Memulihkan kesehatan sektor perbankan dan menjatuhkan sanksi dan hukuman terhadap para pembobol bank adalah dua sisi dari keping yang sama: restrukturisasi perbankan. Sebulan berselang, tepatnya 13 Maret 1999, pemulihan bank tahap ketiga dilakukan dengan melikuidasi 38 bank.
Bagaimana dengan para bankirnya? Pada 5 April, daftar bankir yang terkena cekal (cegah dan tangkal) diedarkan ke polisi dan imigrasi. Tetapi ini harus diartikan secara berhati-hati: bankir yang terkena status cekal adalah orang-orang yang melanggar berbagai peraturan perbankan dan sangat merugikan bank. Walaupun bersalah, sanksi yang dijatuhkan padanya baru sebatas dilarang pergi ke luar negeri selama enam bulan, seperti ditegaskan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan, 1 April 1999.
Ini sedikit berbeda dengan apa yang disebut sebagai "orang-orang tercela"?yang daftar namanya alias DOT disusun oleh BI dan sudah diserahkan Maret lalu kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan keputusan Direksi Bank Indonesia, orang tercela adalah orang yang dilarang menjadi pemegang saham atau pengurus bank. Edward Soeryadjaya, misalnya, adalah orang tercela yang paling banyak diberitakan gara-gara Bank Summa miliknya dilikuidasi pada 1992.
Problemnya adalah kesan yang campur baur di masyarakat tentang "orang tercekal" dan "orang tercela". "Dosa-dosa" yang menyebabkan seorang bankir dikategorikan sebagai "tercela" antara lain ialah terlibat manipulasi yang dilakukan bank, melakukan kolusi yang merugikan bank, membiarkan praktek bank dalam bank, juga mendandani pembukuan bank sehingga yang keropos terkesan sehat, dan banyak lagi, termasuk dosa yang menyebabkan bank rugi besar.
Menteri Keuangan Bambang Subianto pernah mengatakan bahwa daftar DOT akan disiarkan bersamaan dengan pengumuman likuidasi 38 bank, 13 Maret 1999. Tapi yang diumumkan akhirnya nama-nama yang dicekal. Soalnya, ada SK Direksi BI Tahun 1995 yang menetapkan bahwa nama orang tercela tidak boleh diumumkan. Alasannya tak jelas.
Ini menunjukkan sikap mundur maju. Kalau sebelumnya pemerintah ragu-ragu melikuidasi dan menetapkan rekapitalisasi, kini seakan-akan takut mengumumkan DOT. Akibatnya, penegakan hukum terabaikan, dan restrukturisasi lagi-lagi terhambat. Dikhawatirkan, sebelum daftar cekal dikeluarkan, sudah ada bankir yang lolos ke luar negeri sedangkan aset-aset bank yang terlikuidasi tidak utuh lagi.
Bagi pemerintah, melakukan restrukturisasi bagaikan membuka peti Pandora. Dengan restrukturisasi, berarti pemerintah mengungkap penyakit dan aib 200-an bank yang selama ini tersimpan rapi. Dalam konteks penyehatan sektor perbankan di Indonesia kini, ini merupakan upaya bongkar pasang secara besar-besaran. Dalam proses itu, akan ada yang dikorbankan serta banyak sekali yang dirugikan, termasuk masyarakat nasabah dan rakyat Indonesia yang ikut menanggung biaya rekapitalisasi Rp 18 triliun.
Akibatnya memang sangat menyakitkan, tapi pemerintah dan para bankir tentu dari awal sudah harus menyadari bahwa itu belum semuanya. Kehilangan bank?akibat likuidasi?masih awal dari proses penyembuhan yang panjang. Keluarga Gondokusumo harus merelakan dua bank, Kaharuddin Ongko kehilangan empat bank, demikian pula Hashim Djojohadikusumo. Setelah itu, masih ada hal-hal yang tidak kurang muskilnya, seperti menyerahkan aset, mengurus pesangon karyawan, mempertanggungjawabkan manipulasi (kalau ada) dan pelanggaran BMPK (batas maksimum pemberian kredit), dan juga melihat nama sang (bankir) sendiri tercantum dalam DOT (daftar orang tercela).
Kini yang ada cuma cekal. Katakanlah cekal itu merupakan awal dari penegakan hukum di sektor perbankan, lalu apakah tahap retrukturisasi selanjutnya akan lebih lancar? Apakah sejumlah nama besar yang terkait dengan 38 bank yang dilikuidasi segera akan dimintai keterangannya oleh pihak kejaksaan? Apakah akan ada debitur yang dipailitkan?
Semua pertanyaan ini berkaitan dengan penegakan hukum, yang sampai kini belum memperlihatkan tanda-tanda akan dilaksanakan. Kenyatan bahwa beberapa nama besar tidak terlihat pada daftar cekal yang seluruhnya memuat 172 nama, lagi-lagi, merusak kepercayaan khalayak akan kesungguhan pemerintah dalam membenahi kisruh perbankan.
Restrukturisasi itu tidak akan efektif tanpa kepastian hukum, tanpa sanksi hukum. Maka, mutlak perlu langkah berikutnya: bereskan lembaga peradilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini