ARGENTINA punya rekor fantastis pada setiap Copa America: selalu menang pada partai pertama dalam 80 tahun terakhir. Catatan makin panjang saat mereka menggelontor Ekuador 6-1 pada Copa di Peru, Kamis pekan lalu. Tiga di antaranya dilesakkan penyerang Barcelona, Javier Saviola, hanya dalam tempo 15 menit.
Pelatih Ekuador, Hernan Dario Gomez, yang sebelumnya disanjung bak pahlawan karena meloloskan timnya ke putaran final Piala Dunia 2002, kini tercenung. ?Saya berpikir untuk mundur. Kekalahan ini sangat memukul saya,? ujarnya.
Sebagai pemegang peringkat teratas dalam prakualifikasi Piala Dunia 2006 zona Amerika Selatan, Argentina memang diunggulkan. ?Mereka favorit utama,? kata pelatih Brasil, Carlos Alberto Parreira. Apalagi Brasil, sebagai saingan terberat Argentina, hanya membawa pemain kelas dua. ?Tim Samba? datang tanpa Ronaldo, Ronaldinho, Kaka, atau Roberto Carlos, yang menjadi pilar-pilar utama saat mereka menjadi juara dunia pada 2002.
Sebenarnya Argentina juga tidak diperkuat pemain bintang seperti Pablo Aimar, Hernan Crespo, serta Juan Sebastian Veron. Tapi pemain macam Kily Gonzales, Javier Zanetti, Juan Pablo Sorin, dan Saviola masih dapat turun.
Banyak bintang absen karena sebagian klub di Eropa melarang mereka bermain untuk negaranya. Kebetulan, negaranya mengamini dengan alasan takut pemainnya cedera. Maklum, masih ada momen yang lebih bergengsi: prakualifikasi Piala Dunia 2006.
Tanpa kehadiran sejumlah pemain bintang bukan berarti Copa America 2004 kurang gereget. Ini malah membuat pertandingan jadi lebih mendebarkan karena kekuatan relatif seimbang. Kuda-kuda hitam macam Cile, Ekuador, atau tuan rumah Peru bakal bisa lebih banyak berbicara untuk meredam ambisi Argentina. Sebagai juara bertahan, Kolombia pun bisa membuat kejutan, kendati sekarang prestasinya sedang anjlok. Buktinya, pada uji coba menjelang turnamen, mereka sempat mengalahkan Argentina 1-0.
Copa America adalah kejuaraan resmi antarnegara Conmebol (Konfederasi Sepak Bola Amerika Selatan). Resminya diselenggarakan dua tahun sekali, tapi kadang molor karena masalah ekonomi. Copa America lebih tua satu generasi daripada Piala Eropa. Kejuaraan ini sudah lahir pada 1916, sementara Piala Eropa baru dimulai pada 1960. Dalam kejuaraan yang telah digelar 40 kali itu, Argentina dan Uruguay memegang rekor terbanyak sebagai juara Copa America, masing-masing 14 kali. Brasil hanya enam kali, Paraguay dan Peru dua kali, sementara Bolivia dan Kolombia masing-masing sekali.
Tahun ini Copa diputar di Peru, 6-25 Juli. Selain diikuti semua anggota Conmebol (Argentina, Brasil, Bolivia, Cile, Ekuador, Paraguay, Venezuela, Uruguay, Kolombia, dan Peru), Copa mengundang dua peserta dari luar kawasan: Meksiko dan Kosta Rika. Kejuaraan ini dibagi dalam tiga grup, yang masing-masing terdiri atas empat negara. Melalui sistem setengah kompetisi, dua tim teratas tiap grup akan langsung melaju ke perempat final. Kemudian dicari dua peringkat ketiga dengan poin tertinggi untuk menggenapi perempat final jadi delapan tim. Merekalah yang berhak memperebutkan tiket ke semifinal lewat partai hidup-mati, dan kemudian final.
Peru telah bekerja keras untuk mempersiapkan diri sebagai tuan rumah. Tujuh stadion di tujuh kota mereka renovasi habis, menelan biaya US$ 13 juta (Rp 117 miliar). Setelah 1957, ini kedua kalinya Peru jadi tuan rumah.
Negara ini ingin mencontoh Kolombia tiga tahun lalu, yang sukses sebagai tuan rumah sekaligus tampil sebagai juara. ?Kami harus mempertahankan kebanggaan kami di sini. Itu juga karena kami punya kemampuan,? kata Paulo Autuori, pelatih tim Peru. Sayang, langkah awal tak berlangsung mulus. Peru hanya berbagi skor 2-2 lawan Bolivia pada partai pembuka Copa di Stadion Lima, Selasa pekan lalu.
Anak asuhan Autuori tergabung di grup A bersama Bolivia, Kolombia, dan Venezuela. Dalam kesempatan yang sama, Kolombia menang 1-0 atas Venezuela. Sebagai tuan rumah, seharusnya Peru dapat berbicara lebih. Skuad mereka di atas kemampuan rivalnya di grup ini. Apalagi mereka memiliki dua pemain andalan yang selama ini merumput di Eropa: Claudio Pizarro dan Nolberto Solano.
Di grup B, bercokol Argentina, Uruguay, Meksiko, dan Ekuador. Argentina menyimpan dendam tersendiri. Mereka tak beroleh gelar apa pun di tingkat tim nasional senior dalam sebelas tahun terakhir. ?Kami tahu tim yang saya bawa ini bukan yang terbaik, tapi kami yakin bisa mengatasi musuh-musuh,? ujar pelatih Marcelo Bielsa. Sebagai pengganti playmaker Veron, Bielsa mengandalkan pemain muda Andres D?Alessandro. Di atas kertas, Argentina dapat melewati grup ini dengan mudah.
Persaingan yang sengit justru terjadi di grup C. Di ?grup neraka? ini berkumpul tiga tim kuat Latin: Brasil, Paraguay, dan Cile, ditambah satu tim dari Amerika Tengah, Kosta Rika. Kekuatan mereka berimbang. Argentina saat ini menempati peringkat kedua prakualifikasi Piala Dunia zona Amerika Selatan, di bawah Brasil yang berada di urutan pertama. Sementara itu, Cile dan Paraguay menyusul di urutan ketiga dan keempat.
Kendati sekarang Brasil tidak menurunkan pemain utama, pelatih tim Brasil, Carlos Alberto Parreira, yakin timnya bakal mencapai prestasi maksimal. ?Tanpa Ronaldo, kami masih punya Fabiano, Adriano, Love, atau Oliveira,? tuturnya.
Ketegangan terasa menjelang pertandingan pada 14 Juli ini. Saat itu Brasil akan menghadapi Paraguay, dan Cile bertemu dengan Kosta Rika. Konfederasi Serikat Buruh di Peru merencanakan akan melakukan mogok nasional pada hari itu. Ini bentuk protes mereka terhadap beberapa kebijakan politik Presiden Peru, Alejandro Toledo. Bila para sopir dan pegawai bandar udara juga terlibat, bisa dipastikan transportasi akan lumpuh. Jangan heran jika Toledo beberapa kali menyerukan agar para buruh membatalkan rencananya.
Suasana di luar lapangan membuat perhelatan Copa America semakin terasa panas, walau para pemain tidak terlalu menghiraukannya. Tim seperti Brasil, Paraguay, dan juga Peru tetap berkonsentrasi penuh untuk membabat setiap lawan yang dihadapi, sambil bersiap-siap meredam ambisi Argentina.
Andy Marhaendra (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini