Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kemenangan tanpa Hura-Hura

Kemenangan PSIS Semarang dirayakan tanpa pendukung fanatik. Fee dari penjualan tiket pun ikut amblas.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA khas Jawa, bukan nama selebriti: Tugiyo. Postur tubuhnya juga pendek. Tingginya hanya 164 cm, bukan ukuran ideal seorang striker andalan. Tapi Tugiyo, pria asal Purwodadi yang pada 13 April ini genap berusia 22 tahun, mampu mengantarkan timnya menjadi juara Liga Indonesia V. Pada pertandingan final melawan Persebaya Surabaya di Stadion Klabat, Manado, yang berkapasitas 25 ribu penonton, Jumat pekan silam Tugiyo menciptakan gol penentu hanya beberapa menit menjelang babak kedua berakhir. "Pertandingan yang menyenangkan," kata Tugiyo kepada Verrianto Madjowa dari TEMPO, mengomentari kemenangannya. Tugiyo pun disanjung dan dipanggul. Dengan Tugiyo, tim PSIS, yang mendapat julukan Mahesa Jenar, merupakan kuda hitam. Pada awal pertandingan 10 besar melawan Persikota Tangerang, Tugiyo, yang disebut penonton sebagai Maradona dari Purwodadi itu, sudah menjadi ancaman dan perlu mendapat kawalan ekstraketat dari Bell Simon Hittler, pemain belakang Persikota yang berpostur tinggi besar. Dua gol dari Tugiyo pula yang menjadi penentu bagi PSIS Semarang untuk melaju ke semifinal, dengan menahan imbang PS Semen Padang. Nama Tugiyo, lulusan Pendidikan dan Latihan Sepak Bola Salatiga 1992 itu, terus melambung hingga ke final. Sayang, kemenangan PSIS yang diraih setelah mereka tenggelam selama 12 tahun ini terasa kurang meriah karena hanya disaksikan oleh sekitar 2.000 pendukungnya. Kalau saja pesta rakyat itu tetap diadakan di Jakarta, diperkirakan sekitar 10 ribu pendukung PSIS bakal menari-nari di Senayan. "Kami memang menyayangkan keputusan pemindahan lokasi itu," ujar Sudarmanto, manajer PSIS. Sebenarnya, pendukung PSIS jugalah yang membuat pertandingan final ini sampai perlu dipindahkan. Soalnya, menjelang putaran semifinal, sekitar dua ratus suporter PSIS Semarang yang dijemput pihak kepolisian dari Stasiun Gambir, 1 April dini hari lalu, mengamuk di Lentengagung, Jakarta Selatan. Mereka kecewa karena rencana pergi ke Senayan dibelokkan ke markas Brimob di Kelapadua. Kerusuhan tak terhindarkan, yang mengakibatkan sembilan suporter?versi lain menyebut 11 orang?tewas akibat tertabrak kereta api listrik. Setelah timbul insiden itu, ulah para penonton memanas. Polisi menyita sekurangnya enam bom ikan dan beberapa petasan ukuran besar, plus puluhan senjata tajam dari tangan penonton yang menyaksikan PSIS Semarang berebut tiket ke semifinal bersama Persija Jakarta. Tak cukup hanya di dalam stadion, bentrok fisik antarsuporter berlanjut di daerah Bendunganhilir, tak jauh dari Stadion Utama Senayan. Kereta api yang mengantar pendukung PSIS Semarang dan Persebaya Surabaya ikut dirusak. Sebanyak 1.233 lembar kaca kereta eksekutif dan 501 bilah kaca kereta bisnis remuk akibat lemparan batu. Akibatnya, pihak Perumka mengalami kerugian Rp 1,5 miliar. Ancaman bakal timbulnya kerusuhan yang lebih hebat dalam pertandingan final sudah terdengar. Menurut M. Koesnaeni, pengamat sepak bola, berkembang isu bahwa pada putaran final akan terjadi kerusuhan yang lebih hebat. Kabarnya, bondho nekat (bonek) Surabaya akan meledakkan bom rakitan bila Persebaya gagal menjadi juara liga. Bahkan ada pula ancaman granat dan senjata tajam akan berbicara di lapangan hijau karena tak rela tim yang dielus itu harus keok. Bila hal ini terjadi, citra PSSI bisa rusak dan Jakarta dipastikan gagal menjadi tuan rumah Pra-Olimpiade. "Kelakuan para pendukung memang menunjukkan potensi kerusuhan," kata M. Koesnaeni. Kejadian itulah yang menjadi alasan bagi Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman untuk membatalkan rencana pertandingan final di Senayan. Tentu saja, bagi PSSI, keputusan itu tak bisa diterima begitu saja. Seperti dikatakan Nugraha Besoes, Sekretaris Umum PSSI, pertandingan berlangsung aman-aman saja. Tak ada keributan di lapangan. Untuk PSSI, keputusan itu memang terasa pahit. Selain gagal menghibur pendukung kedua kesebelasan, anggaran penyelenggaraan menjadi bertambah besar. Sebab, perjalanan seluruh tim dan ofisial menuju Manado, termasuk penginapan, makan, dan transportasi, ditanggung PSSI. Pengeluaran tak terduga ini tak seimbang dengan uang yang mengalir masuk. Hingga putaran semifinal, pemasukan PSSI baru Rp 900 juta, meleset dari target yang diperkirakan Rp 1,5 miliar. Sedangkan modal yang dikeluarkan mencapai Rp 2 miliar. Sementara itu, dari Manado, PSSI tak mendapat apa-apa karena seluruh pemasukan dari penjualan tiket masuk ke kas tuan rumah. Kerugian finansial ini juga dialami oleh kedua finalis. Fee 20 persen untuk setiap tim dari penjualan karcis?yang jelas besar bila diadakan di Senayan?tak bisa dibawa pulang karena dialokasikan untuk menyubsidi biaya penyelenggaraan. "Ini konsekuensi logis. Dalam pertandingan ini, citra sepak bola perlu diselamatkan," ujar Rusdy Bahalwan, pelatih Persebaya Surabaya. Ma'ruf Samudra dan Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus