Lagunya yang terakhir adalah Kemesraan. Dan pada saat berendam di bathtub-nya yang nyaman, Selasa, 6 April lalu, Toety Azis mengembuskan napas yang terakhir. Toety Amisoetin Agoesdinah Soekaboel, demikian nama lengkapnya, meninggalkan harian Surabaya Post, salah satu koran terkemuka di Jawa Timur, yang didirikannya bersama almarhum suaminya, Abdul Azis.
Toety memulai karirnya sebagai wartawan di kantor berita Domei, cikal bakal kantor berita Antara di Surabaya. Di masa revolusi kemerdekaan, perempuan kelahiran Madiun pada 8 September 1924 itu pernah berjasa menyelundupkan dokumen rahasia yang harus disampaikan kepada Jenderal Soedirman. Karena jasanya itu, ia oleh pemerintah pernah akan diberi bintang gerilya. Tapi, dalam kerendahan hati, ia menolak bintang itu.
Pada 1 April 1953, dalam suasana politik yang belum stabil, pasangan Azis harus menjual seluruh harta yang mereka miliki untuk dijadikan modal mendirikan Surabaya Post. Wiwiek Hidayat, dalam buku Tajuk-Tajuk dalam Terik Matahari, mencatat bagaimana saat itu kertas-kertas koran memenuhi rumah Abdul Azis sehingga keluarga beranak tiga itu harus tidur di lantai. Padahal, saat itu, Iwan Jaya Azis, putra pasangan Azis yang kini adalah profesor ekonomi di Universitas Cornell, AS, baru berusia 2 bulan. ''Kita sudah biasa hidup dalam revolusi," kata Toety Azis suatu ketika.
Tapi pengorbanan Toety dan Abdul Azis muda tak sia-sia. Harian Surabaya Post tumbuh pesat. Pada 1984, Surabaya Post telah menjadi surat kabar terbesar di Jawa Timur. Tirasnya menembus angka 90 ribu. Namun, sepeninggal Abdul Azis pada 1984, koran itu mulai merosot. Ini bukan saja karena koran itu telah kehilangan pemimpinnya, tapi juga karena koran lain seperti Surya dan Jawa Pos masuk ke pasar dan menyaingi Surabaya Post. Toety memang berusaha bertahan. Ia, yang sebelumnya adalah pemimpin perusahaan, menjadi pemimpin redaksi.
Namun, mengelola surat kabar pada masa ketika pasar penuh pesaing tentu tidak sama dengan di zaman ketika surat kabar menjadi alat perjuangan dulu. Bagi sebagian karyawan Surabaya Post, kebijakan redaksional yang diterapkan Toety terlalu konvensional. Ketika semua koran ramai-ramai menikmati kebebasan setelah Orde Baru ambruk, Surabaya Post tetap bergaya lunak sehingga membuat banyak wartawan muda geregetan. Tapi Toety selalu berargumen. ''Kadang-kadang kita harus mengalah untuk menang," katanya seperti dikutip seorang wartawan Surabaya Post kepada TEMPO. Selain soal redaksional tersebut, persoalan kesejahteraan karyawan juga banyak membuat awak Surabaya Post resah.
Puncak dari ketidakpuasan karyawan itulah yang akhir Maret lalu menyebabkan Surabaya Post harus absen terbit selama dua minggu. Toety menuduh para karyawan yang selalu disebutnya ''anak-anak saya" itu memboikot dirinya, padahal para karyawan itu hanya menuntut perbaikan keadaan. Semula, pada 1-5 April, Toety akan melakukan negosiasi antarkaryawan. Tapi belum lagi rencana itu terlaksana, Tuhan berkeinginan lain.
Sebagian karyawan menilai kepemimpinan Toety Azis yang sudah sedemikian lama di harian itulah yang menyebabkan kemelut Surabaya Post tak berkesudahan. Tapi hal itu ditampik Hotman Siahaan, pengamat pers yang cukup akrab dengan Toety Azis. ''Ibu ingin menyerahkan estafet kepemimpinan Surabaya Post sejak 1990. Tapi orang-orang yang ditawari dengan halus menolak tawaran itu," tutur Hotman.
Toety yang rendah hati dan tidak berminat dengan publikasi diri itu menyebabkan banyak pihak menilainya sebagai pribadi yang tertutup. Tapi, di mata keluarga dan kerabat, Toety adalah sosok yang menyenangkan. Indra Jaya Azis, putra kedua Toety, menyebut ibunya sebagai orang yang periang dan memiliki rasa humor yang tinggi. Herawati Diah menyebut Toety sebagai teman yang selalu memperhatikan sahabat-sahabatnya. ''Ia selalu mengirimkan sesuatu kepada teman-teman lama ketika Lebaran, Natal, atau Tahun Baru," kata istri B.M. Diah ini kepada Purwani D. Prabandari dari TEMPO.
Selepas salat lohor pekan silam, jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya, di samping kubur Abdul Azis, suaminya. Ia meninggalkan tiga anak, lima cucu, koran yang mencoba bertahan, dan 74 tahun hidup yang penuh warna.
Arif Zulkifli, Jalil Hakim, Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini