Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Ke Priangan, Kolonel itu Berpulang

Alexander Evert Kawilarang tutup usia, Selasa pekan silam. Kepergiannya kian memendekkan daftar para tokoh pejuang dari catatan sejarah.

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah pesawat melesat ke angkasa, Rabu pagi pekan lalu. Langit yang cerah mengiringi penerbangan singkat CN 235 itu dari Halim Perdanakusuma, Jakarta, menuju Bandung. Suasana muram dan hening meliputi para penumpang. Namun, bagi Kolonel Infanteri Alexander Evert Kawilarang, 80 tahun, sang "penumpang kehormatan", penerbangan ini sungguh sebuah perjalanan bahagia. Ia akan kembali untuk selama-lamanya ke tanah Priangan, sebuah negeri yang selalu menjadi kecintaannya.

Hari itu, Alex, begitu ia biasa disapa, berdandan istimewa. Tubuhnya yang gagah dibalut setelan jas warna hitam. Tangannya dipasangi sarung tangan putih. Di dadanya tersemat bintang gerilya berkilau-kilau. Dalam sebuah peti penuh taburan bunga, sang Kolonel menumpangkan tubuhnya yang tak lagi bernyawa. Kanker prostat dan kelenjar getah bening merenggutkan napas terakhir ayah tiga anak itu pada Selasa, 6 Juni, pukul 23.30 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo—setelah koma selama satu setengah bulan. Di saat akhirnya, ia ditunggui Henny Olga Kawilarang-Pondaag, istri terakhir dari tiga perkawinannya, dan Pearl Hazel Ketaren, putri bungsunya

Perjalanan ke Bandung itu memang permintaan terakhir Alex. Ia ingin dimakamkan di bumi Priangan. Di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, pejuang asal Sulawesi Utara itu dimakamkan dalam sebuah adat kemiliteran. Banyak kerabat dan handai taulan mengantarkan Alex ke pusara. Sebelum diberangkatkan ke Bandung, rumah Alex di kawasan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, dipadati para pelayat. Di antaranya Jenderal (Purn.) Kemal Idris, Ali Sadikin, begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, para anggota parlemen, kalangan militer, dan pengusaha,

Perginya sang Kolonel dengan sendirinya memendekkan daftar tokoh pejuang dari catatan sejarah negeri ini. Ahli sejarah Sabam Siagian menyebutnya sebagai putra bangsa yang amat mencintai persatuan. Menurut Direktur The Jakarta Post ini, Kawilarang adalah tentara yang amat mahir mengorganisasi perang rakyat. Dia pernah berjalan dari Sibolga hingga Sumatra Timur untuk menyusun kekuatan saat melawan serangan Belanda pada Desember 1948. "Hidup Kawilarang di masa gerilya begitu alamiah. Mandi di sungai, menangkap ayam atau babi untuk dimakan, lalu terus berjalan," tutur Sabam.

Alex Kawilarang mewarisi darah militer dari ayahnya, seorang opsir Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL, tentara Hindia-Belanda). Anak bungsu dari empat bersaudara ini dibesarkan di tengah suasana kolonial—yang ternyata tidak mengikis jiwa nasionalisnya. Selepas studi di HBS-V (Hogere Burger School) di Bandung, ia masuk pendidikan militer. Mula-mula, ia di Korps Pendidikan Perwira Cadangan, lalu di Koninklijke Militaire Academie (KMA, Akademi Militer Kerajaan) pada 1941.

Beberapa jabatan militer penting disandangnya dari 1948 sampai 1956, seperti Komandan Brigade I Siliwangi, komandan subteritorial di Tapanuli, Sumatra Utara, Komandan TT-VII, Komandan Pasukan Ekspedisi (ke Indonesia Timur), dan Panglima TT III-Siliwangi. Pada 1956, ia berangkat ke Washington untuk menjadi atase militer di Amerika Serikat. Dua tahun kemudian, ia meletakkan semua jabatan dan membuat keputusan "radikal": menyokong gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).

Dari Washington yang nyaman, ia terbang ke Sulawesi Utara menuju sebuah kehidupan "yang serba gelap dan tidak menentu". Dalam biografi A.E. Kawilarang untuk Sang Merah Putih (Ramadhan K.H., 1988), Alex mengatakan, keputusan ini ia ambil karena "mengikuti deburan hati". Keputusan ini pula yang membuatnya pernah tersingkir dari kehidupan ramai. Banyak kawan dekat menjauhinya. Padahal, anak Manado ini banyak berjasa dalam perang prakemerdekaan ataupun menumpas sejumlah pemberontakan pada masa 1950-an.

Alex juga dikenal sebagai penggagas Korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Namun, baru sekitar 47 tahun kemudian—pada 1999—ia dikukuhkan sebagai warga kehormatan korps. Sebagai pejuang, ia memang layak menerima kehormatan ini. Seperti diutarakan Edi Sukardi, 85 tahun, Ketua Komite Perjuangan Sesepuh Siliwangi, "Dia betul-betul prajurit lapangan yang mampu melekatkan tentara dengan rakyat serta memperhatikan bawahan. Itu ciri seorang tentara sejati," ujarnya kepada TEMPO.

Sepanjang hidup, kolonel infanteri ini bukan cuma menunjukkan ciri sebagai prajurit sejati, melainkan juga keberanian menuruti kata hati—walau kerap mendatangkan banyak tentangan. Dan dengan cara yang sama pula, ia telah memenangi kehormatan hidup hingga akhir hayat. Iring-iringan manusia dan gunungan bunga di pusara menunjukkan betapa Alex Kawilarang telah menunaikan seluruh kewajibannya sebelum maut membawanya "pulang"

Hermien Y. Kleden, Agus Hidayat, Biro Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus