SUKU bunga deposito naik lagi. Para pemilik rupiah nganggur, misalnya para pengurus yayasan dana pensiun, boleh tersenyum lebar. Sebab, baru beberapa pekan ada kecenderungan beberapa bank swasta di Jakarta menurunkan bunga deposito mereka - setelah naik tiga bulan lalu - Jumat pekan lalu, suku bunga tadi kembali naik. Di BNI 1946, bank pelaksana pemerintah, misalnya. Sebelumnya bunga deposito simpanan setahun cuma 18%, tapi sehari setelah BI mengumumkan kenaikan suku bunga pelbagai instrumen moneternya, angka itu naik menjadi 19% setahun. "Mau tak mau, kami harus menyesuaikan diri," kata seorang pejabat bank pemerintah ber-asset terbesar itu. Ramai-ramai menaikkan bunga deposito itulah yang dilaksanakan hampir semua bank hari-hari ini. Tujuannya menaikkan suku bunga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), Sertifikat BI, fasilitas diskonto, dan premi swap, untuk menjala lebih banyak dana dari masyarakat, yang rupanya masih lebih suka bersemayam di bank-bank luar negeri. Menurut Binhadi, Direktur Bidang Pasar Uang dan Giralisasi BI, penghimpunan dana dari masyarakat oleh sektor perbankan tampak terus meningkat sejak diayunkannya beleid deregulasi perbankan pada 1 Juni 1983. "Kenaikannya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum adanya kebijaksanaan ini," katanya. Tendangan BI menaikkan suku bunga itu rata-rata dengan 2% berkaitan erat dengan suasana perekonomian pada 1987 ini yang, menurut Binhadi, sudah lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Kalangan pengusaha tentu masih menghitung-hitung apa akibat kenaikan suku bunga yang mendadak itu, terutama bagi mereka yang bermodal tanggung. Meningkatnya suku bunga keempat instrumen BI itu sedikit banyak akan memberatkan beban suku bunga kredit dunia usaha. Tapi, menurut Binhadi, efeknya tak akan seberapa. "Suku bunga pinjaman dari bank hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh ongkos yang dikeluarkan pengusaha," katanya. "Cuma sekitar 5% tambahan dari seluruh biaya yang dikeluarkan pengusaha," kata pejabat BI yang lain. Pendapat itu masih perlu diuji dalam praktek. Tapi, beberapa pengamat di luar BI sudah menduga kenaikan suku bunga itu akan memukul dunia investasi. Ahli moneter Anwar Nasution khawatir tindakan baru itu akan mengakibatkan dunia usaha semakin kurang berminat melakukan investasi baru. "Investasi 'kan fungsi dari tingkat suku bunga, harga barang modal, harga bahan baku, dan biaya-biaya lain," katanya. Anwar melihat nilai mata uang yen yang semakin naik gengsinya terhadap dolar AS, dengan sendirinya, akan memaksa para pengusaha kita mengeluarkan rupiah lebih banyak untuk mengimpor barang modal, yang kebanyakan datang dari Jepang. Demikian pula impor bahan baku dari negara-negara nondolar, Jerman Barat misalnya. Di saat nilai dolar dihantam dari kanan-kiri timpukan 2% dari BI, menurn Anwar, akan menambah pusin kalangan investor. Pemerintah tampaknya tak banyak punya pilihan. Kesulitan neraca pembayaran, dan utang-utang luar negeri yang meningkat gara-gara apresiasi yen, tampaknya memaksa pemerintah mengerahkan lebih banyak dana dari masyarakat, lewat kenaikan suku bunga bank. Maka, menurut Anwar, peningkatan suku bunga itu perlu diimbangi dengan rangsangan lain. Dia menunjuk pada pinjaman US$ 555,7 juta yang baru saja diteken Dana Moneter Internasional (IM) untuk Indonesia. "Pinjaman itu diberikan dengan syarat untuk meluruskan deregulasi," katanya. "Baik deregulasi di sektor investasi, tata niaga impor, maupun untuk sektor industri." Ia mengimbau agar pemerintah bisa mengerem diri untuk tak menyalurkan utang luar negeri itu bagi proyek-proyek yang padat modal, seperti membuat pesawat terbang dan kapal. Kalangan usaha umumnya mendukung tindakan deregulasi oleh pemerintah, asal saja dilakukan secara konsekuen, dan tidak setengah-setengah. "Jangan di sebelah sini dirampingkan, tapi di sebelah lain digembungkan," kata seorang pengusaha bangunan. Sektor swasta, seperti kata Ekonom Hadi Soesastro, bagaimanapun harus melakukan penyesualan agar bisa survive dan giat kembali. "Perusahaan-perusahaan yang tidak bisa menyesuaikan diri mungkin sudah mati, dan memang harus begitu. Yang tersisa sekarang sebagian besar yang tahan uji, atau bertahan dengan bantuan pemerintah," katanya (lihat Refleksi). Kalangan bankir swasta, seperti J. Wantah dan Priasmoro, tak menutup kemungkman naiknya suku bunga sekarang akan mengundang kembali sebagian rupiah yang parkir di bank-bank Singapura atau Hon Kong. Biasanya modal yang lari ke luar akan kembali pulang setelah, misalnya, terjadi tindakan devaluasi. Tapi, kali ini, setelah rupiah disunat nilainya sebanyak 40% pada September tahun lalu, gerakan untuk pulang ke kandang tampaknya tersendat-sendat. Berbagai bank devisa sendiri, sebagaimana diberitakan berbagai koran beberapa waktu lalu, sebagian labanya bukan disebabkan laba operasional. Tapi, karena memegang valuta asing. Gejala pelarian modal sekali ini tampak lebih disebabkan rasa waswas kalangan usaha. Antara lain timbulnya isu masih akan terjadi devaluasi, isu pengawasan lalu lintas devisa (exchange conrot), dan lain-lain yang tentu saja dibantah pemerintah. Juga, untuk menghadapi kesulitan neraca pembayaran, pemerintah antara lain telah membatasi impor. Ini, oleh sementara pengamat, dipandang bisa menimbulkan ketidakpastian di kalangan pengusaha yang tidak kebagian kuota impor. Pelarian modal itu dengan sendirinya akan menggerogoti dana rupiah perbankan. Maka, jalan satu-satunya untuk memupuk dana rupiah adalah dengan meningkatkan suku bunga agar dana dari masyarakat bisa dimobilisasikan. Apakah umpan kenaikan suku bunga akan mengundang kembali rupiah di bank-bank luar negeri? Jawabannya baru akan terasa dalam minggu-minggu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini