Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, Alex, begitu ia biasa disapa, berdandan istimewa. Tubuhnya yang gagah dibalut setelan jas warna hitam. Tangannya dipasangi sarung tangan putih. Di dadanya tersemat bintang gerilya berkilau-kilau. Dalam sebuah peti penuh taburan bunga, sang Kolonel menumpangkan tubuhnya yang tak lagi bernyawa. Kanker prostat dan kelenjar getah bening merenggutkan napas terakhir ayah tiga anak itu pada Selasa, 6 Juni, pukul 23.30 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumosetelah koma selama satu setengah bulan. Di saat akhirnya, ia ditunggui Henny Olga Kawilarang-Pondaag, istri terakhir dari tiga perkawinannya, dan Pearl Hazel Ketaren, putri bungsunya
Perjalanan ke Bandung itu memang permintaan terakhir Alex. Ia ingin dimakamkan di bumi Priangan. Di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, pejuang asal Sulawesi Utara itu dimakamkan dalam sebuah adat kemiliteran. Banyak kerabat dan handai taulan mengantarkan Alex ke pusara. Sebelum diberangkatkan ke Bandung, rumah Alex di kawasan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, dipadati para pelayat. Di antaranya Jenderal (Purn.) Kemal Idris, Ali Sadikin, begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, para anggota parlemen, kalangan militer, dan pengusaha,
Perginya sang Kolonel dengan sendirinya memendekkan daftar tokoh pejuang dari catatan sejarah negeri ini. Ahli sejarah Sabam Siagian menyebutnya sebagai putra bangsa yang amat mencintai persatuan. Menurut Direktur The Jakarta Post ini, Kawilarang adalah tentara yang amat mahir mengorganisasi perang rakyat. Dia pernah berjalan dari Sibolga hingga Sumatra Timur untuk menyusun kekuatan saat melawan serangan Belanda pada Desember 1948. "Hidup Kawilarang di masa gerilya begitu alamiah. Mandi di sungai, menangkap ayam atau babi untuk dimakan, lalu terus berjalan," tutur Sabam.
Alex Kawilarang mewarisi darah militer dari ayahnya, seorang opsir Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL, tentara Hindia-Belanda). Anak bungsu dari empat bersaudara ini dibesarkan di tengah suasana kolonialyang ternyata tidak mengikis jiwa nasionalisnya. Selepas studi di HBS-V (Hogere Burger School) di Bandung, ia masuk pendidikan militer. Mula-mula, ia di Korps Pendidikan Perwira Cadangan, lalu di Koninklijke Militaire Academie (KMA, Akademi Militer Kerajaan) pada 1941.
Beberapa jabatan militer penting disandangnya dari 1948 sampai 1956, seperti Komandan Brigade I Siliwangi, komandan subteritorial di Tapanuli, Sumatra Utara, Komandan TT-VII, Komandan Pasukan Ekspedisi (ke Indonesia Timur), dan Panglima TT III-Siliwangi. Pada 1956, ia berangkat ke Washington untuk menjadi atase militer di Amerika Serikat. Dua tahun kemudian, ia meletakkan semua jabatan dan membuat keputusan "radikal": menyokong gerakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Dari Washington yang nyaman, ia terbang ke Sulawesi Utara menuju sebuah kehidupan "yang serba gelap dan tidak menentu". Dalam biografi A.E. Kawilarang untuk Sang Merah Putih (Ramadhan K.H., 1988), Alex mengatakan, keputusan ini ia ambil karena "mengikuti deburan hati". Keputusan ini pula yang membuatnya pernah tersingkir dari kehidupan ramai. Banyak kawan dekat menjauhinya. Padahal, anak Manado ini banyak berjasa dalam perang prakemerdekaan ataupun menumpas sejumlah pemberontakan pada masa 1950-an.
Alex juga dikenal sebagai penggagas Korps Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Namun, baru sekitar 47 tahun kemudianpada 1999ia dikukuhkan sebagai warga kehormatan korps. Sebagai pejuang, ia memang layak menerima kehormatan ini. Seperti diutarakan Edi Sukardi, 85 tahun, Ketua Komite Perjuangan Sesepuh Siliwangi, "Dia betul-betul prajurit lapangan yang mampu melekatkan tentara dengan rakyat serta memperhatikan bawahan. Itu ciri seorang tentara sejati," ujarnya kepada TEMPO.
Sepanjang hidup, kolonel infanteri ini bukan cuma menunjukkan ciri sebagai prajurit sejati, melainkan juga keberanian menuruti kata hatiwalau kerap mendatangkan banyak tentangan. Dan dengan cara yang sama pula, ia telah memenangi kehormatan hidup hingga akhir hayat. Iring-iringan manusia dan gunungan bunga di pusara menunjukkan betapa Alex Kawilarang telah menunaikan seluruh kewajibannya sebelum maut membawanya "pulang"
Hermien Y. Kleden, Agus Hidayat, Biro Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo