Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kebangkitan kembali Ajax

Kesebelasan ajax (belanda) bangkit setelah satu dasawarsa lebih tenggelam, berkat upaya johan cruyff ajax dengan konsep total football-nya maju ke final piala winners melawan lokomotive leipzig.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-tiba saja Ajax kembali menjadi pusat perhatian. Klub sepak bola asal Amsterdam, Belanda, ini maju ke babak final memperebutkan Piala Winners -- kejuaraan yang diperuntukkan antarklub Eropa yang memenangkan piala persatuan sepak bola di negaranya masing-masing. Di final Rabu pekan ini, mereka ditantang oleh klub asal Jerman Timur, Lokomotive Leipzig. Pertandingan itu dimainkan di Stadion Olimpiade Athena, Yunani. Sudah hampir satu setengah dasawarsa ini Ajax tenggelam. Ia nyaris dilupakan orang. Padahal, Ajax pernah menggegerkan dunia persepakbolaan di awal 1970-an. Dengan dimotori oleh pemain legendaris Johan Cruyff (yang mendapat julukan The Fying Dutchman), klub ini memperkenalkan konsep bermain bola total football. Ini permainan sepak bola canggih: memerlukan teknik kreativitas, dan disiplin individual yang tinggi. Semua pemain yang ada harus serba bisa, mampu bermain dan berperan dalam berbagai posisi. Hasilnya, Ajax selama tiga tahun berturut: 1971, 1972, dan 1973 memegang supremasi Plala Champlons - turnamen yang dlperuntukkan bagi juara-juara kompetisi divisi utama di negara-negara Eropa - yang lebih bergengsi dari Piala Winners. Ajax bahkan melambung menjadi juara dunia antarklub di tahun 1972, mengalahkan juara Amerika Latin, Independiente dari Argentina. Adalah berkat Cruyff juga hingga Ajax bisa tampil lagi di panggung percaturan sepak bola Eropa. Sejak dua tahun lalu, ia mengabdi kepada klub yang membesarkannya itu sebagai direktur teknik merankap pelatih. Sekalipun usianya sudah menginjak 39 tahun, ia tetap kelihatan awet muda. Postur tubuhnya masih ramping dan wajah nya yang tampang remaja itu tak berubah banyak. Cruyff, yang sebenarnya tak memiliki sertifikat pelatih, mencoba bereksperimen untuk menciptakan reinkarnasi Ajax seperti di masa Jayanya. Ia dengan berani menerapkan kembali pola total football seperti yang dimainkan Ajax tempo dulu. Hasil eksperimen ini masih harus ditunggu. Ajax harus membuktikan bisa mengalahkan Lokomotive Leipzig, yang menjadi lawannya itu. Dalam perebutan Piala Winners ini, perjalanan Ajax untuk mencapai final relatif enteng. Mereka membabat Bursaspor (Turki), Olympiakos Piraeus (Yunani), FC Malmoe (Swedia), dan Real Zaragoza (Spanyol). Dalam pertandingan yang menggunakan sistem home and away, Ajax mencatat prestasi: menang tujuh kali dan hanya sekali kalah. Memasukkan 21 gol dan hanya kemasukan lima. Kalau saja perjalanan yang sudah mulus ini bisa dipertahankan, dan di final bisa mengungguli Lokomotive maka Ajax mencatat sejarah sebagai klub asai Belanda pertama yang mampu memenangkan Piala Winners. Ajax diperkuat oleh "mesin gol" Marco van Basten, yang tahun lalu memperoleh penghargaan Sepatu Emas dari Persatuan Sepak Bola Eropa (UEFA) karena prestasinya. Dalam musim kompetisi divisi utama Belanda, ia mencetak 37 gol dalam 34 pertandingan. Kemudian ada kiper tangguh Stanley Menzo. Posisinya, selain menjaga gawang, juga sesekali bertindak sebagai libero, ketika kesebelasannya dalam keadaan menyerang. Ia terkadang ikut maju sampai sedikit di luar kotak penalti. Persis seperti yang diperagakan oleh kiper Belanda Jan Jnngbloed di dua kejuaraan Piala Dunia 1974-1978. Lawan Ajax tak boleh dipandang enteng. Lokomotive, klub yang didukung perusahaan kereta api di Kota Leipzig itu, merupakan tim kuat yang diibaratkan setangguh lokomotif kereta api. Sejak dipoles Pelatih Hans-Ulrich Thomale, klub ini semakin tak terbendung. Sebelum sampai di final, Lokomotive menggilas Glentoran (Irlandia Utara), Rapid Vienna (Austria), FC Sion (Swiss), dan Bordeaux (Prancis). Lokomotive sepertinya tak ingin menyia-nyiakan peluang untuk mengulang prestasi klub senegaranya FC Magdeburg, yang pernah merebut Piala Winners di tahun 1974. Apalagi di klub itu bercokol pemain terbaik Jerman Timur '86, Renne Muller. Dialah "palang besi" di gawang Lokomotive yang disebut-sebut sebagai duplikat Lev Yashin, kiper legendaris dari Uni Soviet itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus