski tidak puitis,” kata Raden Saleh tentang karya pelukis Duesseldorf kepada majalah seni Kunsblatt.

Baru di Berlin ia merasa bahagia, terutama setelah pertemuannya dengan bangsawan Belanda, Hendrik Georg de Perponcher Sedlnitzky, orang yang berjasa mengenalkannya dengan seniman-seniman top di kota itu. Di sini ia mulai produktif. ”Saya bangun pukul 05.00 atau 06.00, kemudian melukis di kamar. Pukul 09.00 sampai 13.00 bekerja di museum. Pulang ke rumah, saya lanjutkan kerja saya dari pukul 14.00 sampai 20.00. Di kota ini saya menghasilkan tiga sketsa, tiga rancangan lukisan, dan enam lukisan,” ujar Saleh kepada majalah Kunsblatt edisi 14 Oktober 1839. Karya-karya itu kemudian dia pamerkan di Pameran Seni Berlin.

Tapi Dresden, kota berikut yang dikunjunginya, yang memberinya inspirasi luar biasa sehingga Saleh bisa menyelesaikan lukisan-lukisannya dengan cepat dan banyak. Perpaduan antara Dresden sebagai kota seni budaya dan keindahan panoramanya telah membuatnya semakin kreatif dan betah tinggal sampai empat tahun di situ. Sekalipun sudah tinggal di Paris dan Jawa, Raden Saleh masih beberapa kali mengunjungi Dresden pada 1847-1849. ”Di sini saya boleh belajar apa saja. Raja Sachsen dan saudara laki-lakinya, Pangeran Johann, juga mengizinkan saya bekerja, lebih dari seniman lainnya,” kata Saleh kepada menteri kolonial Belanda Baud.

Di Dresden, Saleh tinggal di Jalan Neue Alle 134, rumah milik Mayor Friedrich Anton Seere, ajudan gubernur militer Dresden, yang punya selera seni tinggi. Mayor Seere, yang menjadi pelindung Raden Saleh selama berada di Jerman, terpikat oleh karyanya. ”Karya bangsawan Jawa tentang pergulatan dan perburuan binatang dalam lukisan-lukisannya telah memberikan energi dan semangat kepada siapa pun yang melihatnya,” kata Seere kepada Kunsblatt. Dia kemudian mengizinkan Saleh tinggal di istana miliknya di Maxen, kota kecil di atas bukit yang tertutup kerimbunan pepohonan, sekitar 50 kilometer dari Dresden. Bekas tempat tinggal Raden Saleh di istana Major Seere di Maxen kini, menurut Jutta Tronicke, sudah berubah menjadi apartemen sewa.

Pergaulan Raden Saleh dengan para bangsawan makin meluas berkat Seere ini. Apalagi Maxen menjadi tempat pertemuan para seniman, pelukis, penyair, dan musisi elite kala itu, seperti Ludwig Tieck, Robert dan Clara Schumann, Karl Gutzkow, pendongeng Hans Christian Andersen, dan Ottilie von Goethe, sehingga banyak bangsawan kerap mengunjungi tempat ini untuk menyaksikan karya seni mereka. Dari sini pulalah Raden Saleh berkenalan dengan Raja Sachsen Coburg dan Gotha Ernst II serta istrinya, Alexandrine. ”Raden Saleh kerap diundang ke istana dan bersantap bersama para bangsawan di Istana Coburg,” kata Jutta Tronicke.

Raden Saleh menulis pengalamannya ini kepada kawannya di Den Haag. ”Di sini saya dikenalkan kepada Raja Sachsen, dan satu atau dua kali seminggu diundang makan bersama di istana. Saudara laki-lakinya, Pangeran Johann, lebih sering lagi mengundang makan. Saya memiliki hubungan yang baik dengan keluarga kerajaan. Mereka memiliki selera yang tinggi terhadap lukisan,” kata Saleh di buku Raden Saleh, ein Malerleben zwischen zwei Welten (Raden Saleh, Kehidupan Pelukis di Antara Dua Dunia).

Raden Saleh memang amat terkenal di Dresden. Sampai-sampai beberapa pelukis masyhur seperti berlomba membuat lukisan dirinya, termasuk Johann Christian Albrecht Schreuel. Di Museum of Foreign Art Riga, misalnya, terpajang lukisan potret diri Raden Saleh di atas kertas karya Johann Carl Baehr pada 1841. Ada pula litografi karya Fr. Hanfstaengl, yang dibikin pada 1843. Carl Christian Vogel von Vogelstein bahkan membuat dua karya: dengan pensil yang dibikin pada 1839 dan lukisan hitam-putih di atas kertas minyak pada 1847. Siegwald Dahl juga membuat sketsa pensil pada 1848 dan sekarang tersimpan di lemari kaca Gedung Karya Seni Dresden.

Ironisnya, kata Jutta Tronnice, tak satu pun karya lukisan Raden Saleh yang tersimpan di Dresden atau di Museum Heimat, Maxen. ”Saya juga tidak mengerti kenapa bisa begitu,” katanya. Yang terpajang di museum cuma potret-potret lukisan.

Tempo melihat hanya ada beberapa gambar karya Raden Saleh yang tersimpan di lemari kaca Gedung Karya Seni Kota (Der Staatlichen Kunstsammlungen), yaitu Totes Pferd, von einem Loewen Zerfleischt atau bangkai kuda yang sedang dicabik singa (22,4 x 27,5 sentimeter) buatan tahun 1844, Schreitender Tiger atau Macan Gagah (26,5 x 37,6 sentimeter, cat air, 1847) dan Davonspringender Hund atau Anjing Melompat (26 x 33,4 sentimeter, kertas minyak, 29 November 1848).

Banyak lukisan Raden Saleh justru menjadi koleksi pribadi atau koleksi museum di lain kota, seperti lukisan bangsawan terkenal Herzog Ernst II, und Alexandrine nach Jagd (113 x 134 sentimeter, 1844) dan dikoleksi Istana Ehrenburg, Cobur, atau gambar Miss Coburg (1845) dan Wilhelm Krueger (1842).

Lukisannya yang lain, Seesturm, menjadi koleksi pribadi di Jerman. Lukisan berukuran 88 x 119 sentimeter yang dibikin pada 1840 berjudul Loewenjagd, yang sebelum menjadi koleksi pribadi, kini dikoleksi Museum Leipzig. Menurut Jutta Tronicke, lukisan Raden Saleh banyak yang menjadi koleksi pribadi, seperti juga lukisan berukuran 40x30 sentimeter, Im Wintergarten von Schloss Gotha (Taman Musim Dingin di Istana Gotha) pada 1845.

Lukisan berukuran 40 x 66,8 sentimeter berjudul Pferd, durch zwei Loewen und eine Schlange angefalen (Kuda Melawan Singa dan Ular) yang dibuat pada 1841 dan Beduine zu Pferde im Kampf mit einem Loewen (Pergulatan Kuda dan Singa) tahun 1877, yang berukuran 40,3 x 98,4 kini menjadi koleksi Museum Istana Goth, dekat Coburg.

Walau karya maestronya tidak terpajang di gedung-gedung seni, Raden Saleh tetap dikenang sebagai pelukis masyhur dari tanah Jawa yang dihormati di Dresden. Jerman telah memberi kan banyak hal kepada Raden Saleh. Ucapannya, ”Saya datang ke Eropa sebagai priayi Jawa, dan pulang ke Jawa sebagai orang Jerman,” terus diingat sebagai ucapan monumental seniman Dresden. Juga ucapannya yang lain: ”Ich habe Deutschland so vieles zu Danken” (Saya mesti banyak berterima kasih kepada Jerman) telah menjadi judul pameran di Museum Heimat, Maxen, pada 2004-2005, untuk mengenang karya-karya seninya.

Sri Pudyastuti Baumeister (Dresden), Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus