PESTA demokrasi sudah lewat. Namun, di pengadilanpengadilan gaungnya masih terdengar. Sejak dua pekan lalu, sejumlah pengadilan mulai menyidangkan kasuskasus yang ada kaitannya dengan pemilu. Para terdakwa ratarata dijerat dengan pasalpasal KUHP, bukan undangundang pemilu. Vonis yang dijatuhkan tidak seseram yang dibayangkan banyak orang. Umumnya ringan. Padahal, perbuatan mereka, yang sebagian besar dilakukan pada masa kampanye, tergolong brutal dan menakutkan. "Para terdakwa dihukum ringan karena kebrutalan mereka terpengaruh histeria massa dan kondisi politik menjelang pemilu," komentar seorang hakim, memberi alasan. Pada 25 Mei lalu, misalnya, hakim Manis Soejono dari Pengadilan Negeri Bojonegoro, hanya memvonis terdakwa Suri, hukuman 10 hari penjara dengan masa percobaan 20 hari. Padahal di persidangan, Suri, aparat Desa Teleng, Kecamatan Sumberejo, Bojonegoro, terbukti menganiaya Ali, 14 tahun, lantaran memasang gambar PPP di beberapa pohon dan gardu di desa itu. Sebagai Kepala Dusun, Suri tersinggung wilayahnya dibanjiri gambar Bintang tanpa seizin dia. belakangan diketahuinya pemasangnya adalah Ali. Pada malam 16 Mei, Ali, yang tengah berada di surau, dipanggil keluar oleh Suri. Tanpa ditanya ini itu, Ali langsung ditempeleng beberapa kali. Tak puas dengan itu, tangan Ali diikat, lantas diseret ke rumah pengurus PPP setempat. Ali, yang belum berhak nyoblos itu, pun meraung kesakitan. Di Surabaya, Siswanto diadili garagara membakar bendera Golkar. Penduduk Tambak Segaran, Surabaya ini, Rabu pekan lalu diganjar hukuman 25 hari penjara. Oleh hakim, ia dinilai terbukti melanggar Pasal 406 (1) KUHP (merusak barang milik orang lain). Padahal, semula jaksa Erwan Sartono menjerat Sis dengan pasalpasal yang menyeramkan: 187 KUHP (kejahatan yang membahayakan kepentingan umum) dan pasal 154 KUHP (menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah). Sementara itu, Pasal 406 ditaruh paling belakang, sebagai dakwaan "lebih subsider". Di persidangan terungkap bahwa ia membakar bendera Golkar lantaran kesal karena selalu diejek temanteman di kampung sebagai simpatisan Golkar. "Saya kesal dituduh bukan orang PDI. Jadi, pembakaran itu sematamata untuk menunjukkan bahwa saya bukan Golkar, tapi PDI," kata Siswanto. Hakim Untung Haryadi melihat aksi pembakaran itu sematamata karena emosi sesaat. "Aksi Siswanto dilandasi pikiran yang sedang kacau bukan permusuhan terhadap pemerintah," ujar Untung. Sementara itu di Pengadilan Negeri Semarang, dari 17 kasus yang berkaitan dengan pemilu, sudah 15 kasus disidangkan. Dan seperti di kotakota lain, hakim di Semarang pun memakai KUHP, bukan UU Pemilu. Jaksa Erwan Sartono dan Hakim Untung Haryadi dari Pengadilan Negeri Surabaya menegaskan bahwa penggunaan pasalpasal KUHP tak menyalahi undangundang. Karena, pasalpasal ketentuan pidana UU Pemilu tidak ada yang mengatur perusakan atribut organisasi peserta pemilu (OPP). Lagi pula, tidak ada ketentuan yang menyebut setiap kejadian yang berkaitan dengan pemilu harus memakai UU Pemilu. "Kalau sanksi pelanggaran itu ada dalam KUHP, ya, kami menggunakan KUHP," ujar Untung. Dalam UU Pemilu No. 1 Tahun 1985, ketentuan pidana diatur dalam Bab XI ada 4 pasal (26, 27, 28, dan pasal 29). Pada Pasal 28 diberi penjelasan bahwa tindak pidana yang termaksud dalam Pasal 26 dan 27 adalah kejahatan. Sementara itu, tindak pidana yang termaksud dalam Pasal 27 ayat 9 dan ayat 10 tergolong pelanggaran. Dalam Pasal 27 ayat 7 diatur ancaman pidana lima tahun bagi siapa saja yang memberikan hak suaranya lebih dari yang ditetapkan menurut UU Pemilu. Maksudnya, orang yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali termasuk kejahatan pemilu. Kendati beberapa OPP melaporkan ada yang ketahuan mencoblos lebih dari sekali (dua tersangka kini tengah diproses kejaksaan Semarang), tapi nyatanya belum ada yang sampai diseret ke pengadilan. Itulah antara lain yang disesalkan pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Luhut Pangaribuan. "Banyak kejadian yang jelasjelas merupakan pelanggaran UU Pemilu, tapi anehnya UU Pemilu tak pernah digunakan di pengadilan," katanya kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Ia melihat di sini terjadi un equal treatment (perlakuan yang tidak sama). Maksudnya, di satu sisi hanya menyobek tanda gambar diajukan ke pengadilan dan divonis, sementara orang yang terbukti mencoblos lebih dari satu kali dibiarkan saja (hanya diselesaikan secara musyawarah). "Menurut UU, seharusnya polisi wajib melakukan penyidikan bila sudah mendapat informasi adanya kejahatan itu," kata Luhut dengan tegas. Luhut lebih setuju kalau kasuskasus seperti penyobekan bendera di Surabaya, Semarang, dan lainlain dikenai UU Pemilu. Bila pasal KUHP yang digunakan, kejahatan tersebut dianggap kejahatan umum. Penggunaan UU Pemilu sedikit banyak merupakan pendidikan politik juga. Khususnya, membangkitkan kesadaran akan hak dan kewajiban yang diatur UUD. Aries Margono, Jalil Hakim, Andy Reza (Surabaya), dan B. Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini