Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH setengah juta rupiah untuk masuk sekolah menengah pertama benar-benar tidak masuk akal bagi Trisno, yang bekerja sebagai petugas honorer di Universitas Indonesia, Depok. Dengan penghasilan tak lebih dari satu juta rupiah per bulan, pria 44 tahun ini angkat tangan ketika diminta membayar tunai biaya pendaftaran anak sulungnya ke SMP Negeri 2 Depok, yang berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). ”Saya nyerah. Saya tak punya uang sebanyak itu,” katanya lirih Rabu pekan lalu.
”Saya sudah mohon supaya uang pendaftaran itu bisa dicicil, tapi mereka bilang tidak bisa,” kata bapak dua anak ini. Bahkan panitia pendaftaran sekolah rintisan itu mengatakan banyak calon siswa yang antre untuk mengisi tempat anaknya. Toh, kalaupun boleh mencicil, tetap saja Trisno harus jungkir-balik mencari uang untuk membayar iuran bulanan Rp 300 ribu, plus uang daftar ulang saban tahun Rp 2,5 juta.
Walhasil, dengan nilai hasil ujian nasional 27,45—rata-rata 9,15—si sulung Mohammad Rizky harus menghapus impian belajar di sekolah favorit itu pada tahun ajaran 2010-2011 ini. Selain bermodal nilai tersebut, Rizky yang selalu duduk di peringkat pertama sejak kelas satu hingga enam sekolah dasar itu sudah mengikuti serangkaian proses seleksi masuk, dari tes akademik, tes psikologi, hingga wawancara. Ia pun dinyatakan lulus di semua tes itu.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Depok pun ikut masygul dengan nasib yang dialami Rizky dan para calon siswa lain yang harus mengubur mimpi gara-gara tak mampu membayar uang pendaftaran. ”RSBI sangat eksklusif,” kata Sri Rahayu Purwitaningsih, Sekretaris Komisi Pendidikan. Ia mengatakan, dengan pendapatan per kapita warga Depok sebesar Rp 500 ribu, tak perlu membuat lagi sekolah rintisan internasional. ”Yang diperlukan adalah mendirikan sekolah negeri dengan biaya murah,” katanya.
Ketika tahun ajaran baru tiba, orang tua murid memang dibuat pusing tujuh keliling. Setelah lepas dari ujian nasional, dan hasil ujian memuaskan, mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk mendaftarkan anak ke sekolah favorit. Keluhan terhadap mahalnya biaya pendaftaran, apalagi di sekolah yang memakai label internasional, merata di semua kota. Di Purwakarta, misalnya, Wali Kota Dedi Mulyadi meminta pemerintah pusat meninjau keberadaan rintisan sekolah berstandar internasional.
Gayung bersambut. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan kementeriannya akan melakukan evaluasi pelaksanaan rintisan sekolah berstandar internasional. Ia mengatakan ada empat ukuran yang menjadi dasar evaluasi: ketersediaan sumber daya manusia, proses penerimaan siswa baru, kelengkapan sarana, dan akuntabilitas. ”Bila terjadi penyelewengan, selain ada peringatan administratif, bisa diproses secara hukum,” kata Nuh seusai rapat kerja dengan Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, tiga pekan lalu.
Nuh mengatakan evaluasi sebenarnya dilakukan setiap tahun. Hingga tahun ini, Kementerian Pendidikan telah mencabut status rintisan internasional di 18 sekolah: 8 sekolah menengah kejuruan, 8 sekolah menengah pertama, dan 2 sekolah menengah atas. Pencabutan itu dilakukan karena standar mutu pendidikan di sekolah tersebut menurun. Ia juga mengakui, mahalnya biaya pendidikan di sekolah rintisan menjadi keluhan orang tua murid, meski sudah ada kucuran dana dari pemerintah.
Rintisan sekolah berstandar internasional yang diproyeksikan menjadi sekolah berstandar internasional merupakan program pemerintah untuk mendongkrak kualitas pendidikan di Tanah Air. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 50, menyebutkan pemerintah daerah harus menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada semua jenjang untuk disiapkan menjadi pendidikan bertaraf internasional.
Program ini dimulai empat tahun lalu. Sebelumnya, pemerintah mendorong sekolah-sekolah untuk mencapai standar nasional. Sekolah standar nasional inilah yang kemudian meningkat menjadi RSBI. Menurut data Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, pada periode 2003-2009 terdapat 1.110 RSBI di seluruh Indonesia, yang meliputi SD, SMP, SMA, dan SMK. Dari jumlah tersebut, 997 merupakan sekolah negeri dan sisanya dikelola swasta.
Nuh mengatakan baru pada 2012 mendatang ada sekolah RSBI yang naik kelas menjadi sekolah berstandar internasional (SBI). ”Saat ini belum ada SBI. Izinnya juga belum dikeluarkan,” kata Nuh. Untuk mendorong percepatan peningkatan kualitas sekolah, Kementerian Pendidikan menggelontorkan uang ratusan juta rupiah ke tiap sekolah berlabel RSBI. Pada 2007, setiap SMP RSBI menerima kucuran Rp 400 juta, dan Rp 300 juta tiap tahun pada 2008-2010. Adapun SMA dan SMK menerima Rp 300 juta pada periode 2006-2008 dan Rp 600 juta pada 2009-2010.
Bantuan berupa block grant (hibah) ini diberikan untuk membangun aneka infrastruktur dan perlengkapan pendukung, meningkatkan kualitas pengajar, menyusun kurikulum, dan memperkuat manajemen sekolah. Dana tersebut hanya diberikan sepanjang sekolah masih berstatus rintisan, hingga enam tahun. Manakala sekolah rintisan dinyatakan naik kasta menjadi sekolah berstandar internasional, tidak ada lagi kucuran dana pemerintah karena sekolah tersebut dianggap sudah mandiri dalam memenuhi kebutuhan proses belajar-mengajar.
Wakil Ketua Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat Rully Chairul Azwar mengatakan besarnya dana hibah itu membuat daerah berlomba-lomba memiliki sekolah berlabel rintisan. Padahal bukan perkara gampang berubah status dari sekolah standar nasional menjadi internasional. Sederet persyaratan harus dipenuhi pengelola sekolah yang kebelet ingin menikmati miliaran duit bantuan tersebut.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional memuat aneka persyaratan tersebut. Antara lain, sekolah internasional harus melaksanakan standar yang sesuai dengan proses pembelajaran di negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Organisasi ini beranggotakan 31 negara maju, termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Tata kelola sekolah juga harus menerapkan sistem manajemen mutu ISO 901 dan ISO 14000 versi mutakhir.
Para pendidik pun tak cukup lulusan sekolah guru dan bergelar diploma. Jenjang SD, SMP, dan SMA masing-masing harus memiliki sekurang-kurangnya 10, 20, dan 30 persen guru bergelar master dan doktor, tentu dengan kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni. Yang juga harus dipenuhi, sekolah mesti menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan di luar negeri, seperti menyelenggarakan sekolah kembar (sister school) yang murid-muridnya bisa bertukar tempat.
Di Jakarta, yang kini memiliki 28 sekolah rintisan, diproyeksikan semua sekolah bakal berstatus internasional. ”Jakarta sebagai jendela negara harus memiliki sekolah bertaraf internasional,” kata Kepala Dinas Pendidikan Taufik Mulyanto kepada Heru Triyono dari Tempo. Impiannya, kelak siswa dari negara lain belajar di Jakarta.
Sejumlah sekolah rintisan memang sudah memenuhi bahkan melampaui kriteria yang ditentukan Kementerian Pendidikan. Sebutlah SMP 19 di Kebayoran Baru, yang memiliki laboratorium multimedia, laboratorium bahasa, dan tenaga pengajar bergelar master. Sekolah favorit di Ibu Kota ini juga menjadi percontohan yang ditunjuk oleh organisasi menteri-menteri pendidikan di kawasan Asia Tenggara. Dalam menjalin hubungan ke luar, sekolah ini bekerja sama antara lain dengan Loyang Secondary School di Singapura.
Lain cerita sekolah yang mendadak memasang label internasional. Pengelola sekolah tentu gelagapan memenuhi kriteria tinggi yang ditetapkan itu. Walhasil, untuk memenuhi kebutuhan label internasional itu, sekolah menarik biaya yang tak masuk akal besarnya dari orang tua. Peraturan menteri tentang sekolah internasional memang membolehkan sekolah mengenakan biaya pada peserta didik.
Penarikan biaya inilah yang dikhawatirkan akan menciptakan diskriminasi dan kastanisasi pendidikan. Taufik Mulyanto mengatakan biaya sekolah internasional lebih mahal karena fasilitas yang diterima siswa. Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal menyebutkan pemerintah pusat tak bisa menentukan tarif yang boleh ditarik dari orang tua murid karena kondisi tiap daerah berbeda. Ia juga mengingatkan sekolah agar tidak menerima siswa berdasarkan pertimbangan kemampuan keuangan orang tua murid.
Pihak SMPN 2 Depok—tentu saja—menolak sekolahnya disebut membeda-bedakan anak. Toh, faktanya, Mohammad Rizky tetap tak bisa belajar di tempat itu.
Adek Media, Tia Hapsari (Depok), Rosalina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo