BANYAK orang tak suka Golkar. Atau tak mempercayainya. Dulu, segala cara dipakainya untuk membuat ia sah menjadi baju "legitimasi" Presiden Soeharto dari pemilu ke pemilu, sampai 32 tahun. Golkar selama itu jadi seperti atlet yang terus-menerus main doping?dan gemar menggigit kuping lawan?tapi dibiarkan oleh wasit yang tidak adil dalam sebuah pertandingan yang tanpa mutu.
Seharusnya ada keputusan bahwa Golkar perlu "dirumahkan" sementara. Semacam skorsing diperlukan sampai pemilu berikutnya. Tapi nasi sudah jadi bubur. Golkar sudah ikut mau disebut "partai" dan dia secara legal sudah
diterima sebagai peserta. Partai ini bahkan tampak masih punya dana yang besar sekali, dan bukan mustahil ia akan tetap jadi salah satu pemenang penting. Maka, perlu ada kerja keras dari siapa saja yang ingin Golkar kalah: awasi pemilu hingga betul bersih dari main suap (kata yang lebih jelas ketimbang money politics), bikin kampanye yang lebih bagus, atau bentuk aliansi antara PDI Perjuangan, PKB, dan PAN seperti dianjurkan para pakar (kalau perlu tambah yang lain).
Satu hal jelas: menyerang secara fisik kampanye Golkar, seperti yang terjadi di Purbalingga pekan lalu, bukanlah cara yang baik untuk mengalahkan Golkar. Bahkan bisa sebaliknya. Maka, memang ada alasan untuk curiga bahwa orang Golkar sendiri ikut dalam insiden Purbalingga. Tetapi jika terbukti ada anggota dan pendukung PDI Perjuangan yang ikut dalam aksi kekerasan itu, partai Megawati ini perlu menindak mereka. Tindakan tegas dari PDI Perjuangan akan dapat menaikkan pamor partai ini sebagai partai yang tidak memakai cara "premanisme", dan antikekerasan, sesuai dengan anjuran Megawati sendiri.
Setiap usaha untuk menjaga pemilu Juni nanti jadi cemar oleh gontok-gontokan amat penting. Penting bagi nama baik Republik, penting juga untuk menjaga agar para pemilih yang masih ragu tak menghubungkan pengertian "pemilu" dengan "kekacauan". Jika ini yang terjadi, kian lama pemilu akan diogahi. Dan setiap rasa ogah terhadap pemilu akan berangsur-angsur membuka pintu bagi kediktaturan. Maka, beberapa usaha sporadis kerja sama menjaga keamanan, seperti dilakukan PDI Perjuangan, PKB, dan PAN di sejumlah kota, perlu disebarluaskan. Juga tekad damai lebih dari 30 partai di Yogya pekan lalu. Lebih baik partai-partai membuktikan diri bisa mengatur keamanan, sebagai bukti mereka solid dan mampu menegakkan demokrasi yang tertib.
Tapi insiden Purbalingga juga perlu menyebabkan KPU berpikir kembali. Selama ini, aturan kampanye tidak jelas. Ketidakjelasan ini dimulai dari kaburnya pengertian "kampanye" itu sendiri. Mematok sebuah tanggal untuk tanda start kampanye adalah tindakan yang aneh. Sebab, bagaimana mungkin membatasinya? Selama ini secara de facto kampanye toh sudah berlangsung, sejak orang memasang stiker, mengibarkan bendera partai, muncul di televisi, bahkan berapat umum, dan lain-lain. Maka, yang perlu adalah ketentuan agar kampanye, apa pun bentuknya, tidak disertai kekerasan, tak mengganggu kepentingan umum sehari-hari, misalnya memacetkan lalu lintas, mengotori lingkungan, dan menggunakan sarana milik Republik, misalnya TVRI.
Dari Purbalingga, Indonesia belum telat belajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini