ALHAMDULILLAH. Setelah pertandingan Belanda-Denmark Selasa dini hari tadi usai, tidur Anda akan cukup nyenyak di harihari esok. Piala Eropa yang nun jauh di sana tapi terasa begitu dekat di mata itu sudah sampai di puncak. Tinggal satu perhatian lagi, tentu yang paling seru dan tak mungkin dilewatkan, final yang dilangsungkan pada Jumat malam nanti di Gotenburg, Swedia, atau Sabtu dini hari waktu di sini. Apa yang Anda peroleh dari pesta akbar di Eropa itu, selain kantuk di siang hari? Mungkin, Anda sependapat bahwa sistem total football yang diperkenalkan Tim Oranye Belanda kembali muncul. Dan itu memang mendapat perhatian sejumlah pakar bola. Tapi, yang jelas, sejumlah bintang bersinar atau bertambah sinarnya lewat perebutan Piala Eropa kali ini. Dari Belanda, misalnya, muncul Dennis Bergkamp, Bryan Roy, serta pemain belakang Frank de Boer. Ini melengkapi bintang yang sudah bersinar jauh-jauh hari sebelumnya, seperti trio Marco van Basten, Rijkaard, dan Ruud Gullit. Dari tuan rumah, muncul bintang yang pasti semakin dielu-elukan publik bola. Siapa lagi kalau bukan striker Swedia, Tomas Brolin. Si gemuk "bandel" yang berwajah kebocahan itu selalu membuat repot pemain belakang lawan. Larinya cepat, cerdik lantaran suka berkelit, dan gesit untuk merobek-robek pertahanan lawan. Usianya baru 23 tahun, sama dengan usia saingannya dari Belanda, Dennis Bergkamp. Dari Denmark, kesebelasan yang hanya disiapkan sepuluh hari setelah Yugoslavia dipaksa mundur, muncul Brian Laudrup. Dari Jerman, tim yang nasibnya dibalut keberuntungan sehingga bisa melaju ke semi final, tampil Thomas Haessler. Nah, kini sambil menunggu pertandingan final, Anda layak berterima kasih kepada abang becak, tukang ojek, buruh angkut pasir, pedagang kecil pokoknya mereka dari kalangan bawah yang rajin setiap minggu membeli kupon SDSB. Berkat dana dari merekalah, antara lain, TVRI bisa menyiarkan secara langsung 11 dari 15 pertandingan Piala Eropa, yang mungkin tak sempat disaksikan "pemberi dana" itu karena mereka lelap di emperan toko. Pesta sepak bola ini, yang disiarkan jaringan televisi ke 120 negara, diperkirakan ditonton oleh 4 milyar manusia. Dan demam bola itu berjangkit di manamana, tentu termasuk di sini. Tanyalah ke sembarang orang, barangkali enam dari sepuluh penduduk dewasa negeri ini mengenal nama-nama yang ejaannya asing: Brehme, Thomas Haessler, Ronald Koeman, Van Basten, Berti Vogts, Anatoli Byshovets. "Ini dampak yang positif," kata pengamat sepak bola Eddy Sofyan. Repotnya, menurut Eddy, penggemar bola di Tanah Air lantas membanding-bandingkan mutu permainan yang mereka saksikan di televisi dengan kesebelasan di Tanah Air. Jelas keliru. Eddy Sofyan mungkin benar. Keliru membandingkan tim nasional PSSI dengan tim Belanda, atau katakanlah tim Swedia. Jauh, jauh sekali bedanya. Klub di Eropa sudah melesat sedemikian pesat. Bahkan kiblat bola, kata orangorang ahli bola, kini sudah di tangan Eropa, setelah sekian tahun berada di Amerika Latin. Bahkan sudah lama Eropa menjadi gudang rezeki pemain dari Amerika Latin dan Afrika. Sayangnya, kejuaraan Piala Eropa kali ini dinodai kebrutalan suporter Inggris. Mereka mengamuk di tenda raksasa warung bir di Malmo. Diawali siraman bir, entah oleh siapa, mereka tawur dengan pendukung Swedia. Kerusuhan tambah merambak. Suporter Inggris membakar sepeda motor, merusak toko, dan menganiaya manusia. "Pengalaman kami menunjukkan bahwa alkohol tak bisa dicampur dengan sepak bola," kata Malcolm George, wakil kepala kepolisian Manchester. George bersama timnya terbang ke Swedia untuk meredam kerusuhan. Ratusan suporter Inggris ditangkap, sekitar 40 senjata tajam dan kapak disita. Kerusuhan itu memang tak sedahsyat peristiwa Stadion Heysel 1985 yang menewaskan 39 orang. Juga tidak segawat di kejuaraan antarklub Eropa di Jerman, 1988, saat suporter Inggris merusakkan ratusan bar dan toko di Kota Stuttgart, Dusseldorf, dan Frankfurt. "Tindakan sekelompok kecil pendukung itu telah merusak reputasi Inggris di mata dunia," kata David Mellor, menteri olahraga Inggris. Kejadian di Swedia ini tak menutup kemungkinan UEFA membatalkan Inggris sebagai tuan rumah putaran final Kejuaraan Eropa tahun 1996. Ketua UEFA Lennart Johansson pun sudah memberi sinyal kuning. Jika begini terus, klubklub di Inggris tampaknya bakal punya masa depan suram. Di Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (PNM) kekalahan, timnya atas Skotlandia 30 membuat penggemar sepak bola di situ berkabung. "Kesialan seperti yang kami alami dalam pertandingan itu sudah lama tak pernah saya saksikan," kata Stanislav Cherchesov, penjaga gawang cadangan. Kesedihan juga melanda tim "Pangeran Biru" Prancis. Pelatih Michel Platini sampai tak bisa menahan air mata setelah dipecundangi Denmark 21. Ia hadir dalam konperensi pers dengan mata masih merah, rambut acakacakan, dan dasi tak sempurna. "Tim kami bermain baik hanya 25 menit saja. Selebihnya bermain amatiran," kata Platini. Belum jelas mengapa begitu. Tapi kasus tujuh pemain Prancis yang belum menerima bonus dari klub mereka, Marseille, sejak November lalu tampaknya berpengaruh. Berbeda dengan di Prancis dan di PNM, di Denmark kemenangan itu disambut ingar bingar. Pelataran Balai Kota Kopenhagen tibatiba disulap menjadi ajang pestapora. "Jangan remehkan Denmark. Mari kita jungkir balikkan ramalan orang," kata Thomas Hansen, seorang murid SMA di Kopenhagen, sambil menenggak bir Carlsberg. Arakarakan anak-anak muda dengan atribut kaus warna merah-putih dan topi Viking menuju jantung kota menyambut kemenangan itu. Selain hura-hura itu, patut juga dicatat bahwa perbedaan kemampuan teknis delapan tim yang muncul di putaran final ini makin tipis. Itu sebabnya tak ada hujan gol. Jadi, top scorer seperti yang tercipta di Piala Eropa 1988 sebanyak tujuh gol atas nama Basten (Belanda), Claesen (Belgia), dan Altobelli (Italia) rasanya sulit terwujud. Di Piala Eropa 1984, Platini (Prancis) bahkan membuat 9 gol. Miskinnya gol berarti juga mutu tim Eropa naik hampir bersamaan. Penyebabnya, antara lain, karena tiap individu tampil semaksimal mungkin agar "harga" mereka melambung, setidak-tidaknya kontraknya berlanjut. Di kejuaraan yang berat ini bentuk persaingan memang sangat tajam, baik sesama individu apalagi sesama negara. Karena Piala Eropa lebih berat ketimbang Piala Dunia. Di turnamen Piala Dunia, Eropa dapat jatah 12 tim sedangkan di Piala Eropa cuma ada tujuh tim ditambah tim tuan rumah. Itu yang melahirkan "dendam" antar tetangga, seperti yang terjadi pada Belanda-Jerman. Kini antara sesama suporter sudah ancang-ancang. Sepatu lars neonazi dari Jerman, yang ujungnya dipasangi metal, siap dipakai menyerang suporter Belanda di Swedia. Voetbal is oorlog (Sepak bola adalah perang), itulah puisi orang Belanda. "Dendam" Belanda-Jerman memang belum separah dendam Uruguay dengan Paraguay di Amerika Latin. Kedua negara itu pernah perang hanya garagara sepak bola. Tapi siapa yang menjamin orang Jerman dan Belanda baik-baik saja setelah Piala Eropa ini berakhir? Dua tahun lalu, seusai perebutan Piala Dunia di Italia, ada insiden di dekat perbatasan Jerman-Belanda. Daerah yang dihuni oleh warga campuran itu dilanda kerusuhan. Waktu itu orang-orang Jerman menarinari meluapkan kegembiraan sambil mengejek-ejek orang Belanda. Yang diejek tak tinggal diam. Mereka membalas dengan menyanyikan lagu: "Jerman, Jerman, semua berlalu. Oh, betapa si Jerman itu diam." Warga Jerman pun membalasnya dengan membuka mulut lebih lebar: "Dan kamilah juara dunia." Perang mulut itu mungkin tak berbahaya kalau saja tidak dilanjutkan dengan lemparan bom bikinan sendiri dari pihak warga Jerman. Tiga orang cedera. Polisi pun disiagakan. Toh keributan-keributan kecil tetap saja terjadi. Jerman dan Belanda memang musuh bebuyutan dalam perkara sepak bola. Dari 31 kali pertemuan kesebelasan Jerman - Belanda selama 82 tahun, Jerman unggul 12 kali sedangkan Belanda menang delapan kali. Selebihnya seri. Lantas siapa yang unggul kali ini? Berikut ini profil empat tim yang masuk semifinal Piala Eropa, baik yang sudah maju ke final maupun yang tidak: Belanda KAFE-KAFE di Amsterdam, Den Haag, Utrecht, atau kota lainnya, bahkan di desa di Belanda betul-betul "berbenah" menghadapi putaran terakhir Piala Eropa. Berbagai atribut dan lambang Kesebelasan Oranye itu dipajang di sana. Kemenangan Belanda atas Jerman 31, Jumat pekan lalu, seperti menyemarakkan segalanya. Topi, syal, kaus, bendera, stiker, dan suvenir bergambar Marco van Basten atau Ruud Gullit dijual di mana-mana. Belanda sedang dilanda demam kemenangan. Setiap tim Belanda berlaga, kota di sana menjadi sepi bak disambar garuda. Orang-orang tinggal di dalam rumah padahal kini musim panas, mereka biasanya senang di luar rumah atau di kafe menongkrongi pesawat televisi. Bahkan banyak pula orang memajang pesawat televisi ukuran kecil di dalam WC agar bisa menonton pertandingan selagi mereka melepas hajat. Sepak bola memang menempati posisi khusus dalam perhatian masyarakat Belanda. Dan karena sepak bola pula negeri kecil berpenduduk 15 juta itu menjadi terkenal di manamana. Apalagi Belanda adalah juara bertahan Piala Eropa dan kini kembali difavoritkan untuk menjadi juara. Belanda setidaknya sudah mengalahkan Jerman di perempat final. Padahal banyak pengamat berpendapat cuma Jerman yang bisa dianggap setara dengan tim Negeri Kincir Angin itu dalam kejuaraan kali ini. Di bawah pimpinan Rinus Michels, pelatih terkemuka yang menciptakan total football, permainan anakanak Belanda bisa dibilang paling konsisten. Yang menjadi inti dalam tim ini masih tetap para pemain yang dulu menjuarai Piala Eropa, seperti Marco van Basten, Frank Rijkaard, Ruud Gullit, dan Ronald Koeman. Menariknya lagi, penyisipan beberapa pemain muda Bergkamp, Brian Roy, Aaron Winter, dan De Boer bisa dilakukan tanpa merusak kekompakan tim. Tradisi sepak bola di negeri kecil ini memang sudah lebih dari seratus tahun. Jangankan di kota-kota, di kampung kecil pun ada lapangan bola. Begitu banyak klub yang berkembang bahkan belum pernah terdengar ada yang mati dan setiap klub sedikitnya mempunyai tiga lapangan bola. Itu tentu ditunjang oleh semangat yang menggebu-gebu dari para pemain. Lihat saja penampilan Ruud Gullit. Meski akhir Maret lalu kaki kanannya dioperasi karena patah tulang sebelumnya kaki kirinya sudah empat kali dioperasi sang inspirator itu masih tetap berbahaya dengan bola-bola tusuknya di depan gawang lawan. Van Basten dalam usia 27 tahun pun belum layak disebut jago tua yang hanya pintar menunggu suapan bola dari temannya di mulut gawang. Ia tetap mampu mengitari lapangan. "Kami ingin mengubur dalam-dalam mimpi buruk di Italia dua tahun lalu," kata Basten. Di Piala Dunia itu Belanda tersandung di perdelapan final. Juga tak bisa dibantah, Belanda merupakan kesebelasan yang pemainnya paling berwarna-warni dengan gelar juara. "Kami memenangkan hampir semua piala paling bergengsi di tahun ini," kata Basten. Bersama Gullit dan Rijkaard, di klub AC Milan, mereka memboyong piala kejuaraan Italia. Ronald Koeman, palang pintu tim Belanda, mengantar Barcelona merebut gelar juara Spanyol dan Piala Champions, kejuaraan antarklub Eropa yang paling bergengsi. Penyerang Dennis Bergkamp terpilih sebagai Netherland's Player of the Year, dan klubnya Ajax menjuarai UEFA Cup, juga salah satu kejuaraan antarklub Eropa. "Belanda itu paling komplet. Lini depan, tengah, dan belakang punya kemampuan merata," kata pengamat sepak bola Sinyo Aliandoe. Meski sudah berumur 35 tahun, penjaga gawang Hans van Breukelen tak diragukan di bawah mistar gawang. Di lini belakang ada De Boer yang siap mengawal lawan dan pintar membaca lawan. Rijkaard bisa menjelajah ke manamana. Kedua sayapnya pun, menurut Sinyo yang bekas pelatih nasional itu, sangat berbahaya: Bryan Roy di kiri dan Gullit di kanan. Eddy Sofyan, bekas pelatih PSSI Garuda, berpendapat sama dengan Sinyo. "Belanda paling siap merebut gelar juara," kata Eddy. Bahkan, menurut Sofyan, Belanda mampu mempertontonkan total football, yang setelah digelar pertama kali di final Piala Dunia 1974 tak pernah terlihat lagi. Total football (di sini diterjemahkan sepak bola "angin puyuh"), pola permainan yang diciptakan Rinus Michels, mensyaratkan penyerangan dan pertahanan dilakukan oleh seluruh anggota tim. Dengan demikian posisi pemain dalam sepak bola konvensional: bek, gelandang, atau penyerang jadi kabur. Semua pemain bisa jadi penyerang dan bisa pula menjadi pemain bertahan. Gaya itu tentu membutuhkan pemain prima, yang kini tampaknya dimiliki Belanda. Peran pelatih Rinus Michels tentu tak kecil. Ia mampu meramu kekuatan timnya yang bertebaran bintang itu. Padahal biasanya tak mudah mengatur orang-orang istimewa itu dalam satu tim yang solid. Ini mungkin sebagai hikmah dari pengalaman Michels yang begitu banyak dalam mengurus klub-klub terkenal. Bekas pelatih di sekolah cacat itu memulai kariernya di sepak bola setelah bergabung dengan Ajax, 1958. Tujuh tahun kemudian ia menjadi manajer di klub terkenal Belanda itu. Sejak itu pula bendera Ajax berkibar tinggi, menjadi juara Liga Eropa. Ia kemudian memimpin tim Belanda ke final Piala Dunia 1974. Sayang, dengan total footballnya, Belanda dikalahkan tuan rumah Jerman Barat. Belakangan ia membawa Belanda menjadi juara Eropa 1988. Ia absen di Piala Dunia 1990, untuk muncul lagi sekarang. Jerman INILAH tim yang sejak awal dilanda kemalangan, tapi nasib baik mengantarkannya ke final. Di awal putaran Piala Eropa, kapten Lothar Matthaeus cedera sehingga tak bisa berlaga di putaran final. Playmaker itu harus istirahat sekitar enam bulan. Kemalangan berikutnya menimpa Rudi Voller, 32 tahun. Pemain yang sudah 83 kali memperkuat tim nasional dengan mencetak 42 gol ini, bertabrakan dengan pemain belakang PNM asal Glassgow Ranger, Oleg Kusnetzov. Tulang hasta kiri Voller retak. Senin pekan lalu, Voller terpaksa dioperasi selama 35 menit untuk dipasangi plat baja. Ia harus istirahat selama dua bulan. Kesialan Jerman masih belum habis. Saat bermain dengan Skotlandia, dan menang 20, Jerman membayarnya dengan mahal: kepala Guido Buchwald bocor dan jidat Stefan Reuter robek. Akibatnya, keduanya tak bisa memperkuat Jerman. Tim ini pun morat-marit hingga dikalahkan Belanda 13. Di tengah kemalangan itu, tiba-tiba tim ini diguyur nasib baik. Skotlandia menghajar PNM 30, sehingga memberi tempat pada Jerman untuk maju ke semifinal. "Jerman yang tampil kemarin memang bukan Jerman yang baik. Tapi saya yakin ia akan tampil lebih meyakinkan. Saya yakin pelatih Berti Vogts, termasuk 'kaisar' Franz Beckenbauer, akan bersatu untuk melawan Swedia," kata Eddy Sofyan mengomentari pertandingan Jerman-Belanda. Eddy benar, Jerman bisa mengalahkan tuan rumah pada semifinal. Di mata Sinyo Aliandoe, Jerman memiliki pemain yang selalu merepotkan pemain belakang lawan. Mereka pun mampu mengejar ke mana larinya bola. Memang, dalam beberapa penampilannya, Jerman kurang memiliki serbuan terarah. Mereka menyerang hanya untuk menekan gawang lawan. "Tapi, kalau lagi dalam puncak kemarahan, serangannya sulit dibendung," kata Sinyo. Pada pertandingan semifinal melawan Swedia, Senin dini hari pekan ini, beruntung Buchwald dan Reuter diperbolehkan turun ke lapangan oleh dokter tim. Hasilnya, meski bukan langsung dari kedua kaki mereka, Jerman unggul 32. Pertama lewat kaki Thomas Haessler, 25 tahun, yang main di klub AS Roma. Ia mengeksekusi tendangan bebas dari luar kotak pinalti dengan keras terarah hingga tak ada kesempatan buat kiper Swedia, Thomas Ravelli untuk menjangkaunya. Gol kedua dihasilkan oleh Karlheinz Riedle, 26 tahun, yang berdiri bebas di mulut gawang. Gol ketiga juga diperoleh si macan lapar, Riedle. Selain bintang-bintang yang sudah disebut, Jerman masih punya Juergen Klinsmann, 27 tahun, striker brilian berambut blonde yang main di klub Inter Milan, Italia. Ada pula Stefan Effenberg, 24 tahun, yang sangat dijagoi oleh pelatih Berti Vogts. "Ia punya potensi yang luar biasa," kata Vogts. Nama Andreas Brehme, 31 tahun, yang oleh Beckenbauer dijuluki perfect (sempurna) juga layak diperhitungkan. Dengan materi tersebut, 84 persen (berdasar pol pendapat) warga di Jerman, meyakini timnya bakal juara. Tapi, hal itu tak membuat Vogts lantas sombong. Ia malah takut menjanjikan kemenangan. "Rasa puas diri yang berlebihan adalah bahaya terbesar dalam sepak bola," kata Vogts. Itu sebabnya, setiap orang yang membicarakan tim Jerman secara berlebihan, ia menyela: "Tim yang besar adalah tim yang menang." Vogts, 46 tahun, adalah bekas pemain tim Jerman tahun 1967-1978. Tiga kali ia memperkuat Jerman dalam Piala Dunia 1970, 1974, dan 1978. Semula ia menjadi penyerang, lalu beralih ke pemain belakang. Jadi, termasuk tokoh yang komplet. Sayang, di tangannya belum lahir seniman bola seperti Gerd "bomber" Muller. Dan sekarang, adakah Jerman akan memboyong Piala Eropa? Tunggu saja Sabtu dini hari nanti. Dan jika itu terjadi, bonus sekitar Rp 300 juta lebih akan diterima setiap pemain. Denmark SEKITAR 20 ribu pendukung tim "Dinamit" Denmark yang memadati stadion Malmo, Swedia, berjingkrak-jingkrak gembira. Wajah mereka cerah. Selasa malam pekan lalu, mereka memang pantas merayakan kemenangan itu, menggilas Prancis 21. Keberhasilan itu meloloskan mereka ke semifinal Piala Eropa 1992. Satu prestasi yang tak diduga sama sekali oleh pelatih Moller Nielsen. Hasil ini tak urung mengagetkan para penggemar bola di mana-mana. Karena, sebelum pesta bola ini dimulai, tak seorang pun pengamat yang menjagokan Denmark. Bisa menahan seri tim-tim tangguh, seperti Inggris, Prancis, dan tuan rumah Swedia yang diunggulkan di grup I, sudah dianggap lumayan. Tapi Moller Nielsen mampu membawa tim ini lebih dari lumayan. Kesebelasan dengan kostum merah putih ini ke Swedia ibarat mendapat "hadiah" dari Dewan Keamanan PBB. Adalah Yugoslavia yang lebih berhak. Tapi karena negeri itu mendapat sanksi ekonomi, kesebelasan Yugoslavia yang telah berada di Swedia terpaksa di depak ke luar. Denmark, yang di babak penyisihan Grup IV menjadi runner up, langsung menggantikannya. Persiapan tim ini sebenarnya minim. Semuanya dikerjakan serba singkat. Bayangkan saja, pelatih Richard Moller Nielsen hanya diberi waktu tak lebih dari 10 hari untuk mengumpulkan dan menyusun kekuatan. Apalagi hampir sebagian besar pemainnya sudah bersiap-siap untuk libur musim panas. Para pemain pun merasa tak siap secara fisik maupun mental dalam menghadapi event paling bergengsi setelah Piala Dunia ini. Bahkan, kabarnya, mereka merasa malu, apalagi disebut-sebut sebagai kesebelasan turis. Maklum, sifat orang Denmark yang suka gengsi lebih menyukai hasil jerih payah sendiri daripada hadiah. Pelatih Moller Nielsen masih harus bersitegang dengan para pemilik klub tempat pemainpemain Denmark bernaung. Misalnya, kiper Schmeichel (dari Manchester United), Olsen (Trabzonspor), Sivebaek (Monaco), Anderson (Cologne), Povlsen (Dortmund), Christiansen (Schalke), dan Brian Laudrup (Bayern Munchen). Mereka yang berada di dalam negeri relatif lebih mudah dihubungi. Meski, saat menjelang ke Swedia itu, Nielsen belum ada kesepakatan dengan Ketua Liga Denmark, Claus Rode Jensen. Belum lagi, keengganan pemain-pemain senior, seperti Michael Laudrup (Barcelona) dan Jan Molby (Liverpool), memenuhi panggilan Moller Nielsen, dengan alasan tak cocok dengan sistem permainan yang diterapkan oleh Nielsen. "Kami telah terbiasa bermain tanpa Michael Laudrup dan Molby," ujar Moller Nielsen. Belakangan ia membantah telah memanggil kedua pemain itu. "Saya tak punya keinginan untuk memanggil mereka," katanya agak sengit. Nielsen, 54 tahun, mulai memegang jabatan pelatih kepala tim nasional Denmark akhir 1990. Ia menggantikan Sepp Piontek, bekas bek kanan tim nasional Jerman Barat pada tahun 1960an, yang hijrah menangani tim nasional Turki. Prestasi Nielsen sebagai pemain sepak bola tak panjang. Ia hanya sempat mengenakan kostum tim nasional selama dua kali di awal 1960an. Setelah itu ia gantung sepatu karena menderita cedera tulang rawan (cartilago). Sebelum menjadi pelatih, Nielsen menjabat manajer klub OB Odense untuk 16 kali musim kompetisi. Berkat bimbingannya, OB Odense berhasil merebut gelar juara kompetisi Liga Denmark, dua kali. Sebelum menggantikan Sepp Piontek, Nielsen melatih tim nasional di bawah usia 21 tahun dan tim Olimpiade Denmark. Sebenarnya, prestasi Denmark di Piala Eropa tidaklah jelek. Tahun 1984, di Prancis, tim yang diasuh Sepp Piontek itu berhasil lolos ke semifinal walaupun akhirnya kalah adu penalti 45 dari Spanyol. Empat tahun lalu, pada putaran final di Jerman Barat, Denmark harus puas menjadi juru kunci. Kini tentu beda. Denmark sudah menjadi tim yang lebih baik walau dibentuk dalam waktu singkat. Swedia SIAPAKAH pemenang Piala Eropa tahun ini? Jika hal itu ditanyakan kepada orang Swedia, jawabnya tidak harus menunggu sampai hari Sabtu. "Italia! Adakah yang lain?" kata orangorang Swedia. Ini jawaban konyol, setengah mengejek, setengah jengkel, mungkin juga frustrasi atau sinis. Italia tak ikut putaran final karena dijegal tim Persemakmuran (mantan Uni Soviet). Entah kenapa orang Swedia kini rada sinis setelah kesebelasannya gagal mencapai ambisi puncak untuk unjuk kekuatan di final. Semula, tim Swedia memasang target rendah. Melalui manajer timnya, Tommy Svensson, target itu adalah "Mimpi, kalau kami bisa mencapai semifinal." Namun, begitu timnya lolos ke semifinal, semangatnya menggelegak. "Kepalang basah, apa salahnya kalau kami mewujudkan saja impian yang lebih tinggi," katanya. Maksudnya final. Sayang, laju si kuda hitam ini terhenti di tangan Jerman, Senin dini hari, dengan skor 32. Tak berarti Swedia melempem. Gawang kiper Jerman, Bodo Illgner, sempat bobol dua kali. Sebuah heading dari Kenneth Andersson dan sebuah lagi penalti lewat Tomas Brolin menggetarkan jala Bodo. Turunnya sayap gantung Anders Limpar, 26 tahun, di babak kedua cukup merepotkan pertahanan Jerman. Limpar adalah pemain berfisik prima yang pernah mengantar Arsenal menjuarai Liga Inggris, 1990/1991. Kehadiran Swedia dalam deretan klub elite Eropa memang tak begitu jelas. Sukses pernah dicetak tahun 1950, yaitu sebagai juara ketiga Piala Dunia di Brasil. Kemudian menjadi runner up Piala Dunia 1958. Pada tahun 1980an, melalui IFK Goteborg, mereka menjuarai Piala UEFA dua kali. Selebihnya, ya, adem ayem saja. Kompetisi liga di dalam negeri pun tak menarik perhatian pemain-pemain muda. Mereka pindah ke klub-klub di Eropa yang memang menjadi surga pemain. Roland Nielsson, 28 tahun, mencari rezeki di klub Sheffield Wednesday (Inggris), Anders Limpar menclok ke Arsenal (Inggris), Tomas Brolin, 22 tahun, yang dijuluki "The Last Viking", ke klub Parma (Italia), dan Jonas Thern, 25 tahun, ke Benfica (Portugal). Dengan materi yang bertebaran itu, Svensson pun tak menjanjikan yang muluk-muluk. "Saya hanya menjanjikan permainan attacking football," katanya. Svensson hanya punya waktu selama sepuluh hari membangun timnya. Itulah yang membuat warga Swedia pesimistis. Namun, Svensson tetap pada tekadnya. Hasilnya, seperti yang sudah Anda lihat di TVRI. Swedia banyak kecolongan dari bolabola mati alias tendangan bebas. Atau, "Seringsering itu berawal dari kesalahan seseorang yang membiarkan lawan mencetak gol," kata Svensson. Attacking football memang sudah diperagakan Swedia. Dan ternyata telah membuat pelatih Inggris, Graham Taylor, iri. Soalnya, permainan tim Inggris yang dimotori Gary Lineker malah awut-awutan. Dan Inggris justru diganjal Swedia dengan 21. "Terus terang, apa yang diperlihatkan Swedia merupakan gaya permainan Inggris yang benar," kata Taylor. Taylor memuji gelandang Swedia. Mereka begitu cepat mendukung rekan di depannya, dan menjadi jangkar bagi pemain belakang. Taylor juga memuji Brolin, striker yang sulit dihadang. Pemain berwajah bocah yang punya hobi menunggang kuda dan main tenis itu kegesitannya memang luar biasa. Tak berlebihan pula jika pelatih Italia, Arrigo Sacchi, yang terbang ke Swedia untuk mengintip kekuatan menjelang Piala Dunia 1994, juga memuji tim buatan Svensson ini. "Saya melihat Swedia sebagai kekuatan yang menakutkan," kata Sacchi. Widi Yarmanto, Rudy Novrianto, (Jakarta),Asbari N. Krisna (Belanda), Bambang Purwantara (Denmark),dan Lisa Sallusto (Italia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini