Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pecah Kongsi di Tanah Kosambi

Berkas perkara dugaan penipuan seorang pengusaha di Pontianak bolak-balik kandas di tangan polisi. Menyeret Ketua DPD Oesman Sapta Odang.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pecah Kongsi di Tanah Kosambi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adipurna Sukarti tak bisa menyembunyikan kekesalannya saat bersaksi di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, Rabu siang dua pekan lalu. Dengan suara meninggi, pengusaha onderdil sepeda motor asal Pontianak ini menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah dua terdakwa di persidangan. "Belasan tahun mereka mencurangi saya," katanya.

Ketua majelis hakim Hasanudin bolak-balik menenangkan Adipurna karena pria 66 tahun itu berkali-kali berdiri dari kursi saksi. Adipurna diperiksa sebagai saksi dalam perkara yang ia laporkan ke polisi pada medio 2016.

Ketika itu, ia mengadukan dua rekan bisnisnya, Yusuf Ngadiman dan Suryadi Wongso, dengan tuduhan berbohong saat membuat akta perusahaan. Sepekan sebelumnya, jaksa mendakwa Yusuf dan Suryadi dengan Pasal 266 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang tuduhan memberikan keterangan palsu dalam suatu akta autentik.

Adipurna mengatakan pemalsuan keterangan ini bukan perkara pertama yang menjerat Yusuf dan Suryadi. Pada 2012, ia pernah melaporkan keduanya dengan tuduhan menggelapkan aset perusahaan. "Tapi dimentahkan polisi," ujar Adipurna.

Di hadapan majelis hakim, Adipurna mengatakan pangkal sengketa ini terjadi pada Mei 1999. Ceritanya bermula saat Yusuf dan Salim Wongso-ayah Suryadi Wongso-mendatangi Adipurna. Yusuf menawari Adipurna menanamkan uangnya di PT Selembaran Jatimulia. Perusahaan patungan milik Yusuf dan Salim ini sedang mencari investor untuk membangun gudang di Tangerang.

Adipurna setuju bergabung. Berdasarkan akta notaris nomor 23 tanggal 25 Juni 1999, Adipurna ditunjuk sebagai komisaris. Ia memiliki 30 persen saham. Sedangkan Salim yang duduk sebagai komisaris utama dan Yusuf sebagai direktur masing-masing 35 persen.

Secara bertahap, Adipurna menyetor Rp 8,2 miliar ke perusahaan. Pembayaran terakhir tercatat pada Oktober 2001. Suntikan modal ini kemudian digunakan untuk membeli tanah seluas 45 hektare di Jalan Selembaran Raya, Kosambi, Tangerang. Waktu itu harga tanah di sana masih Rp 60 ribu per meter persegi.

Pria tamatan sekolah dasar ini mengatakan sudah lama mengenal Yusuf. Keduanya menjalankan bisnis suku cadang sepeda motor di Pontianak. Sedangkan Salim adalah kakak kandung Yusuf. Pada 2001, Salim meninggal dan mewariskan haknya kepada Suryadi. Makanya Adipurna percaya saja menyerahkan urusan tanah ini kepada Yusuf.

Karena sibuk mengurus toko suku cadangnya di Pontianak, Adipurna baru mengecek tanah tersebut pada medio 2010. Ia marah ketika tahu, dalam sembilan tahun terakhir, tanah di kawasan gudang sudah dijual kepada sebelas orang. Adipurna tambah berang karena di atas lahan tersebut sudah berdiri pusat pergudangan. Sebagai pemilik saham, ia mengatakan tidak pernah mendapat laporan.

Kamis pekan lalu, Tempo menyambangi kawasan pergudangan itu. Ada tiga blok di sana: Selembaran I, II, dan III. Di Selembaran II, misalnya, ada enam gudang berhadap-hadapan. Tiap tempat penyimpanan memiliki ukuran sekitar setengah lapangan sepak bola. Ada gudang yang khusus bongkar-muat besi baja, mainan anak, dan perkakas plastik.

Kesal terhadap perbuatan dua rekan bisnisnya ini, Adipurna mengancam akan melaporkan mereka ke polisi. Pada Desember 2010, Yusuf dan Suryadi mendatangi Adipurna di Pontianak. Keduanya meneken surat pernyataan yang isinya akan bertanggung jawab atas penjualan aset tersebut. Mereka berjanji akan memberikan bagian Adipurna.

Masalah muncul ketika Yusuf mengirimkan uang Rp 1 miliar ke rekening istri Adipurna pada akhir Agustus 2011. Sehari kemudian, duit Rp 4 miliar masuk ke rekening yang sama. Adipurna menghubungi Yusuf untuk meminta penjelasan. Jawaban Yusuf, kata Adipurna, uang tersebut merupakan uang panjar bagi hasil penjualan aset tanah. "Saya tambah marah karena belum pernah sepakat soal ganti rugi," ujarnya.

Pertengahan Mei 2012, Adipurna melaporkan Yusuf dan Suryadi ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Dia menuding Suryadi dan Yusuf menggelapkan aset perusahaan. Empat bulan setelah laporan itu, polisi menetapkan mereka sebagai tersangka dan mencegah keduanya bepergian ke luar negeri.

Namun angin berubah arah pada April 2013, ketika polisi menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Polisi berdalih perkara ini masuk wilayah perdata, bukan pidana. Walhasil, status tersangka Yusuf dan Suryadi gugur. Adipurna menggugat SP3 ini. Medio Oktober 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Adipurna. Polisi diminta membuka lagi perkara ini.

Hakim memiliki dua pertimbangan. Pertama, Yusuf dan Suryadi tidak menyetorkan uang hasil penjualan aset Selembaran Jatimulia ke rekening perusahaan. Duit tersebut masuk ke rekening Yusuf-Suryadi. Kedua, hakim melihat keduanya sengaja tidak memberi tahu Adipurna selama sepuluh tahun soal penjualan aset perusahaan. Hakim berkesimpulan ada niat jahat dari Yusuf dan Suryadi.

Menanggapi putusan praperadilan yang memenangkan Adipurna, Markas Besar Polri membuka lagi berkas penyidikan Yusuf dan Suryadi. Pada Januari 2015, polisi kembali menetapkan keduanya sebagai tersangka. Namun, tak lama setelah penyidikan dibuka, Adipurna mendapat undangan dari Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat saat itu, Oesman Sapta Odang. Keduanya bertemu di sebuah ruangan di Hotel Mahkota Kayong, Pontianak.

Adipurna mengatakan pertemuan itu berlangsung santai. Oesman, kata dia, hanya meminta agar Adipurna menerima uang ganti rugi dari Yusuf dan Suryadi. Menurut Adipurna, kedua teman bisnisnya itu memang berkali-kali menawarkan Rp 40 miliar. Namun Adipurna menolak. "Saya jelaskan duduk perkaranya dan Pak Oesman paham," ucap Adipurna. Ia mengaku tidak mengetahui sejauh mana kedekatan Oesman dengan Yusuf dan Suryadi.

Dimintai konfirmasi Tempo soal ini pada Kamis pekan lalu, Oesman Sapta Odang mengatakan lupa pernah bertemu dengan Adipurna untuk membahas masalah yang berkaitan dengan Yusuf dan Suryadi. "Saya memang banyak membantu mendamaikan orang, makanya lupa pernah bertemu dengan siapa saja," kata Ketua Umum Partai Hanura yang juga Ketua Dewan Perwakilan Daerah ini.

Tujuh bulan setelah pertemuan Adipurna dengan Oesman, pada pertengahan Agustus 2015, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Polri menghentikan penyidikan kasus itu. "Sebab perkara ini bukan pidana, makanya harus dihentikan," ujar Victor Edison Simanjuntak, yang saat itu menjabat Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus, Jumat pekan lalu.

Adipurna menggugat penghentian penyidikan itu pada Juni 2016. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak praperadilan tersebut. Sebelum mengajukan praperadilan itu, ia melaporkan Yusuf dan Suryadi ke Direktorat Pidana Umum Mabes Polri, Maret 2016. Tudingannya: Yusuf dan Suryadi memberikan keterangan palsu saat membuat akta perusahaan tanpa melibatkan Adipurna. Sebulan kemudian, Direktorat Tindak Pidana Umum menetapkan Yusuf dan Suryadi sebagai tersangka.

Keterangan palsu ini bermula saat Yusuf dan Suryadi akan mengganti susunan pengurus pada akta notaris nomor 23 tanggal 25 Juni 1999. Dalam akta baru, Suryadi akan menggantikan Salim sebagai komisaris utama. Kepada notaris Rusdiana dari Tangerang, keduanya mengatakan keputusan tersebut sudah melalui rapat umum pemegang saham luar biasa. "Saya bahkan tidak pernah dengar ada rapat luar biasa," kata Adipurna.

Belakangan, saat persidangan ketiga Rabu pekan lalu, Rusdiana mengatakan Yusuf menjamin bahwa Adipurna akan meneken akta perubahan. Ia percaya. Makanya Rusdiana membantu mengurus akta perubahan. Pada medio 2012, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membatalkan akta tersebut. Alasannya, sejak akta disahkan pada 2009, Adipurna tidak pernah meneken dan menyetujui perubahan.

Pertengahan Agustus 2016, giliran Yusuf dan Suryadi mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam berkas gugatan yang diajukan, Yusuf mengatakan perubahan akta notaris itu untuk menyesuaikan dengan undang-undang tata cara pendirian perusahaan terbaru. Toh, menurut dia, kepemilikan saham di akta baru juga masih sama. Tapi hakim menolak gugatan ini karena semua tahap penetapan tersangka sudah dilakukan sesuai dengan prosedur.

Saat ditemui di Pengadilan Negeri Tangerang, Yusuf dan Suryadi membantah tuduhan menggelapkan aset perusahaan. Menurut Suryadi, kondisi pasar sedang lesu, maka mereka menjual beberapa tanah untuk menyehatkan perusahaan. Toh, kata dia, mereka juga sudah mentransfer Rp 5 miliar sebagai bentuk kesepakatan dengan Adipurna. "Itu sudah kesepakatan bersama," ujarnya.

Keduanya menuturkan tidak pernah meminta tolong Oesman Sapta Odang. "Kami mengenal dia karena sama-sama dari Pontianak," kata Yusuf. "Tapi tidak untuk meminta bantuan." Yudistira, pengacara Yusuf dan Suryadi, mengatakan kliennya memang meminta pertolongan dari banyak orang untuk mendamaikan konflik.

Syailendra Persada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus