Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMI sisipkan dogma di selaput mata kalian. Kalimat ini ditulis besar-besar dengan huruf balok seperti grafiti di tembok jalanan. Ia terpampang tepat di dinding kiri atas dekat pintu masuk Galeri North Art Space, Pasar Seni, Ancol, Jakarta.
Grafiti menohok itu dibikin Tembok Bomber, salah satu komunitas seni rupa Jakarta dan Bandung yang tersambung melalui Internet. Grafiti itu bersama ratusan video, lukisan, komik, dan karya lain dipajang dalam Pameran Ruang Alternatif dan Komunitas Seni Rupa di Indonesia Fixer di galeri itu selama dua pekan lalu.
Dua kurator, Ade Darmawan dan Rifky Effendy, menyeleksi dan memilih 21 komunitas seni dari berbagai kota di Nusantara. Jakarta diwakili Tembok Bomber, Akademi Samali, Atap Alis, Forum Lenteng, Kampung Segart, Maros, Ruangrupa, dan Serrum. Dari Bandung ada Asbestos, Common Room, dan VideoLab. Yogyakarta diikuti House of Natural Fiber, Performance Klub, dan Mes56. Yang lain adalah Byar Creative Industry (Semarang), Gardu Unik (Cirebon), Urban Space (Surabaya), Jatiwangi Art Factory (Jatiwangi), Malang Meeting Point (Malang), Ruang Akal (Makassar), dan Sarueh (Padang). ”Menurut data kami sebenarnya ada 100 lebih komunitas dari berbagai daerah yang selama ini agak terabaikan,” kata Bogang, kepala bidang pengembangan program dan acara di galeri itu.
Ade Darmawan menyatakan pameran ini mencoba memetakan perkembangan kelompok ini dalam dekade terakhir. Pemilihan peserta, menurut dia, berdasarkan dua hal: punya produk kolaboratif dan punya kesadaran publik atau program masyarakat. ”Ciri yang kedua itu membedakannya dari sanggar atau kelompok seniman dari generasi terdahulu,” kata Ade, yang sudah lama meneliti fenomena komunitas ini secara informal.
Kegiatan ini menjadi pameran pertama dalam sejarah yang menyajikan dokumentasi dan karya komunitas, yang diperkirakan mulai berkembang sejak awal masa reformasi. Pameran ini bersifat dokumentatif. Pengunjung seakan diajak memasuki lorong waktu pertumbuhan komunitas itu dengan ”mencicipi” kegiatan mereka melalui rekaman video, poster dan katalog pameran, laporan kegiatan, pamflet, stiker, kartu pos, dan bahkan papan tulis yang berisi corat-coret rencana kegiatan mereka.
Kita, misalkan, dapat menonton rekaman video Kampung Segart ketika seorang anggotanya mengecat jalan pada malam hari. Dengan cat semprot, si seniman menggambar bentuk persegi empat di tengah jalan. Pekerjaan itu dilakukannya beberapa menit dan sesekali dia lari ke tepi ketika diberi tanda rekannya bahwa ada kendaraan yang akan lewat.
Ada pula karya yang lucu, seperti wayang kardus karya Atap Alis dan video Forum Lenteng yang menampilkan seorang remaja bergaya punk sedang salat. Ada pula kartu pos karya Mes56 dari pameran Unfolded City pada 2005. Kartu-kartu itu mereproduksi foto-foto jadul dan memanipulasinya sehingga menjadi anakronis, seperti foto para gadis di sekolah Jawa dengan sebuah laptop nongkrong di meja.
Menurut Ade, ada beberapa ciri dari komunitas ini. Pertama, secara artistik banyak karya mereka berbasis proyek, yang digabungkan dengan proyek sosial. Mereka menyusun gagasan, merancang kegiatan, melaksanakan, dan kemudian mengevaluasinya. Hal ini membuat mereka dapat mempertahankan kualitas karya. ”Di sini dapat muncul pertanyaan apakah mereka seniman ataukah aktivis sosial, karena batas itu sangat tipis,” katanya.
Hal kedua, komunitas ini punya kesadaran untuk bertahan dan berjaringan dengan mengelola organisasi yang terbilang profesional. Wilayah kerja mereka juga merentang, tak hanya memproduksi karya artistik, tapi juga menjadikan diri mereka sebagai fungsi sosial dengan menggelar lokakarya, penerbitan, situs web, penelitian, dan seterusnya, yang menjadi konsekuensi logis dari kegiatannya.
Pameran ini menunjukkan jalur pertumbuhan lain dari arus utama seni rupa Indonesia. Selama ini arus utama berfokus pada karya individu, yang tecermin pada pameran rutin di berbagai galeri dan museum di daerah-daerah yang lebih condong kepada kepentingan pasar. Dalam hal itu, pameran ini menjadi kritik bagi dominasi pasar sekaligus menegaskan dogma mereka bahwa ruang alternatif selalu ada bagi jenis kesenian yang tidak lazim sekalipun.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo