Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Baja lancung Masuk Konstruksi

Pabrik peleburan baja dengan teknologi tungku induksi relokasi dari Cina kian menjamur di Tanah Air. Tak memiliki standar keamanan dan keselamatan, produk baja beton ini beredar bebas di toko-toko material untuk penggunaan konstruksi.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Baja lancung Masuk Konstruksi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR semua toko material di sepanjang Jalan Pramuka, Rawalumbu, Bekasi, Jawa Barat, punya cara yang sama menawarkan barang dagangannya. Pembeli yang datang mencari besi beton sudah pasti diberi dua pilihan: besi full atau besi banci. Besi full merujuk pada besi beton dengan ukuran sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), sedangkan besi banci tak punya ukuran standar.

Tempo menemukan, misalnya, besi banci ukuran 8 milimeter jika diukur ulang diameternya tak seperti yang tertulis. "Makanya kami menyarankan kalau untuk keperluan ngedak (cor semen untuk atap) lebih baik yang full," kata seorang karyawan toko bangunan yang tak mau disebutkan namanya saat ditemui pada Kamis pekan lalu. Alasannya, besi jenis ini lebih kokoh sehingga tidak perlu khawatir ambruk.

Masalahnya, dua jenis besi beton itu punya perbedaan mencolok lain yang sering menjadi pertimbangan. Soal harga, dua produk ini selisihnya bisa mencapai Rp 10 ribu per buah. "Kalau besi banci ukuran 8 milimeter hanya Rp 27.500 per buah, sedangkan besi full harganya Rp 36.500," ujar karyawan tersebut. Ukuran lain, misalnya 10 milimeter, dijual seharga Rp 52 ribu untuk non-SNI, sedangkan yang SNI Rp 57 ribu per buah.

Lantaran selisih harga yang cukup besar itulah besi beton banci kerap menjadi pilihan pertama para konsumen. Padahal, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Hidajat Triseputro, besi beton banci berharga murah ini semestinya bukan untuk konstruksi. "Ini bahaya karena masif dijual di pasar kemudian dipakai konsumen untuk konstruksi," kata Hidajat saat ditemui di kantornya, Kamis pekan lalu.

Musababnya, cara pengolahan besi beton banci membuat spesifikasi dan kualitasnya tidak sesuai dengan standar keselamatan bangunan. Hidajat mengatakan besi tersebut merupakan produk hasil pengolahan pabrik peleburan baja yang menggunakan teknologi tungku induksi (induction furnace). "Induction furnace ini praktiknya tidak sesuai dengan kaidah," ujarnya.

Sistem dapur ini hanya mengolah bahan baku yang berasal dari scrap atau besi tua menjadi besi cair, lalu dicetak dan digiling menjadi besi tulangan. Bahkan, menurut Hidajat, ada pabrik berskala kecil yang proses peleburannya di tanah untuk kemudian dicetak menjadi balok-balok baja. "Jadi seperti bikin kue pancong, dilelehkan, terus dicetak begitu saja," tuturnya.

Direktur Teknik IISIA Setiawan Surakusumah menambahkan, induction furnace sebetulnya adalah teknologi lebih lazim dikenal untuk pengecoran. "Untuk bikin blok-blok saja, bukan produksi baja konstruksi," kata Setiawan lewat sambungan telepon, Rabu pekan lalu. "Prosesnya cuma melebur, cetak, lalu rolling." Selain proses yang sederhana, harga bersaing lantaran investasi yang dibutuhkan hanya sekitar US$ 30 juta.

Teknologi induction furnace juga tak melalui tahapan pemurnian (refine). Padahal babak pemurnian termasuk penting untuk menyisihkan sampah kimia. Selain itu, teknologi ini tidak melalui tahap homogenisasi. Dalam tahap ini, alloy dan material lain tercampur rata menjadi satu, sehingga kadar di sepanjang baja tulangan saat jadi kelak komposisinya sama. Maka besi tulangan kokoh dan tidak mudah patah.

Tahapan tersebut diterapkan oleh teknologi peleburan baja blast furnace dan electric arch furnace, yang lazim digunakan perusahaan besar seperti Krakatau Steel.

Meski begitu, sekitar lima tahun lalu, pemerintah mengeluarkan SNI baja untuk kepentingan umum buat mengakomodasi peredarannya di pasar. "Tapi aturan itu jelas menyebutkan bahwa peruntukannya bukan untuk konstruksi, melainkan kebutuhan ringan seperti panel, pagar, rak piring, dan perabotan," ujar Hidajat.

Masalahnya, perbedaan label SNI untuk konstruksi dan nonkonstruksi tak gamblang diterapkan di lapangan. Pemilik sebuah toko bangunan di Jalan Brigjen Katamso, Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mengatakan konsumen selama ini juga tak banyak mempersoalkan kualitas. Sebab, masyarakat cukup percaya pada logo SNI yang tertera di batangan besi beton. "Pembeli juga tidak bertanya merek atau lainnya," kata pedagang tersebut.

Meski mencantumkan logo SNI, diameter besi baja beton banci nyatanya memang tak persis tepat. Tempo mengukur sendiri besi baja ukuran 10 dan 12 milimeter saat menyambangi sebuah toko bangunan di Sidoarjo itu. Menggunakan jangka sorong digital, diameter masing-masing besi beton itu hanya berukuran 9,7 dan 11,7 milimeter. Menurut Hidajat, merujuk pada SNI 2052 Tahun 2014, ukuran baja tulangan beton untuk kebutuhan konstruksi dimulai dari diameter 6, 8, 10, 12, sampai 50 milimeter.

l l l

MASIFNYA peredaran baja di bawah standar keselamatan bangunan ini bermula saat banyak pabrik peleburan baja dari Cina masuk ke Indonesia. Pada 2010, sepuluh pabrik baja dari Negeri Tirai Bambu merangsek ke dalam negeri. Mereka merelokasi pabrik ke Indonesia lantaran menghindari peraturan pemerintah Cina. Pada tahun itu, pemerintah Cina membuat kebijakan tegas dengan menutup 2.000 pabrik manufaktur di sektor baja. Alasannya, industri-industri tersebut dianggap tidak bisa memenuhi aturan tentang emisi yang aman bagi lingkungan.

Selain itu, pelarangan diterapkan lantaran pabrik-pabrik ini menggunakan teknologi yang boros energi dan tidak memenuhi standar keselamatan bangunan. "Penutupan besar-besaran di Cina itu terutama untuk pabrik baja berteknologi induction furnace," ujar Direktur Eksekutif IISIA Hidajat Triseputro.

Menurut Hidajat, lantaran izin investasi masih berada di pemerintah daerah, relokasi pabrik baja dari Cina menjamur. Saat ini tercatat sekitar 200 pabrik menggunakan teknologi induction furnace.

Sejak awal pabrik ini bermunculan, para pelaku industri baja Tanah Air sudah khawatir. Kedatangan perusahaan-perusahaan baja dari Cina ini diprediksi membawa masalah. Apalagi teknologi peleburan baja berbahan baku scrap atau besi tua sudah tidak lagi diterapkan di banyak negara, baik negara-negara di kawasan Asia Tenggara maupun negara maju di dunia.

Benar saja. Hanya setahun berselang sejak invasi pabrik-pabrik baja dari Cina itu, IISIA menemukan bahwa sejumlah pabrik yang rata-rata berkapasitas produksi kecil memproduksi baja tak sesuai dengan standar. Parahnya, baja-baja substandar itu beredar di pasar dan digunakan masyarakat awam untuk kebutuhan membangun rumah. "Kalau konstruksi tinggi jarang karena biasanya melibatkan konsultan. Yang pasti bajanya melalui tes laboratorium dulu," kata Hidajat.

Kekhawatiran industri Tanah Air terbukti. Inspeksi mendadak yang digelar Kementerian Perdagangan pada Desember 2011 menemukan ribuan besi baja untuk keperluan umum (BJKU) yang diduga tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia. Pada besi-besi baja tersebut terdapat tanda emboss SNI. Meski pemilik mengaku diameter besi baja tersebut 10 milimeter, ketika dibandingkan dengan merek lain, ukurannya berbeda. Belum lagi pelaku usaha yang ternyata tidak memiliki sertifikat SNI.

Pemerintah bukan tidak peduli pada situasi saat itu. Mantan Direktur Jenderal Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan, pada 2011, pemerintah sempat mengantisipasi dengan mewajibkan penerapan SNI terhadap produk baja untuk keperluan umum. Sebelumnya, penerapan SNI BJKU hanya bersifat sukarela. Namun, sejak akhir Desember 2011, SNI BJKU bersifat wajib menyusul maraknya produksi dan peredaran baja di bawah standar.

Nyatanya, kewajiban penerapan SNI di lapangan tak mudah. Apalagi masyarakat lebih berminat pada produk baja nonstandar lantaran harganya lebih murah. Bukan cuma itu, tanpa menyebut nama, Hidajat mengatakan para developer juga cenderung memilih produk tersebut untuk proyek perumahan dan rumah toko. "Di pasar banyak orang yang mencari keuntungan dengan membeli baja yang lebih rendah kualitasnya," ucapnya.

Baru pada 2014 Kementerian Perindustrian menggandeng IISIA untuk membahas kriteria investasi bagi industri baja. Aturan ini, menurut Hidajat, akan berisi tentang persyaratan ramah lingkungan, berkualitas bagus, dan hemat energi bagi industri baja asing yang berniat membangun pabrik di Indonesia. "Jadi teknologi di Indonesia tidak tertinggal dan pada akhirnya akan membangun citra industri kita."

Namun, setelah dua tahun bolak-balik membahas, perumusan aturan yang tinggal tahap finalisasi itu kembali tersendat pada pertengahan 2016. Padahal, menurut Hidajat, saat itu tim yang terdiri atas Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan industri yang diwakili IISIA tinggal membahas kriteria waktu bagi industri yang sudah ada untuk menyesuaikan teknologinya. "Tapi terhenti karena ganti pejabat."

Angin segar baru datang lagi awal September lalu. Hidajat mengatakan pemerintah mau membuka kembali draf rancangan aturan yang sempat tertunda itu. Pemicunya surat elektronik dari Asosiasi Industri Baja Filipina soal antisipasi Indonesia terhadap teknologi induction furnace. Menurut Hidajat, Filipina berencana meniru Indonesia. "Saya jadi ingat ada aturan yang pending, maka saya bersurat minta tolong agar draf itu dibuka karena sudah terlalu lama," ujarnya.

Menurut Hidajat, kebutuhan akan baja bakal terus bertambah. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, kebutuhan baja domestik saat ini mencapai 12-14 juta ton per tahun. Namun kapasitas produksi industri baja nasional hanya 7-9 juta ton per tahun. "Dengan situasi seperti itu, aturan harus ada. Maka kita tidak lagi jadi tempat pembuangan teknologi yang sudah tidak terpakai," tuturnya.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan membenarkan ada pembahasan soal kriteria investasi untuk industri baja. "Ini sudah lama dibahas dengan asosiasi," kata Suryawirawan, Rabu pekan lalu. Tujuannya agar investasi industri peleburan baja menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

Ternyata, menurut Suryawirawan, aturan tersebut bukan wewenang Kementerian Perindustrian, melainkan Badan Koordinasi Penanaman Modal lantaran menyangkut urusan investasi. Namun, dihubungi secara terpisah, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Tamba Hutapea malah mengatakan aturan teknis tetap menjadi ranah Kementerian Perindustrian. "BKPM yang melaksanakan."

Ayu Primasandi, Praga Utama (jakarta), Adi Warsono (bekasi), Nur Hadi (sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus