Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YAYUK Basuki seakan lupa bahwa ia berpuasa. Jumat sore dua pekan lalu di lapangan tenis Pati Unus, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terik yang tersisa tak menghalanginya berlari-lari, mengayunkan raket, mengembalikan bola lawan. Satu jam, dua jam, matahari tergelincir, keringat membasahi kausnya. Namun napasnya tak kunjung memburu.
Ratu tenis Indonesia sebelum era Wynne Prakusya dan Angelique Widjaya itu tak lantas berhenti menggembleng diri meski sedang berpuasa. Jadwal latihannya saja yang dibalik. Latihan pada bulan Ramadan dia lakukan dari sore hingga malam, beda dengan biasanya: pagi sampai sore.
Sejak kembali terjun ke lapangan tenis profesional satu setengah tahun lalu, latihan keras kembali menjadi kesehariannya. Mulai pukul 6.00 pagi—di luar bulan puasa—Yayuk menempa fisiknya di sebuah pusat kebugaran di daerah Senayan selama dua jam. Setelah itu, latihan lapangan selama dua jam, dari pukul 10.00-12.00 atau mulai pukul 14.00, tergantung kondisi fisik. ”Empat jam sehari sudah lebih dari cukup di usia saya sekarang,” katanya. Selebihnya istirahat menjaga stamina.
Aktivitas latihan itu tentu didukung asupan makanan berkualitas. Pagi hari, Yayuk sudah mengkonsumsi bubur havermut. Dengan modal makanan berserat tinggi itu, dia mengaku merasa fit sepanjang hari. Siang dan malamnya makan biasa, tapi dengan bahan dominan buah dan sayur. ”Sekarang masih kelebihan dua kilo dari berat ideal,” katanya.
Yayuk sadar. Di usianya yang genap 39 tahun November nanti, kemampuannya tak seperti saat masa puncaknya pada 1990-an. Apalagi dia sudah lima tahun menggantung raket. Maka perlu upaya keras agar benar-benar siap kembali berlaga.
Latihan harian itu untuk menjaga kondisi. Proses berat pemulihan kondisi telah dilaluinya selama tiga bulan pertama sejak memutuskan kembali terjun ke kancah tenis profesional pada Februari 2008. Saat itu, setiap pagi dan malam dia mendongkrak ketahanan fisik di pusat kebugaran. Siangnya berlatih di lapangan. ”Tulang-tulang seperti mau mretheli (copot),” dia mengisahkan. ”Sekarang fisik sudah balik 70 persen, performa permainan sekitar 50 persen, speed tidak hilang.”
Dengan kondisi seperti ini, Yayuk pelan merangkak mengumpulkan prestasi. Dia rajin mengikuti turnamen International Tennis Federation (ITF) Women’s Circuit di berbagai negara, dari yang sekelas US$ 10 ribu, untuk mengejar peringkat sekaligus adaptasi. Maklum, dia berangkat lagi dari nol alias tanpa peringkat. Padahal ranking adalah modal petenis agar dapat mengikuti turnamen profesional.
Pada Maret 2008, Yayuk mengikuti turnamen berhadiah total US$ 10 ribu di Selandia Baru, dengan jalur wildcard—kesempatan ikut turnamen meski tanpa modal peringkat. Fasilitas ini justru tidak diperolehnya di Indonesia. Dia turun berpasangan bersama Romana Tedjakusuma, sesama petenis senior, tapi terhenti di perempat final.
Yayuk tampaknya masih bertaji. Bulan yang sama, dia mencapai semifinal di turnamen US$ 25 ribu di India. Tiga bulan kemudian, berpasangan dengan petenis Australia, Tiffany Welford, ia menjadi juara dalam turnamen US$ 10 ribu di Thailand. Dalam turnamen US$ 25 ribu di Jerman, Agustus 2008, gelar juara disabetnya. Kemudian lanjut di dua turnamen di Amerika Serikat masing-masing berhadiah US$ 50 ribu. Sekali menjadi finalis, sekali juara.
Selama enam bulan dari November 2008, Yayuk sempat istirahat tidak mengikuti turnamen. Kemudian, April 2009, dia turun berpasangan dengan Romana Tedjakusuma dalam turnamen di Balikpapan berhadiah US$ 25 ribu. Gelar juara diraihnya. Berikutnya juara lagi di turnamen US$ 25 ribu di Korea Selatan. Agenda turnamen paling dekat yang akan diikutinya di Jepang, bulan ini.
Rajin mengikuti turnamen adalah demi mendongkrak peringkat. Dana besar sudah keluar dari kocek pribadi. Latihan, transportasi, akomodasi selama mengikuti turnamen, tak ada yang gratis. Dia sampai menjual mobil kesayangannya. ”New CRV sudah melayang,” katanya. Tapi itu tidak disesali. Mengikuti banyak turnamen makin mengasah kemampuannya. Selain itu, ”modal” nantinya bisa balik bila ada sponsor atau jika berhasil menang di turnamen berhadiah besar.
Ambisinya: mengulang masa kejayaannya pada 1990-an, berlaga di ajang grand slam—sebutan empat kejuaraan tenis terkemuka di dunia, yakni Australia Terbuka, Wimbledon, Amerika Terbuka, dan Prancis Terbuka (Roland Garros).
Untuk mewujudkannya, selain persiapan pribadi, Yayuk mulai mencari pasangan. Kriterianya? ”Semangat, berkomitmen, dan menghargai permainan ganda,” katanya. Untuk itu dia rajin berkomunikasi dengan petenis wanita dari berbagai negara. ”Kadang dengan chatting sambil bercanda,” ujarnya. Soal pasangan, sementara ini sifatnya masih cair dan terbuka, akan ditetapkan nanti sembari mengikuti turnamen-turnamen persiapan.
Sekarang peringkatnya di nomor ganda masih di 219 Asosiasi Tenis Wanita (WTA). Untuk lolos ke ajang grand slam, di nomor ganda setidaknya butuh peringkat total dua petenis 150 WTA. ”Saya yakin bisa,” katanya optimistis.
Sejumlah koleganya sesama pelatih di Yayuk Basuki Tennis Academy pun yakin Yayuk mampu. ”Kondisinya masih kuat, main single pun sebenarnya bisa,” kata Sri Utaminingsih, mantan petenis nasional satu generasi di atas Yayuk. Demikian juga dengan Sulistiyono, juga mantan petenis nasional. ”Seumpama anak sekolahan, nilainya masih tinggi semua.”
Keinginan berlaga di tingkat internasional sebenarnya baru muncul di tengah perjalanan setelah terjun kembali di berbagai turnamen. ”Mulai enjoy, sesudahnya muncul ego seorang atlet untuk bisa sampai puncak,” katanya. Lantas apa niat awalnya dulu? Seturut pengakuan Yayuk, awalnya adalah kerinduan kembali bermain setelah lama tidak mengayunkan raket di turnamen.
Selain itu, ada yang lebih penting, yaitu dia ingin memberikan inspirasi kepada petenis-petenis muda. ”Biar yang muda terbakar melihat angkatan tua masih bersemangat dan bisa berprestasi,” katanya. ”Kalau saya paling lama tiga tahunan lagi benar-benar pensiun,” katanya.
Niat yang satu ini berawal dari kegemasannya melihat kondisi tenis Indonesia. ”Vakum, tak ada yang benar-benar diidolakan,” katanya. ”Sebenarnya di semua cabang olahraga,” dia menambahkan. Soal keterpurukan olahraga Tanah Air, di bidang tenis khususnya, dia mengaku kurang puas dengan target sekarang yang ”hanya” dua emas di ajang Sea Games. ”Dulu, dari tujuh emas, minimal lima kita sabet.”
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo