Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bertualang Mencerdaskan Lidah

Mencari makanan bukan hanya urusan pengisi perut dan rasa. Makanan sudah berkait dengan tantangan untuk memahami cerita di baliknya.

7 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA di Decanter Wine House terasa akrab dan hangat. Beberapa orang, yang sudah berteman dekat, duduk bercengkerama, bergairah membicarakan soal makanan di restoran dengan spesialisasi anggur dan makanan Italia, di Plaza Kuningan, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dalam temaram ruangan rumah anggur itulah, beberapa anggota "senior" Jalansutra sengaja berkumpul di restoran yang dikelola salah satu dari mereka, Yohan Handoyo, Selasa pekan lalu.

Omongan mereka memang nyambung. Secara spontan, Marchellinus Hanjaya Lesmana, Lidia Tanod, Adi W. Taroepratjeka, dan sang kepala suku Bondan Winarno memilih makanan pembuka puasa-meski tidak semua dari mereka berpuasa-yang berbeda. Ada pisang karamel dengan es krim vanila, pie apel, sejenis kue dadar isi. Ketika hidangan itu datang, ternyata setiap orang sudah membawa sendok kecil, dan secara otomatis mereka bertukar makanan pembuka. "Ini memang kebiasaan kami, pesan satu jenis makanan, sendoknya minta 12 buah," kata Marchel sambil tertawa.

Kecocokan di antara mereka juga tampak ketika mereka saling menimpali cerita ketika berburu makanan. Yohan bercerita bagaimana pengetahuan mereka bertambah tentang makanan Batak ketika diperkenalkan dengan susu kerbau yang dikentalkan dan diberi bumbu arsik-sejenis kari. "Ini kan pengetahuan baru, susu kerbau untuk lauk," celetuk Yohan.

Pembicaraan yang berkembang memang soal makanan, makanan, dan makanan-seakan menjadi topik yang tak ada habisnya. "Ada sayur khas Betawi namanya sayur babanci," kata Marchellinus, yang selain doyan makan dan jalan-jalan, juga suka memotret. "Itu makanan benar-benar bikin goyang lidah," ujarnya. Yang dimaksud dengan "goyang lidah", seusai makan, hanya lidahnya yang bisa bergoyang, anggota tubuh lainnya sudah tidak beres. Maklum, sayur babanci terdiri dari semua bagian kepala sapi, kecuali telinga dan mulut. "Jadi, saking tinggi kolesterolnya, setelah makan tinggal lidah saja yang bisa bergerak, lainnya kaku," kata Adi.

Jalansutra sebagai mailing list pencinta makanan memang sudah lama berdiri, yaitu sejak 2003. Kini anggotanya di dunia maya sudah lebih dari 15 ribu orang. Pada 17 Agustus 2004, sekitar 30 orang anggotanya mendeklarasikan kelompok mereka di Tugu Proklamasi, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Yang menjadi moto: sekalian jalan-jalan, kita makan-makan. Namun, menurut Bondan, dari sekian banyak anggota itu, yang tingkatannya sampai seperti Yohan dan kawan-kawannya tidak banyak.

Yang dimaksud Bondan adalah anggota Jalansutra yang dengan mengikuti kelompok makan-makan, kemudian berevolusi menjadi sangat paham kuliner dan rasa. Istilah mereka "cerdas lidahnya". Adi, misalnya, makin ketagihan mengeksplorasi rasa setelah menjadi bagian dari Jalansutra. Dia memang lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, sebagai juru masak (chef). Namun Jalansutra membuat dia makin menghargai makanan dan Sang Pencipta-dia sangat serius dalam hal ini. "Saya suka bermain-main dengan rasa, cabai diulek dengan biji pecah atau tidak, rasanya sudah berbeda," katanya.

Cerita Yohan lain lagi. Sebelum ikut Jalansutra, dia bekerja di perusahaan bidang teknologi informasi, Sigma Cipta Caraka. Yohan memang suka wine, tapi tak pernah berpikir bekerja di bidang yang benar-benar dia sukai. Namun, setelah bergabung dengan Jalansutra, dia berubah pandangan, dan berani terjun sepenuhnya di dunia wine. Bondan, yang melihat bakat Yohan, merekomendasikannya ikut tes kemampuan mengenali wine yang diadakan sebuah organisasi wine Prancis. Ternyata Yohan mendapat hasil terbaik, bukan di tingkat dasar, tapi malah di peringkat lanjutan. "Saya seperti mendapat pencerahan setelah ikut Jalansutra," katanya.

Marchel lain lagi. Pria dengan wajah periang ini pada dasarnya memang suka jalan dan makan. Dari kecil pun dia terbiasa nekat bepergian ke luar kota sendiri untuk makan makanan tertentu, lalu pulang. Nah, setelah masuk Jalansutra, Marchel memutuskan membuat majalah gratis yang berisi resensi makanan, Appetite Journey, pada 2005. "Namun, setelah tidak independen lagi karena ada pesanan review dari restoran tertentu, saya sudah tidak bersemangat lagi," kata Marchel, yang punya hobi memotret-terutama memotret makanan.

Bermula dari kesukaan makan enak dan berburu makanan tertentu, mereka naik ke tataran yang lebih tinggi. "Kita secara kolektif semakin sadar tentang adanya nilai-nilai budaya dalam makanan, dan makin mengasah pengertian kita akan makanan," kata Bondan. Faktor apresiasi inilah yang membuat "menikmati makanan" menjadi bagian dari hidup mereka, sekaligus membuat lidah mereka lebih cerdas. Dan Jalansutra telah menjadi pelopor komunitas foodies and traveller, pencinta makanan dan penyuka perjalanan.

Mengapresiasi makanan (dining experience) di berbagai daerah memang sudah menjadi gaya hidup kaum mapan perkotaan, kelompok yang sudah mampu membiayai diri untuk bepergi-an ke suatu tempat dan membeli makanan. Menurut cerita Bondan, bila kelompok Jalansutra jalan-jalan, biayanya bisa berlipat, karena harus menanggung biaya transpor dan makan-makan. "Bisa dalam sehari makan di 12 tempat makan," katanya.

Hal itu kemudian menjadi tren. Komunitas pencari dan pengapresiasi makanan pun bermunculan. Ini makin marak dengan adanya acara televisi, media massa, dan publikasi lain yang mengupas soal "makan enak di mana". Bahkan komunitas Bike to Work juga punya selingan menyinggahi tempat makan ketika bersepeda bersama.

Tapi, tetap saja, dari yang ikut meramaikan, ada kelompok yang serius dan punya "misi". Komunitas Bango Mania, misalnya, berfokus pada kuliner tradisional Indonesia. Komunitas yang berdiri sejak 3 Maret 2007 dan sudah memiliki hampir 5.000 anggota yang tersebar di berbagai daerah ini memperkenalkan kuliner Nusantara melalui festival dan talk show. Sama seperti anggota Jalansutra, "Saya semula hanya senang makan, namun kemudian saya tertarik pada apa di balik makanan itu," kata Radityo Djadjoeri, pendiri dan ketua komunitas Bango Mania.

Lalu dengan bersemangat Radityo bercerita tentang perjalanan soto di berbagai daerah di Indonesia. Soto aslinya dari Cina, yaitu caudo, yang merupakan makanan untuk musim dingin. Dia juga menceritakan mengapa sebaiknya sate dibakar dengan arang dari batok kelapa. "Karena arang kayu kadang punya getah beracun, sehingga ikut ke asapnya," tuturnya.

Kehadiran para pemilik "lidah cerdas" ini memang menjadi tingkatan lanjut dari para penggemar makanan enak. Mereka telah naik kelas, bahkan menjadi serius menekuni dunia kuliner. Yohan jadi ahli wine, Adi pakar kopi, sedangkan Lidia jago cokelat, serta Marchel menjadi pencicip makanan profesional. "Kami memang jadi lebih sensitif menilai rasa," kata Adi. "Bahkan air yang dipakai untuk membuat jenis makanan, tahu misalnya, bisa kami bedakan rasanya," ujar Marchel.

Ya, makanan adalah hal serius bagi mereka. Tapi, bila mereka sedang berkumpul untuk menyerbu satu tempat makan, seperti yang mereka lakukan Sabtu lalu di Kelapa Gading, Jakarta, ada satu ritual centil yang pantang dilewatkan: memotret makanan. Ketika masih memiliki kamera digital saku, adegan memotret tak terlalu merepotkan. "Tapi kini rata-rata sudah dengan kamera SLR, acara memotret makanan pun heboh," kata Marchel. Selebritas pun kalah.

Bina Bektiati, Agung Sedayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus