POLISI korup bukan cerita baru. Juga bukan perkara yang hanya terjadi di Indonesia. Kendati demikian, pernyataan Kepala Kepolisian RI (Kapolri), Rabu pekan lalu, patut kita cermati. Kepada para wartawan, di sela-sela acara serah terima jabatan Komandan Korps Brigade Mobil itu, Jenderal Rusdihardjo mengungkapkan rencana penyelidikan terhadap sejumlah petinggi polisi, termasuk beberapa bekas Kapolri, yang diduga terlibat penyalahgunaan dana polisi.
Pernyataan ini tampaknya terkait dengan penyidikan Tim Gabungan Markas Besar Polisi RI dan Badan Pemeriksa Keuangan yang masih berlangsung, yaitu dugaan penyimpangan penggunaan dana operasional senilai Rp 300 miliar yang bersumber dari pendapatan pembuatan surat izin mengemudi.
Bahwa pemeriksaan sampai mengarah ke sejumlah pemimpin utama polisi di masa lalu, itu menunjukkan penyimpangannya sudah bersifat sistemis. Artinya, perbaikannya pun tidak selesai dengan mengadili mereka yang terlibat, tapi juga mereformasi sistemnya—suatu hal yang harus segera dilakukan mengingat peran vital aparat penegak hukum ini dalam membawa Indonesia menjadi negara yang normal, yang berlandaskan hukum dan bukan memperjualbelikannya sebagai bagian dari komoditi komersial.
Sebab, sudah menjadi lelucon umum yang tak lucu bahwa polisi yang bergaji kecil itu—dan tidak diberi anggaran operasional yang memadai—dituntut berprestasi besar. Sampai-sampai tersiar kabar bahwa ketika satu batalyon Brimob akan diberangkatkan bertugas di Maluku, baru-baru ini, para pemimpinnya harus meminta bantuan angkatan lain untuk melengkapi pasukan dengan senjata api dan pelurunya. Begitulah. Polisi yang paling jujur pun harus berkutat dengan persoalan bagaimana mendapatkan dana tambahan untuk menjalankan tugasnya dengan baik.
Sementara itu, para perwira berseragam coklat ini tak pernah dididik resmi tentang cara mendapatkannya secara halal. Jangan heran kalau sebagian besar lantas terjerembap menggali sumber dana ini dari dunia remang-remang. Lantas, kalau asalnya tak jelas, bagaimana mengharapkan pengelolaannya juga akan transparan dan mengikuti aturan?
Maka, pemerintah memang tak punya pilihan lain untuk menolong Jenderal Rusdihardjo membenahi bawahannya. Beri polisi gaji yang cukup dan anggaran operasional yang memadai. Setelah itu, segala kegiatan menggali dana di luar anggaran resmi harus dibasmi. Masyarakat juga harus mafhum bahwa layanan pemerintahan yang baik dan benar itu tidaklah gratis. Jadi, jika pemerintah merasa perlu menaikkan berbagai pajak untuk membiayai perkara ini, jangan lantas dihujat. Justru mereka yang selama ini menggelapkan pembayaran pajaknya yang harus ditelikung. Ibarat komentar pengemudi becak asal Madura yang tersohor itu: mau aman, kok, tidak mau bayar ongkosnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini