Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah koalisi sedang marak belakangan ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata itu berarti "kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen". Bila definisi resmi ini yang digunakan, banyak ungkapan yang berseliweran setelah hasil pemilihan langsung presiden diumumkan itu jadi salah tempat. Soalnya, yang dimaksudkan umumnya adalah kesepakatan partai yang kandidatnya telah tersisih untuk mendukung partai yang jagoannya masih berlaga dengan mendapatkan imbalan politik tertentu. Biasanya yang jadi mata uang adalah posisi di kabinet bila pasangan calon presiden dan wakil presiden yang disokong itu berhasil memenangi pemilihan.
Secara sepintas perjanjian seperti ini masuk akal, namun bila dicermati ternyata bermasalah. Simaklah jumlah suara yang masuk pada pemilihan 5 Juli lalu dan bandingkan hasilnya dengan perolehan partai politik pada pencoblosan tiga bulan sebelumnya. Susilo Bambang Yudhoyono memperoleh sekitar 34 persen, padahal gabungan partai pendukungnya hanya meraih tak sampai 12 persen suara dalam perebutan kursi di Senayan. Sebaliknya, pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid meraup tak sampai 23 persen pemilih kendati kelompok partai pendukungnya berhasil merebut hampir 35 persen suara dalam pemilihan para wakil rakyat. Lebarnya jurang pemisah antara perolehan suara calon pasangan presiden dan wakil presiden pilihan partai dan dukungan yang diraih partai pada pemilihan DPR agaknya mencerminkan masih bermasalahnya hubungan antara elite partai dan jaringan akar rumput mereka.
Dalam suasana seperti ini, koalisi yang hanya melibatkan elite partai jadi kehilangan makna. Terbukti promosi tim sukses pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang berbunyi "apa pun partainya, SBY presidennya" ternyata cukup efektif. Itu sebabnya siapa pun yang akan berlaga di ronde kedua pemilihan calon presiden mendatang mesti jeli memilih mitra politik dari kubu pendukung calon yang telah tersisih. Dalam kaitan ini, mendalami data hasil pemilu 5 April silam banyak gunanya. Sebab, akan terkuak nama-nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Dewan Perwakilan Daerah yang betul-betul berhasil mendapatkan dukungan pemilih dan yang melenggang ke Senayan karena limpahan suara orang lain. Hanya mereka yang mendapat dukungan langsung para pemilihnya yang layak dipertimbangkan untuk diajak berkoalisi.
Para wakil rakyat itu punya kepentingan untuk membuat konstituen mereka senang. Cara paling efektif yang dapat mereka lakukan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menyalurkan aspirasi konstituen semaksimal mungkin. Bila upaya menjalankan aspirasi itu seiring dengan program pemerintah, tentu maksud ini lebih mudah dicapai. Itu sebabnya anggota DPR ataupun DPD yang ingin terpilih lagi pada Pemilu 2009 berkepentingan mendukung pasangan calon presiden/wakil presiden yang bersedia membantu mereka menggapai keinginan para pemilihnya. Jadi, moto mereka dalam membalas promosi SBY seharusnya berbunyi "apa pun partainya, calon yang sejalan dengan aspirasi konstituen yang akan didukung".
Dalam kerangka pemikiran seperti ini, para kandidat yang ingin menang dalam pemungutan suara 20 September nanti harus membangun koalisi dengan anggota DPR ataupun DPD berdasarkan persamaan aspirasi, bukan dengan pemilahan partai. Pembentukan barisan ini tak hanya bermanfaat dalam memenangi kursi kepresidenan, tapi juga untuk jangka yang lebih panjang, yaitu memuluskan dukungan parlemen terhadap kebijakan yang akan dijalankan kemudian. Ini jelas jauh lebih baik ketimbang mengulangi jurus bagi-bagi kekuasaan dengan membentuk kabinet pelangi seperti dilakukan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid ataupun Megawati Soekarnoputri. Sebab, terbukti mengangkat pimpinan sebuah partai sebagai menteri bukan jaminan mendapatkan dukungan partai tersebut di Senayan.
Jaminan dukungan parlemen lebih mudah didapat jika calon anggota kabinet dipilih berdasarkan kompetensi teknis, manajemen, dan kemampuan mereka membangun kesamaan aspirasi dengan para anggota DPR ataupun DPD yang relevan sedini mungkin. Sebab, dalam prakteknya nanti, para menteri inilah yang akan berhubungan langsung dengan anggota komisi di Senayan untuk menggapai kesepakatan dan dukungan. Tentu dukungan yang terbentuk dari persamaan aspirasi konstituen dan bukan karena persoalan patgulipat.
Kemampuan melobi para calon anggota kabinet ini hendaknya diuji sedini mungkin, dan yang gagal sepatutnya segera diganti. Ukuran keberhasilannya adalah dukungan terbuka anggota DPR ataupun DPD yang ditargetkan bagi sang bos, alias pasangan calon presiden/wakil presiden sebelum 20 September nanti. Semakin cepat dukungan didapat, semakin besar kemungkinan memenangi pertandingan karena para pendukung itu akan berupaya meyakinkan konstituen mereka untuk menyokong sang calon.
Ini memang bukan cara pembentukan koalisi yang mudah, namun bila dilakukan dengan benar akan memaksimalkan kemungkinan jalannya roda pemerintahan yang dimenangi. Bukankah lebih baik menang tipis dan kemudian menjadi presiden yang sukses ketimbang berhasil meraih dukungan sangat besar dalam pemilihan namun gagal sebagai presiden karena tersandung perlawanan para wakil rakyat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo