Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kemilau bintang dari eropa

Setiap kejuaraan akbar senantiasa melahirkan bintang, tak terkecuali kejuaraan piala eropa 1992 ini. siapa bintang yang bercahaya terang kali ini? berikut ini antara lain:

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dennis Bergkamp Lima tahun lalu, banyak orang protes ketika Johan Cruyff memilih seorang pemuda kurus berumur 17 tahun untuk posisi kanan luar Ajax. Anak muda itu, Dennis Bergkamp, sebelumnya memang bukan bintang terkenal di tim remaja Ajax. Bahkan di tim remaja ia hanya masuk pemain kelas dua. Tapi, setahun kemudian Bergkamp sudah ditunjuk jadi pemain tetap di posisinya, dan ikut andil dalam kemenangan Ajax atas Lokomotive Leipzig di Final Winners' Cup. Belakangan, Bergkamp membuktikan bahwa mahabintang Cruyff, yang pindah ke Barcelona, selalu benar. Sebagai striker, ia mengantarkan Ajax merebut piala UEFA dan kemudian terpilih sebagai Players' Player of the Year di Belanda. Dalam musim kompetisi liga Belanda tahun lalu, Bergkamp bersama Romario, bintang asal Brasil, tercatat sebagai pemain paling produktif, dengan jumlah 25 gol. Dalam putaran final Piala Eropa kali ini, dua gol Bergkamp tergolong indah, yakni lewat sabetan kaki ketika menghadapi Skotlandia dan lewat sundulan kepala ketika melawan Jerman. Itu yang membuat orang menyamakan Bergkamp dengan Marco van Basten, yang juga lahir dari tangan Cruyff. Namun, persamaan itu sekaligus agaknya membuat Bergkamp berada di bawah bayangbayang Basten. Tiap tim Belanda turun bertanding, Basten tampak bergerak lebih bebas dibanding Bergkamp. Tapi Bergkamp tak tenggelam begitu saja. Akselerasi yang tinggi dan keterampilan yang bisa diandalkan membuat ia bisa muncul pada momen yang tepat dan jadi pencetak gol terbanyak di tim Belanda. Bergkamp tak pernah besar kepala. Ia sadar bahwa di tim nasional Belanda berkumpul bintangbintang terkenal. "Jika Ajax menang di Piala UEFA, saya punya peran yang besar untuk itu. Tapi dalam Kejuaraan Eropa banyak pemain Belanda lain yang lebih penting," kata Bergkamp, yang baru 11 kali membela tim nasional Belanda. Di luar lapangan ia tergolong pemalu dan sedikit penakut. Tahun lalu, dalam usia 22 tahun, ia menolak kontrak Rp 23 milyar untuk bergabung dengan Real Madrid. "Saya masih terlalu muda untuk tinggal sendiri di luar negeri," katanya. Kematangan pribadi memang belum ada pada Bergkamp. Beberapa pengamat bola malah ragu ia tak akan bisa berkembang jika hanya berkutat di liga Belanda. Tapi Bergkamp yakin, itu hanya soal waktu. "Saya bisa pergi kemana saja kalau saya memang sudah siap," katanya. Namun, tahun ini kembali ia menolak tawaran Real Madrid, dan memtusukan tetap di bawah bendera Ajax sampai tahun depan. Setelah itu, mungkin ia akan menyeberang ke Juventus, klub pujaannya sejak kecil. Ia sudah belajar bahasa Italia. Bryan Roy Sama seperti Bergkamp, Bryan Roy, 21 tahun, bisa dilihat sebagai bagian dari keberhasilan Ajax atau Cruyff dalam pembibitan pemain muda. Bedanya, sementara Bergkamp adalah calon bintang, Roy lebih diharapkan berkembang sebagai pemain yang siap mendukung Bergkamp di tim nasional Belanda seperti yang sudah ia lakukan ketika Ajax merebut Piala UEFA bulan lalu. Di putaran final Piala Eropa, tak banyak yang memperhatikan Bryan Roy secara khusus. Sebagai pemain sayap kiri, di putaran final ia memang belum berhasil menciptakan gol ataupun melempar umpanumpan yang membuahkan gol. Tapi sejak awal ia sudah memperlihatkan kecepatan dribling dari kaki kirinya yang istimewa. "Bryan Roy masih perlu dipoles lagi, supaya bisa memberi umpan yang matang," komentar bekas pelatih PSSI, Sinyo Aliandoe. Apa yang menjadi perhatian Sinyo agaknya memang merupakan kelemahan Bryan Roy. Dalam pertandingan Belanda melawan Jerman, Roy beberapa kali berhasil menusuk pertahanan lawan lewat rusuk kiri. Kendati tak berhasil mencetak gol atau memberi umpanumpan mematikan, Roy mampu menerobos pertahanan Jerman sehingga pemain Belanda lain bisa menguasai lapangan tengah. Itu sebabnya Roy dinilai sebagai pemain sayap kiri yang bisa berfungsi dengan baik. Bergabung dengan Ajax sejak usia 12 tahun, ia mulai membela Belanda tahun 1988. Saat itu, sebagai pemain tim nasional Belanda di bawah 18 tahun, ia hanya ikut mengeluelukan Gullit, Basten, dan Rijkaard yang berhasil mengantar Belanda jadi juara Eropa. Dan empat tahun kemudian, di kejuaraan yang sama, ia bermain bersamasama dengan trio "AC Milan" pujaannya itu. Tomas Brolin Bintang tuan rumah tak pelak lagi adalah Tomas Brolin, striker muda Swedia yang berumur 22 tahun. Sejak awal masyarakat Swedia yang belum pernah menikmati gelar Juara Eropa sudah berharap agar Brolin tak menyianyiakan kesempatan sebagai tuan rumah untuk membawa Swedia ke Juara Eropa. Bahkan untuk menyambut putaran Piala Eropa ini, pemerintah Swedia mencetak perangko bergambar Tomas Brolin, senilai 2,80 kronor. Ia mulamula masuk tim nasional di bawah usia 21 tahun. Baru setelah ia ditransfer klub terkenal Swedia, IFK Norrkoping, tahun 1990, Brolin mulai debutnya sebagai pemain yang produktif. Dalam suatu pertandingan di liga Swedia, orang terperangah melihat anak muda yang tak terkenal itu melakukan hattrick, dan menyumbang empat gol lagi pada lima pertandingan berikutnya. Maka, pelatih nasional Swedia, Olle Nordin, segera memberi tempat tetap di tim nasional pada Brolin. Hasilnya, Brolin memecahkan soal klasik yang dihadapi tim nasional Swedia, yaitu kosongnya pencetak gol yang produktif. Ia menyumbang dua gol dalam babak penyisihan melawan Wales, dan dua gol lainnya ketika melawan Finlandia. Di Piala Dunia ketika kalah melawan Brasil 12, satusatunya gol Swedia itu lahir dari Brolin. Kini, dari 16 permainan Brolin bersama tim nasional Swedia, ia telah menghasilkan sembilan gol. Di Italia, ia juga mengukir prestasi dengan mengantarkan AC Parma menjadi juara Piala Italia, setelah mengalahkan Juventus di final. Sebagai striker yang produktif, di liga Italia, ia mencatat tujuh gol. Padahal, di liga Italia ia harus bersaing dengan bintang lain yang lebih senior. Sayang, Swedia gagal masuk ke final sehingga Brolin tak bisa beraksi lagi. Jan Eriksson Tak banyak pemain belakang yang sekaligus punya kemampuan menerobos pertahanan lawan. Salah satunya adalah Jan Eriksson, pemain centerback Swedia yang terkenal tahan banting mengamankan garis pertahanan. Ketika melawan Prancis, ia membuktikan kemampuanya untuk menahan gerak bintang Prancis JeanPierre Papin. Sedang ketika melawan Inggris, ia membuktikan kemampuan untuk cepat naik ke depan, memanfaatkan tendangan penjuru Anders Limpar, dan menciptakan gol. "Mudahmudahan ini menjadi awal yang baik untuk saya dan tim Swedia," komentarnya seusai menciptakan gol pertama ke gawang Inggris. Dengan Brolin di barisan depan, dan Eriksson di barisan belakang, orang memperkirakan tim Swedia tahun ini bukan tim anak bawang lagi. Dan itu sudah terbukti. Masuk ke semifinal bersama Denmark dengan menyisihkan Inggris dan Prancis jelas merupakan prestasi khusus bagi Swedia, yang sebelumnya hanya mampu masuk ke delapan besar putaran final Kejuaraan Eropa. Memang, kombinasi Tomas Brolin, Anders Limpars, dan Jan Eriksson, perlu diperhitungkan. Namun, rupanya nasib trio ini sial karena Swedia keok di tangan Jerman di semifinal. Lahir di Sundvall, 24 Agustus 1967, Eriksson mulai debutnya di IFK Norrkoping. Sikap tanpa kompromi sebagai pemain bertahan untuk menghalau bola lawan membuat Eriksson, yang kini bergabung dalam klub IFK Goteborg, ditarik ke tim nasional Swedia. Dengan tinggi 188 cm, ia tak hanya kuat memotong bolabola bawah, tapi juga unggul merebut bolabola atas. "Tugas sebagai pemain belakang adalah membuat penyerang lawan tidak bisa mencetak gol. Apakah tergolong pelanggaran atau tidak, terserah wasit untuk menentukannya," katanya. Thomas Hassler Penampilannya yang terus merosot di klub A.S. Roma, Italia, membuat pelatih Berti Vogts semula ragu mencatat namanya di dalam tim nasional. Apalagi lini tengah Jerman punya cukup banyak bintang, seperti Andreas (Andy) Moller, Thomas Doll, Matthias Sammer, dan Stefan Effenberg. Tapi, cederanya sang kapten Lothar Matthaus membuat Vogts pusing kepala mencari pengganti, akhirnya Thomas Hassler masuk daftar. Ternyata Vogts tak kecewa. Keahlian Hassler dalam mengeksekusi tendangan bebas itu salah satu kehebatan Lothar Matthaus selama ini cukup menggentarkan lawan. Lihat saja bagaimana ia menyelamatkan Jerman dari kekalahan melawan tim Persemakmuran (dulu Uni Soviet), di babak penyisihan Piala Eropa ini. Tendangan bebas Hassler pula yang membuka gol pertama Jerman, ketika mengalahkan Swedia di semifinal, Senin lalu. Tubuhnya yang kecil tinggi 166 cm dan berat 66 kg tak menjadi penghalang. Ia lincah dan berani menerobos barisan pertahanan lawan. Umpanumpan bola dari kakinya selalu membahayakan gawang lawan. Dilahirkan di Berlin, 26 tahun yang lalu, Hassler mulai menendang bola sejak berusia lima tahun, ketika ia bergabung dalam klub anak gawang, Meteor 06, di kota kelahirannya. Bakat bermain bola diwarisi Hassler dari ayahnya, Klaus, pemain bola amatir di Berlin. Nama Hassler mulai mengorbit setelah ia membela panji klub FC Koln pada 1984. Kemahirannya mendrible si kulit bundar, lalu mengumpan, atau menjaringkan bola langsung ke gawang lawan dengan tendangan geledek, membuat Hassler menjadi pusat perhatian penggemar bola di negerinya. Pembaca koran olahraga Kicker, misalnya, memilih Hassler sebagai idola mereka untuk tahun 1988. Tahun berikutnya, ia terpilih sebagai Player of the Year di Jerman. Nilai Hassler di bursa transfer pemain pun melambung. Klub kaya dari Italia, Juventus, meliriknya. Hassler resmi masuk Juventus April 1990, dengan uang transfer lebih dari 15 juta DM, atau sekitar Rp 15 milyar. Hassler bergabung dengan tim negerinya untuk merebut Piala Dunia 1990. Pelatih Jerman, Beckenbauer, memilih si lincah ini sebagai pendamping Lothar Matthaus di lapangan tengah. Tapi rupanya, setelah itu, Hassler terbenam dalam kebesaran nama Jerman, sebagai juara dunia. Yang jelas, di Juventus ia kalah pamor di antara bintang pribumi semacam Roberto Baggio atau Toto Schillachi. Akibatnya, baru satu putaran kompetisi, Hassler dijual ke klub Italia lainnya, A.S. Roma. Di situlah ia bermain sampai kini. Penampilan di Piala Eropa ini mungkin bisa menggenjot lagi namanya yang mulai pudar itu. Brian Laudrup Bersama penyerang berbahaya Preben Elkjaer, nama Laudrup berkibar dalam Piala Dunia Meksiko, 1986. Berkat serbuan mereka yang meledakledak, ketika itu, tim Denmark yang berkostum merah itu dijuluki si "Dinamit Merah". Kini pun ada Laudrup. Tapi ia bukan Michael Laudrup yang dulu itu, melainkan Brian Laudrup. Menempati posisi sebagai pemain penghubung di lapangan tengah, Brian Laudrup tak lain dari adik kandung Michael Laudrup sendiri sama berbahayanya dengan sang kakak. Ia menjadi pengatur serangan timnya. Sebenarnya, Brian hampir tak jadi bergabung dengan kesebelasan negerinya di Piala Eropa ini. Soalnya, sudah dua tahun ini, Brian dan kakaknya, Michael, serta pemain terkenal Denmark lainnya, Jan Molby, terlibat perang dingin dengan pelatih Richard Moeller Nielsen. Mereka tak menyetujui banyak kebijaksanaan Nielsen dalam menangani tim nasional. Tapi awal tahun ini, Brian Laudrup menyerah, setelah berbicara dari hati ke hati dengan Moller Nielsen. Sementara Jan Molby dan Michael yang sekarang bermain di Barcelona, klub tersohor dari Spanyol itu, tetap tak mau bermain di bawah pelatih Nielsen. Tentu saja bergabungnya Brian disambut dengan tangan terbuka oleh Moller Nielsen. "Saya bangga Brian kembali. Kehadirannya membuat Denmark semakin diperhitungkan oleh barisan belakang lawan," ujar Moller Nielsen sembari tersenyum. Seperti halnya sang kakak, Brian yang baru berusia 23 tahun ini mampu menjadi otak kesebelasannya. Di lapangan hijau, ia tampak lebih matang dibandingkan usianya. Kakinya yang berbentuk huruf O menyebabkan sekilas ia seakan lebih pendek dari tinggi badannya yang sesungguhnya. "Berhasil maju ke semifinal sudah membuat rasa percaya diri saya dan kawankawan meningkat," ujar Brian Laudrup. Soalnya, menurut Brian, target mereka bukan kejuaraan ini, melainkan Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Andreas Moller Setelah klubnya, Borussia Dortmund, menjadi juara liga Jerman pada tahun 1990, namanya pun masuk dalam daftar nominasi pemain nasional Jerman. Dia adalah Andreas Moller, teman duet Thomas Hassler di lapangan tengah. Kini berusia 24 tahun, Moller berasal dari keluarga sepak bola. Ayahnya, Volker Moller, adalah pelatih kesebelasan yunior, BSCSchwarzWeib 1919, di Frankfurt. Sejak anakanak, Moller sudah bermain bola, di bawah asuhan pelatih Klaus Gerster. Aneh memang, ia tak dilatih oleh ayahnya sendiri. Berkat bimbingan Gerster, Moller bisa bergabung dengan klub Borussia Dortmund. Setelah Dortmund menjuarai Liga Jerman, Moller hijrah ke kota asalnya, bermain di Eintracht Frankfurt. Penampilan Moller boleh juga. Majalah Jerman Stern memujinya sebagai pemain cerdik berwajah malaikat. Itu disebabkan kehebatan gerak tipu Moller baik dengan gerakan kaki atau tangannya dalam mengecoh lawan. Klubklub kaya di Italia segera mengincarnya. Juventus, klub elite Italia yang dibandari oleh perusahaan mobil Fiat, sudah memberikan uang panjar 1,3 juta DM atau sekitar Rp 1,6 milyar. Artinya, dalam musim kompetisi 19921993 nanti, Moller bakal memperkuat klub dari Kota Turino itu. Tapi belakangan, karena Juventus masih memperpanjang kontrak dengan dua pemain Jerman lainnya, Jurgen Kohler dan Stefan Reuter, maka Moller dijual ke klub Italia papan tengah, Atalanta. Moller kurang senang mendengar berita itu. Tapi setelah menikah di bulan April yang lalu, ia bersedia masuk klub Atalanta, seusai kejuaraan Piala Eropa di Swedia. Konon, kesediannya itu berkat gaji yang ditawarkan klub itu cukup menggiurkan: sekitar Rp 3,7 milyar setahun. Selain itu, ia diberi rumah, sebuah mobil Maserati keluaran terbaru, dan akan diangkat pula sebagai kapten kesebelasan itu. Maka, dalam usia yang relatif muda, Moller sudah menjadi milyuner. Selain menendang bola, ia bergerak dalam bisnis permukiman. Ia juga punya kontrak senilai 2 juta DM, sebagai bintang iklan sepatu Nike. Tak aneh jika Moller mengasuransikan kakinya, yang menjadi tambang emas itu. Bersama istrinya, kini ia menempati rumah seluas 711 meter persegi, di kawasan elite Frankfurt. Widi Yarmanto, Rudy Novrianto, dan Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus