Di lapangan, para pemain tim nasional Peru hampir tiada bedanya. Kaus dan sepatu mereka jelas seragam. Kemampuan mereka dalam mengolah bola pun hampir sama. Yang membedakan hanya satu: kesejahteraan hidup mereka sehari-hari.
Claudio Pizarro, yang menjadi kapten tim Peru, pernah terenyuh melihat nasib rekan-rekannya. Sebagai striker Bayern Muenchen, ia digaji besar sekali. Sebagai gambaran, pada 2001 ia dibeli Muenchen dari Werder Bremen seharga 8,18 juta euro atau sekitar Rp 81,8 miliar. Bandingkan dengan nasib Herlyn Ysrael Zuniga Yanez, yang sama-sama menjadi penyerang di skuad Peru. Yanez jauh lebih miskin.
Yanez bahkan pernah tidak digaji selama tiga bulan oleh klubnya, Universitario (Peru), pada akhir tahun lalu. Itu sebabnya dia dan rekan-rekannya akhirnya memutuskan mogok main untuk klub masing-masing. Aksi ini disokong oleh Pizarro, yang bertemu dengan mereka di tim nasional saat prakualifikasi Piala Dunia. Tanpa ragu-ragu, ia ikut meneken semacam petisi. ?Mayoritas klub tidak menghormati hak-hak pemainnya,? katanya.
Serikat Pemain Sepak Bola Profesional Peru menyatakan, para pemilik klub divisi satu menunggak utang US$ 500 ribu atau sekitar Rp 4,5 miliar kepada para pemainnya. Karena para pemain mogok, para pelatih selama dua bulan terpaksa menurunkan pemain junior agar roda kompetisi tetap berjalan. Mogok baru berhenti setelah pemimpin klub sepakat untuk membayar gaji pemain dengan cara mengangsur.
Klub di negara lain seperti Argentina, Cile, dan Uruguay mengalami hal yang sama. Bahkan pemogokan pemain pertama kali justru terjadi di Argentina pada tahun lalu. Para pengurus klub pernah menunggak utang kepada pemain sebesar US$ 50 juta atau sekitar Rp 450 miliar. Ironisnya, pemilik utang terbanyak malah empat klub besar: Boca Juniors, River Plate, Rosario Central, dan San Lorenzo.
Di Cile dan Uruguay sama saja. Selain menunggak gaji, klub-klub membayar pemain terlalu murah. Banyak pemain di klub Uruguay hanya bergaji US$ 50 atau sekitar Rp 450 ribu sebulan. Dengan standar gaji pemain divisi satu Liga Indonesia pun, uang ini terhitung kecil. Pemain Uruguay menuntut kenaikan upah menjadi minimal US$ 400 per bulan.
Pemogokan pernah pula terjadi di klub Blooming, Bolivia, dengan penyebab yang hampir sama. Di Brasil lain lagi. Musim lalu, 53 pemain meninggalkan klubnya meski masih berstatus kontrak. Mereka hengkang ke Eropa karena gaji belum dibayarkan selama beberapa bulan.
Karena kesamaan nasib, asosiasi pemain profesional dari Argentina, Meksiko, Brasil, Peru, dan Cile bertemu di Montevideo, Uruguay, Februari lalu. Mereka lalu mendirikan Federasi Pemain Profesional Amerika Selatan (Fafpro). Salah satu tujuannya adalah menuntut perbaikan standar hidup bagi para anggotanya.
Standar gaji klub Amerika Latin memang jauh lebih rendah daripada klub-klub Eropa. Kondisi ini diperparah dengan krisis ekonomi global. Itu berpengaruh terhadap penghasilan klub, baik dari sponsor mau-pun penjualan karcis penonton. ?Orang tidak datang ke stadion karena takut tak punya uang untuk makan,? kata Direktur Keuangan River Plate, Roberto Jacobi.
Padahal harga karcisnya terbilang sangat murah. Ambil contoh Liga Brasil. Di sana harga tiket cuma sekitar Rp 27 ribu. Bandingkan dengan Liga Inggris, yang bisa mencapai Rp 270 ribu. Itu pun yang datang ke stadion di Liga Brasil rata-rata hanya 3.500 orang.
Belum lagi kasus salah urus manajerial dan penyelewengan dana. Sejauh ini, baru Brasil yang melakukan pembenahan besar-besaran. Asosiasi Sepak Bola Brasil (CBF) telah menyeret 17 petinggi sepak bola karena kasus korupsi. Itu termasuk Presiden CBF, Ricardo Teixeira, dan presiden klub Vasco da Gama, Eurico Miranda.
Tapi Amerika Latin tetap ajaib. Carut-marutnya manajemen klub tak menghentikan kelahiran bakat-bakat besar. Di Boca Juniors masih ada Carlos Tevez, striker muda cemerlang. Bahkan Colo Colo?klub Cile yang bangkrut?masih menyumbangkan satu pemain untuk tim nasional, Jorge Luis Valdivia Toro. Dan tak lama lagi mereka pasti menyusul Pizarro, Ronaldo, Pablo Aimar: ke Eropa.
Andy Marhaendra (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini