Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi kedua finalis, keberhasilan melenggang sampai seri pamungkas ini adalah langkah bersejarah. Lakers terakhir masuk final pada 1991, ketika masih diperkuat bintang legendaris Magic Johnson dan Kareem Abdul Jabbar. Sayangnya, saat itu klub yang pernah mengantongi lima gelar juara NBA itu ditekuk Chicago Bulls dengan Michael Jordan yang sedang meroket. Setelah Johnson dan Jabbar mundur, Lakers kehilangan taji. Padahal, ketika dalam puncak kejayaan, permainan Lakers diibaratkan showtime. Satu pujian yang tak berlebihan karena Lakers bukan hanya tampil sebagai pemenang, tapi juga menghadirkan keindahan yang menghibur. Siapa yang tak berdecak melihat aksi assist Johnson ataupun skyhook Jabbar? Sayangnya, pemain baru pada pertengahan 1990-an yang direkrut klub yang didukung para bintang Hollywood ini tak mampu berbicara banyak. Baru setelah raksasa Shaquille O' Neal dan Kobe Bryant masuk dua musim lalu, klub ini mulai bangkit.
Prestasi Pacers lebih istimewa karena final kali ini betul-betul merupakan debut mereka. Sebelumnya, klub yang kini dilatih Larry Bird, mantan bintang Boston Celtics, ini selalu terganjal di babak play off. Padahal, mereka punya bintang Reggie Miller, yang sangat lihai dalam tembakan tiga angka.
Bagaimana peluang kedua tim? Dalam pertandingan pertama Kamis pekan lalu, Lakers menang telak 104-87 atas Pacers. O'Neal jadi sosok yang ''mengerikan" dengan melesakkan 43 angka dan meraih 19 rebound (bola mental). Sementara itu, Miller justru bermain begitu buruk karena hanya berhasil satu kali dari enam belas kali tembakan tiga angka. ''Saya tak mau berpikir terus tentang pertandingan pertama ini, karena peluang kami masih terbuka," kata Miller. Bintang pelontos ini tak keliru karena sistem yang dipakai adalah yang terbaik dalam tujuh set.
Meskipun demikian, Lakers tetap lebih dijagokan. Faktor kunci pertama sosok pelatih Phil Jackson. Tak ada seorang pun penggemar basket yang berani meremehkan pria berusia 55 tahun yang sudah mengantar Chicago Bulls menjadi juara NBA enam kali ini. Jackson memang ahli strategi. Ia tahu kapan harus melepas satu pertandingan yang kurang penting agar kondisi pemainnya tetap segar.
Pilar utama lain adalah O'Neal dan Bryant. O'Neal memang cocok bergabung dengan klub glamor yang berdiri pada 1947 ini. Selain dibayar sangat mahal (sekitar US$ 13 juta per tahun), pemain yang berposisi center ini bisa menyalurkan hasratnya berakting dan bermusik rap karena tinggal di LA. Memang bakat seninya kurang istimewa dan terkesan memanfaatkan aji mumpung, tapi kemampuannya mencetak angka dengan cara ''nombok" alias slam dunk tak tertahankan. Sayang, kemampuan menembak O'Neal payah. Bryant yang berposisi guard boleh disebut lebih komplet permainannya. Memang ia jarang jadi penghasil angka tertinggi, tapi dialah satu alasan utama mengapa showtime disebut hadir kembali. Saat ini gaji Bryant masih ''kecil", kurang dari US$ 1,5 juta per tahun, tapi bisa dipastikan bila kontraknya diperpanjang, angka ini akan berlipat belasan kali. Tentu saja, selain dua pemain ini, kehadiran Ron Harper dan Rick Fox yang selalu ngotot harus dicatat.
Ganjalan serius bagi Lakers untuk meraih impiannya adalah bila O'Neal dapat dimatikan pemain Pacers. Seperti dalam pertandingan terakhir final wilayah Barat, para pemain Portland Trail Blazer tak ragu melakukan pelanggaran pada si raksasa itu. Memang, akibatnya Blazer harus menerima hukuman tembakan bebas. Namun, itu tak banyak pengaruhnya karena O'Neal memang tak lihai menembak. Bukan tak mungkin Pacers akan menerapkan strategi ini dengan risiko pertandingan jadi kurang menarik. Namun, bisa jadi hal ini akan menantang pemain Lakers untuk menghadirkan showtime dalam bentuk terbaiknya.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo