Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cepat Menangkap, Cepat Didamprat

Bayangan hasil pemilu presiden dimungkinkan lewat quick count. Hak rakyat untuk segera tahu. Tapi hal ini menuai kritik.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riswan Hikadam melirik arloji di tangan setelah mengusapnya dari debu. Toyota Kijang yang membawanya dari Sidangoli, Maluku Utara, baru saja berlalu meninggalkan kepulan debu. "Masih satu jam sebelum tempat pemungutan suara buka," pikirnya dengan wajah kusut dan mata nyalang ke kiri-kanan mencari ojek motor. Tapi tak satu pun yang lewat.

Lebih dari seperempat jam pemuda 20-an tahun itu menunggu sebelum akhirnya ada ojek motor mendekat. "Ke Sangaji Jaya," katanya. Pada pemungutan suara pemilihan presiden 5 Juli lalu, ia memang harus bersicepat dengan waktu. Bukan saatnya memanjakan tubuh penatnya setelah terbanting-banting dalam angkutan umum selama enam jam perjalanan Sidangoli-Kao. Tepat pukul sembilan pagi, TPS (tempat pemungutan suara) Desa Sangaji Jaya dibuka, dan ia sudah harus nongkrong di sana.

Kesibukan Riswan juga dialami sekitar 5.000 rekannya yang lain dari tim relawan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES). Mungkin tidak sesibuk Riswan yang harus menempuh perjalanan dengan speed boat dari Ternate ke Sidangoli, disambung enam jam dengan mobil ke Kao?sebelum menuntaskan sisa jarak 20 kilometer lagi menuju TPS Sangaji Jaya dengan ojek di jalanan berbatu.

Pada hari pemilihan presiden itu, semua relawan LP3ES memang sibuk. Seharian mereka harus ke TPS mencermati perolehan suara para calon presiden dan pasangannya sebelum melaporkannya secepat mungkin ke Jakarta melalui telepon. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan prediksi hasil pemilu secepat mungkin melalui metode quick count alias penghitungan cepat.

Untunglah, jerih payah Riswan dan kawan-kawan di 20 ribu TPS itu segera terobati. Tak lebih dari delapan jam sejak pemilu di TPS usai, LP3ES sudah bisa memperkirakan hasil pemilu presiden. Hasilnya, mereka memprediksi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berada di tempat teratas. Tengah hari berikutnya, angka tersebut sudah lebih jelas lagi. Pasangan Yudhoyono-Kalla tetap memimpin dengan perkiraan perolehan suara nasional sekitar 33,2 persen, disusul pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dengan 26 persen, Wiranto-Wahid 23,3 persen, Amien Rais-Siswono 14,4 persen, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar 3,1 persen. "Saya lelah, tapi sangat senang," kata Riswan.

Boleh saja Riswan, atau siapa pun yang menyelenggarakan quick count, senang dengan hasil kerja mereka. Yang jadi soal, akuratkah data yang mereka peroleh. "Berdasarkan pengalaman pemilu legislatif lalu, hasil quick count cukup akurat dan bisa dipertanggungjawabkan," kata Denny J.A., Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang sebelum pemilu presiden berkali-kali melakukan jajak pendapat tentang presiden pilihan publik.

Denny mungkin benar. Paling tidak, hingga Sabtu siang pekan lalu angka yang tertera di Pusat Tabulasi Nasional Komisi Pemilihan Umum pun tak jauh berbeda. Yudhoyono-Kalla mendulang 33,62 persen suara nasional, Megawati-Hasyim 26,07 persen, Wiranto-Salahuddin 22,2 persen, Amien Rais-Siswono 14,99 persen, dan Hamzah-Agum 3,11 persen.

Tapi, apa itu quick count, yang dalam beberapa pekan ini jadi bahan pembicaraan bahkan polemik di berbagai media massa? "Itu kan hanya salah satu metode untuk memprediksi hasil pemilu berdasarkan pengamatan langsung di lapangan," kata Manajer Proyek Quick Count LP3ES, Muhammad Husain Pannu. Terhitung sejak pemilu legislatif April lalu, bersama National Democratic Institute (NDI), LP3ES sudah dua kali menggelar kegiatan serupa untuk memprediksi hasil pemilu secara cepat. Caranya dengan mengerahkan ratusan, bahkan ribuan, relawan melalui pemantauan langsung di TPS saat pemungutan dan penghitungan suara dilakukan. Mereka mencatat perolehan suara di TPS-TPS.

Untuk itu, menurut Husain, data bisa diambil secara komprehensif di seluruh TPS, atau dengan memilih sekian banyak TPS untuk dijadikan sampel. Kedua cara ini, meskipun tidak esensial, membedakan penamaan bagi keduanya. Yang pertama lebih sering disebut tabulasi suara paralel (parallel vote tabulation, PVT). "Sedangkan cara kedua yang memakai sampel itulah yang kini lazim disebut quick count," kata Husain lagi. Jadi, semua quick count adalah PVT, tapi tidak sebaliknya.

Husain sendiri tidak bisa memastikan kapan metode ini pertama kali diterapkan untuk memprediksi hasil pemilu. Tapi, untuk kawasan Asia, metode itu mulai populer sejak pemilu terakhir era Ferdinand Marcos di Filipina, 1986 silam. Saat itu, seolah membayang-bayangi Comelec (lembaga penghitungan suara pemilu versi pemerintah), Gerakan Nasional Rakyat untuk Pemilu Bebas (Namfrel) melakukan pemantauan dan penghitungan secara nasional. Ketika hasil kedua lembaga itu berbeda jauh, sementara Comelec ternyata memenangkan Marcos, Filipina pun bergolak.

Lembaga penyelenggara quick count memang berusaha independen. Seperti kata Presiden Direktur NDI, Paul Rowland, "Mencegah dan menemukan kecurangan dalam pemilu merupakan salah satu keuntungan quick count." Karena itu, kehadiran para pemantau sangat mutlak. Selain bisa melaporkan kualitas pemilu, quick count juga bisa memprediksi hasil pemilu dengan cepat dan relatif akurat.

Namun, sebagaimana gading yang kebanyakan ada retaknya, metode ini pun tak selamanya menghasilkan data yang akurat. Meski hal itu juga diakui, Husain memberi garansi: semakin baik sampling dilakukan, hasilnya pun semakin mendekati data yang akan dihasilkan kala penghitungan manual selesai. "Persoalannya, bagaimana agar sampel itu semakin mendekati realitas populasi pemilih," kata Husain.

Yakin akan hal itu, LP3ES memilih sampel dengan sangat hati-hati. Dengan mempertimbangkan jumlah pemilih di tiap daerah secara proporsional, mereka menetapkan 2.000 TPS sebagai sampel. Tentu saja, daerah dengan jumlah pemilih lebih banyak mendapatkan sampel yang sesuai. Untuk bisa merepresentasikan keadaan yang sebenarnya, kondisi desa-kota pun dipertimbangkan. "Kriteria desa urban dan desa rural kita comot sesuai dengan versi Badan Pusat Statistik," ujar Husain. Misalnya, di Yogyakarta terdapat 2.000 desa dengan 600 desa urban dan 1.400 desa rural, atau 3 berbanding 7. Maka, bila diperlukan, misalnya, untuk 100 sampel TPS di Yogya, pemilihannya akan sesuai dengan proporsi 3 : 7 tersebut. "Untuk memilih desa dan TPS pun kita mengacaknya dengan komputer," ia menambahkan.

Tapi, cara yang ekstrahati-hati itu tidak lantas menutup kemungkinan pihak lain untuk tak mengkritik LP3ES. Paling tidak, menurut pengajar statistika Institut Pertanian Bogor, Khairil Anwar, LP3ES tak menjelaskan secara transparan metode dan sampling yang mereka lakukan kepada publik. "Itu kan sangat rawan kebohongan, terutama bagi kalangan masyarakat yang belum melek statistik," kata Khairil dalam sebuah forum. Ia juga mempersoalkan istilah quick count yang menurut dia akan membuat publik mengira bahwa yang dilaporkan ialah hasil akhir pemilu. "Padahal kan hanya estimasi," katanya.

Lain halnya kritik Riza Sihbudi. Pengamat politik ini mempersoalkan saat pengumuman hasil quick count LP3ES. Pengumuman yang dilakukan ketika belum semua daerah melakukan pencoblosan, menurut Riza, kurang etis. "Seolah ada pembangunan opini, padahal ada yang belum memilih," ujarnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahkan sempat mengancam mencabut akreditasi LP3ES sebagai salah satu pemantau pemilu. "Sebab, menurut undang-undang, pemantau harus melapor ke KPU sebelum memberi penilaian terhadap pemilu," kata Ketua KPU, Nazaruddin Sjamsuddin, menunjuk Undang-Undang Nomor 23/2003.

Namun, bagi peneliti BPS, Bagus Sumargo, dengan pengumuman tersebut tidak ada sisi etika yang dilanggar oleh LP3ES. "Masyarakat berhak mengetahui hasil pemilu secepat mungkin. Sepanjang LP3ES tidak melakukan kebohongan, tidak ada etika yang dilanggar. Kalau ada beberapa daerah yang terlambat, ya, itu salah sendiri," tuturnya enteng.

LP3ES sendiri punya alasan kuat mengapa mereka segera mengumumkan hasil quick count. Dari sisi volume data yang masuk, sudah hampir 76 persen data sampel sudah masuk ke pusat tabulasi LP3ES lewat 50 saluran telepon. "Begitu pula dari sisi distribusi dan stabilitas. Karena itu, data tersebut kami lepas ke masyarakat," kata Husain. Toh, dengan alasan itu, tak berarti perdebatan mengenai quick count sudah selesai.

Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus