Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kemenangan di Atas Kenangan Pahit

Sloane Stephens merebut gelar Grand Slam perdana di turnamen Amerika Serikat Terbuka 2017. Cemerlang di kala remaja, kariernya tersendat akibat cedera.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kemenangan di Atas Kenangan Pahit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama 20 detik, Sloane Stephens memeluk erat Madison Keys, sahabat sekaligus lawannya pada final turnamen tenis Amerika Serikat Terbuka di Kota New York, Sabtu dua pekan lalu. Senyum lebar di wajah petenis Amerika Serikat berusia 24 tahun itu berubah menjadi tangisan saat ia memeluk ibunya, Sybil Smith. Berstatus bukan unggulan, Stephens sukses merebut gelar Grand Slam perdananya.

Kemenangan di Flushing Meadows itu membuat Stephens, yang selalu ditonton ibunya saat bertanding, merasa sedikit syok. "Aku selalu ingin menjuarai Grand Slam," katanya kepada ABC News, Selasa pekan lalu. "Tapi aku tak pernah membayangkan bisa benar-benar meraihnya."

Mengangkat trofi juara di Arthur Ashe Stadium itu kian mengaduk emosi Stephens. Ia menorehkan sejarah di tempat yang sama saat menerima kabar kematian ayahnya, John Stephens, delapan tahun lalu. "Aku sangat histeris saat mendapat kabar itu. Tempat ini penuh kenangan pahit, dan bisa menang di sini sangat berarti bagiku," ujar Stephens kepada Sport Illustrated, pekan lalu.

Stephens masuk turnamen itu sebagai petenis kelas gurem. Bulan lalu, namanya bahkan berada di urutan ke-957 peringkat petenis Asosiasi Petenis Putri (WTA). Namun ia tampil luar biasa, di antaranya dengan menumbangkan pemegang tujuh gelar Grand Slam Venus Williams dengan skor 6-1, 0-6, dan 7-5 di semifinal dalam waktu 2 jam 7 menit. Di final, Stephens hanya butuh 61 menit untuk mengalahkan Keys dengan skor 6-3 dan 6-0.

Laga antara Stephens dan Keys menjadi final pertama sesama petenis Amerika Serikat dalam 15 tahun terakhir sejak Serena Williams mengalahkan Venus. Serena, yang juga pernah dikalahkan Stephens di Australia Terbuka pada 2013, kini menguasai 23 gelar Grand Slam, enam di antaranya ia peroleh di turnamen Amerika Serikat Terbuka.

Sangat jarang ada petenis tanpa ranking menjuarai turnamen Grand Slam. Stephens adalah petenis kedua bukan unggulan yang menjuarai Amerika Serikat Terbuka sejak sistem pemeringkatan dengan komputer dimulai pada 1975. Petenis Belgia, Kim Clijsters, menjadi petenis pertama bukan unggulan yang menang di turnamen ini pada 2009.

Partai final antara Stephens dan Keys menjadi penanda pembaruan generasi petenis putri di Amerika Serikat. Sejak awal tahun 2000-an, tenis putri Amerika dikuasai Williams bersaudara. Lebih dari dua dekade, mereka juga mendominasi berbagai kompetisi tenis dunia.

Keduanya sudah mengumpulkan 30 gelar Grand Slam dan 121 gelar WTA serta tampil di 173 babak final. Pada usia 37 tahun, Venus menjadi yang tertua di antara 300 petenis tunggal putri terbaik dunia. Ia kini menduduki peringkat kelima WTA. Adapun Serena berada di urutan ke-22.

Stephens dan Keys digadang sebagai penerus Williams bersaudara. Keduanya adalah sahabat karib dan sudah berhadapan sejak kecil. Mereka bergabung dalam tim Piala Fed dan Olimpiade. Mereka bisa begitu santai dan mengobrol ketika jeda bertanding-hal yang sering dilakukan Williams bersaudara. "Sloane adalah sahabat terbaik. Aku justru senang dia yang mengalahkanku di final," kata Keys.

Berkat kemenangan besar ini, peringkat Stephens melejit ke urutan ke-17. Kekasih Jozy Altidore, striker tim nasional sepak bola Amerika Serikat, itu senang bukan kepalang ketika mengangkat trofi. Tapi ia mengaku sangat cemas pada malam sebelum pertandingan. "Anehnya, aku malah banyak membaca majalah mobil. Begitu di lapangan, aku justru merasa lebih baik," ujarnya seperti ditulis The Guardian.

Stephens mengenal lapangan, net, bola, dan raket tenis berkat bantuan ayah tirinya, Sheldon Farrel (almarhum). Ia diajak bermain dan berlatih di Sierra Sport and Racket Club yang terletak di seberang rumah mereka di Fresno, California. Pelatih profesional Francisco Gonzalez mengenali bakatnya dan pada usia tujuh tahun Stephens berada dalam pengawasan Gonzalez. Kemampuan gadis kecil itu meningkat pesat dan berubah menjadi pemain unggulan di setiap turnamen junior.

Merasa Stephens bisa berkembang lebih baik, Gonzalez membujuk gadis itu dan orang tuanya pindah ke Florida. "Ia benar-benar menggunakan kecepatannya untuk menjelajah lapangan," kata Gonzalez seperti ditulis ABC7.

Adapun ayahnya, John Stephens, adalah pemain American football. Pada 1988, John direkrut klub New England Patriots pada putaran pertama draf Liga Nasional Sepak Bola (NFL). Ia langsung menyabet gelar Penyerang Muda Terbaik pada musim perdananya. Lima musim John tampil bersama Patriots dan mengakhiri kariernya pada 1993 setelah berpindah-pindah dari Green Bay Packers, Atlanta Falcons, dan Kansas City Chiefs.

Sloane Stephens tak benar-benar mengenal ayahnya hingga usia 13 tahun. Orang tuanya bercerai saat ia masih kecil. Hidup John diwarnai sejarah kelam selepas berhenti menjadi atlet. Ia beberapa kali terlibat serangan seksual. Pada 1994, ia ditahan di Missouri atas tuduhan memerkosa.

Hubungan Stephens dengan sang ayah lebih banyak dibangun via telepon. Sybil mengizinkan John menghubungi putrinya untuk membantu John yang divonis menderita penyakit tulang degeneratif. Stephens kecewa mengetahui masa lalu ayahnya dari Internet. "Sloane dan ayahnya sudah akrab. Dia tahu masih ada hal baik dari John yang bisa dibanggakan," ujar Sybil seperti ditulis Boston.com.

Kabar kematian ayahnya diterima Stephens saat bersiap untuk bertanding di nomor junior Amerika Serikat Terbuka 2009. John tewas pada usia 43 tahun setelah truk yang ditumpanginya menabrak pohon di Keithville, Louisiana. "Begitu tahu ayahnya meninggal, ia menangis sekitar satu setengah jam," kata Sybil. Stephens bermain tenis untuk melampiaskan kesedihannya.

Kemenangan di Amerika Serikat Terbuka ini terasa lebih manis bagi Stephens karena ia dibekap cedera dalam tiga tahun terakhir. Cedera paling parah terjadi pada kaki kanannya dan membuatnya terpaksa mundur dari turnamen Amerika Serikat Terbuka tahun lalu. Stephens mengakhiri tahun itu di peringkat ke-36.

Januari lalu, ia bahkan baru selesai menjalani operasi. Lima bulan ia tak bisa berjalan dan lebih banyak bergerak mengandalkan kruk. Banyak yang ragu Stephens bisa bermain di Amerika Serikat Terbuka. "Kala itu, aku merasa mustahil bisa kembali ke lapangan," ujarnya.

Pada Juli lalu, Stephens pulih dan langsung mencoba ikut turnamen. Pelatihnya, Kamau Murray, tak bisa berbuat banyak untuk menahan Stephens yang ingin bertanding. "Ia berusaha keras untuk pulih dan berlatih lagi," kata Murray seperti ditulis New York Times. "Ia mengerjakannya dengan konsisten." Kegigihan itu berakhir manis untuk Stephens.

Gabriel Wahyu Titiyoga (wta, Espn, The Independent, Fresnobee)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus