Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eros mengklaim kelompok paling gres ini sebagai suatu organisasi massa (ormas), bukan partai politik. Para aktivisnya datang dari latar belakang politik berbeda. "Mereka berkumpul bukan karena kepentingan politik semata, tapi karena prihatin akan melunturnya semangat reformasi yang ditandai oleh merosotnya moral masyarakat dan elite politik dewasa ini," kata Eros. "Yang tengah berkembang sekarang ini adalah politik perut, alias mengejar uang dan kekuasaan semata," mantan pemimpin redaksi "mendiang" tabloid Detik tersebut menjelaskan.
Ditengok dari penggagasnya, PI memang berwajah gado-gado. Dari barisan PDI Perjuangan saja terdapat nama Haryanto Taslam, Meliono Suwondo, dan Zulfan Lindan, di samping Eros sendiri. Lantas, dari kubu Golkar muncul Ade Komaruddin, yang dikenal sebagai wakil Fraksi Golkar di DPR. Kabarnya, bergabung pula aktivis Partai Kebangkitan Bangsa, Aris Ashari Siagian, dan tokoh Partai Amanat Nasional, Bara Hasibuan.
Sementara itu, dari barisan ekonomnya, organisasi ini diperkuat pula oleh kehadiran Anggito Abimanyu dan Faisal BasriFaisal adalah tokoh PAN juga. Pengusaha seperti Dekon Gunawan dan Daryono Surokusumo ikut serta. Di samping mereka, PI juga mengaku memiliki dewan penasihat yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono X, Muchtar Buchori, Ibu Gedong Bagus Oka, Roeslan Abdulgani, dan Profesor Soebroto.
Menilik latar belakang politis yang gado-gado tersebut, wajar jika lantas ada yang bertanya: ke mana PI akan berlayar di tengah samudra politik Indonesia? Pertanyaan lain yang bisa muncul di sini: siapa yang akan lebih berkuasa dalam menentukan kompas untuk menuntun arah PI?
Salah seorang anggota PI, Ade Komaruddin, lebih melihat pada kemungkinan organisasinya ini berkembang sebagai fasilitator antarpartai politik. Target PI untuk Sidang Umum MPR Agustus mendatang adalah merintis terwujudnya wadah komunikasi politik yang baik.
Dan itu bukan perkara mudah. Untuk menjadi fasilitator yang baik, Eros dan kawan-kawan dituntut menjadi telinga dan mulut yang baik. Sayangnya, menengok pengalaman lalu, sejumlah elite politik di Indonesia lebih kerap menunjukkan wajah pragmatisnya dalam bertindak sehingga dapat mengancam integritas atau semangat berkomunikasi secara baik. Mampukah PI berkelit dari takdir itu?
Godaan terhadap para aktivis PI untuk turut bermain dalam proses komunikasi politik yang tengah berlangsung sangat besar. Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, melihat PI sulit bertindak sebagai fasilitator karena banyak penggagasnya sudah terlibat dalam konflik politik. Eros, Meliono, dan Haryanto adalah tokoh yang terpental dari Kongres PDI Perjuangan di Semarang tempo hari. "Mereka harus membuktikan diri bukan sekadar barisan sakit hati," kata Arbi.
Sumber TEMPO yang dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, misalnya, melihat para aktivis PI tidak memiliki akar di basis massa dan cenderung tenggelam dalam euforia pesta demokrasi di era reformasi sekarang.
Tidak semua orang melihat kelahiran PI secara pesimistis. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi, sangat berharap PI dapat menjadi cikal-bakal lahirnya partai politik yang besar kelak. Sejumlah partai politik yang tumbuh dewasa ini, kata Mochtar, cenderung tenggelam dalam warna-warna kepentingan politik sempitnya. Kondisi ini memunculkan kebutuhan berdirinya partai politik dengan visi yang benar. Di sinilah PI sebenarnya lebih berpeluang untuk merebut hati masyarakat. "Imajinasi politik itulah yang saya lihat ada dalam sosok PI," kata doktor dari Universitas Hawaii itu.
Sebagai seniman, Eros Djarot dikenal memiliki tangan dingin. Apa pun yang tersentuh jarinya menjadi adikarya yang selalu dikenang masyarakat. Sebut saja lagu Badai Pasti Berlalu, film Tjut Nyak Dien, atau tabloid Detik. Kini, masyarakat menunggu apakah Eros masih memiliki sentuhan Midas itu.
Widjajanto, Dwi Arjanto, Iwan Setiawan, dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo