Dua belas mayat itu tampak terbengkalai. Mereka belum sempat dievakuasi dari Kota Tual di Pulau Kei, Maluku Tenggara, lantaran situasi yang terus memburuk. Ini tentu saja akibat rentetan kerusuhan sejak 31 Maret lalu. Buahnya begitu getir: 80 orang tewas, 66 orang menderita luka berat, dan 264 rumah serta empat sarana ibadah terbakar. Semuanya terjadi di 30-an desa di Kecamatan Kei Besar dan Kei Kecil. Sekitar 30 ribu orang terpaksa mengungsi ke tempat-tempat aman. Birokrasi lumpuh. Dan Kota Tual pun, sampai pekan lalu, pingsan.
Ketika tim khusus ABRI yang terdiri atas empat kolonel yang dikoordinasi Kolonel (Mar.) Nono Sampono menginjakkan kaki di "Kota Mutiara"—begitu julukan Kota Tual—sejumlah warga yang menyaksikan kedatangan mereka bertepuk tangan. Tapi, di belakang suasana gembira itu, bisik-bisik kekecewaan beredar dari mulut ke mulut. Sebagian dari mereka menganggap kedatangan tim itu terlambat. Soalnya, mereka datang pada hari keenam setelah kerusuhan awal meletus, ketika puluhan korban telah jatuh.
Ada yang menduga peristiwa di Tual itu merupakan imbas dari kerusuhan yang membakar Kota Ambon sejak Lebaran lalu. Padahal jarak antara Ambon dan Tual begitu jauh, sekitar 48 jam perjalanan laut. Hingga kini, selain di Tual, tragedi di Ambon telah menggoreskan guratan hitam: 190-an tewas, 530-an luka berat dan ringan, sekitar 4.000 rumah dibakar serta rusak berat, dan puluhan rumah ibadah rontok. Dan ironisnya, Tual meledak lagi-lagi karena perkara sepele.
Peristiwa persisnya begini. Sebuah percekcokan remeh terjadi pada 27 Maret lalu. Dua pemuda yang berbeda agama—yang seorang muslim dan yang lainnya Katolik—adu mulut di sebuah pojok kota. Selesai itu, salah seorang yang tak puas mengungkapkan kemarahan dengan mencorat-coret tembok sebuah gedung. Nadanya menghina agama. Sekitar 50 orang yang tersinggung oleh coretan itu berang. Mereka serta-merta mendatangi markas Kepolisian Resor Maluku Tenggara di Jalan Ohijang serta menuntut agar dalam waktu sepekan si pencoret ditangkap dan diusut.
Karena tuntutan mereka tak mendatangkan hasil, kelompok itu meluapkan amarah dengan melempar batu ke arah rumah-rumah di daerah Kiom, di Kecamatan Kei Kecil. Akibatnya, sekitar 25 rumah rusak berat. Banyak warga desa tersebut yang terpaksa mengungsi ke instalasi militer. Tapi gebalau tak berhenti di situ. Ia merembet ke banyak desa lain dan menyeret sentimen antarkelompok agama. Puncaknya, ya, kerusuhan yang memorak-porandakan Kota Tual, 31 Maret itu.
Setelah itu, perang antarkelompok beberapa kali terjadi. Mereka yang bertikai, anehnya, langsung terpolarisasi ke dua kelompok yang berhadap-hadapan: orang-orang muslim, dengan sebutan kelompok putih, di Desa Wearhir, sedangkan orang Kristen, disebut kelompok merah, berposko di Desa Taar. Sebutan merah dan putih itu imbasan dari peta konflik di Ambon. Amuk massa akibat cekcok sepele ini melibatkan sekitar 1.500 orang dan berlarut sampai lebih dari sepekan. Ada yang menduga peristiwa kecil itu hanya pemicu kerusuhan dari konflik sosial yang lama terpendam.
Tim ABRI pun mencoba melacak akar persoalan. Dalam pertemuan di Masjid Alnassar, Jalan Pattimura, pekan lalu, kelompok putih menuduh Drs. Piet Far-Far, Sekretaris Wilayah Daerah Pemerintah Daerah Maluku Tenggara, yang beragama Kristen, terlibat di belakang kerusuhan. Sebaliknya, kelompok merah menuding Bupati Drs. Hussein Rahayan, yang muslim, setali tiga uang. Tim itu didesak agar mengusut para "gajah lokal" yang dianggap membuat Kota Tual "berkabung". Tapi pijakan tuduhan itu sumir, hanya didasarkan pada anggapan bahwa dua pejabat tersebut tak banyak berbuat untuk meredam kerusuhan.
"Ada kepentingan politik lokal yang sangat tajam yang sengaja ditiupkan untuk memperkeruh kerusuhan," kata Nono. Kepentingan politik lokal? Lalu, siapa yang sengaja meniupkan soal itu hingga memperkeruh kerusuhan? Sayang, Nono tak menjelaskannya lebih lengkap. Yang diketahui umum, Piet memang dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) Maluku Tenggara enam bulan lalu. Sedangkan Bupati Hussein Rahayan, dikabarkan, pernah didesak oleh sebagian masyarakat agar meletakkan jabatan.
"Saya tidak memungkiri bahwa setiap pemimpin memiliki staf yang tidak menyukainya," katanya berdiplomasi.
KMN, Friets Kerlely (Tual)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini