Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Keoknya abah encas

Keluar sebagai juara dalam kejuaraan 10 besar PSSI mengalahkan persib. profil sebagian pemain psms. pemain persib, encas tonif ditarik keluar pada pertentangan babak kedua. (or)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA peluk kedua tiang gol itu pelan-pelan, sebelum kemudian berdiri agak membungkuk di tengah gawang. Kedua lututnya terus digoyangkan sampai, tiba-tiba, ia meloncat ke depan menepis bola yang ditembakkan dari titik pinalti. Penjaga gawang itu, Ponirin, segera meloncat-loncat kegirangan ketika sadar bola yang dilepas Giantoro, kapten kesebelasan Persib, berhasil dibuang lagi ke tengah lapangan. Beberapa pemain PSMS, termasuk pengurusnya, dari pinggir lapangan segera menyerbu dan mengangkat Ponirin tinggi-tinggi. Kebolehan anak kelahiran Tanjung Morawa, Deli Serdang, itu, Kamis pekan lalu, ternyata membuat angka 3-2 untuk kemenangan timnya dalam adu pinalti tidak berubah. Sehingga menghantarkan Medan pada kedudukan juara, mengalahkan Persib, pada kejuaraan 10 Besar PSSI. Dihadiri lebih dari 100 ribu penonton, final kejuaraan antarklub perserikatan yang berlangsung di Senayan itu memang menegangkan. Bukan saja karena pertandingan yang berakhir 0-0 itu diperpanjang 2 x 15 menit, tapi pertarungan kalah menang antara kesebelasan dari Medan dan Bandung, yang dilanjutkan dalam adu pinalti, itu berakhir cuma dengan selisih satu gol. Perbedaan gol itu adalah berkat tangan emas karyawan Bea Cukai Belawan yang bernama lengkap Ponirin Meka itu. Anak tertua dari tujuh bersaudara yang kini tergabung dalam klub Medan Utara itu kehidupannya memang belum pernah sesukses sekarang. Bujangan berumur 27 tahun itu tak sempat menamatkan bangku SMA. "Waktu itu saya bandel dan keadaan ekonomi agak seret, sehingga sekolah keteteran, "katanya. Namun, pemain PSMS yang bermain baik dan berhasil menggulung ambisi Persib jadi juara PSSI tidak cuma Ponirin. Sunardi B kapten kesebelasan, misalnya, merupakan pencetak gol terbanyak selama turnamen berlangsung. Ayah tiga orang anak yang berumur 32 itu langsung pingsan ketika timnya juara. "Begitu meluapnya kegembiraan, ditambah dengan capek, saya sampai tak ingat apa-apa lagi," katanya. Di dalam timnya ada seorang lagi yang punya nama sama. Dan agar tidak keliru, dipanggil Sunardi A. Pemain yang pernah dikontrak Pardedetex selama setahun itu bermain sebagai pemain belakang. Orangtuanya asli Jawa Tengah, tapi dia sendiri lahir di Medan. Tidak semua pemain Medan tua-tua. Marzuki, misalnya, yang baru dipasang pada babak semifinal, benar-benar menyelamatkan Medan yang sebelumnya kedodoran. Di semifinal, sebelum Marzuki masuk, PSMS kalah 1-2 lawan Persib. Bahkan, pada putaran kedua wilayah barat, sempat digulung Persib di Bandung dengan 1-3. Pemain PSSI Garuda itu memang baru main ketika melawan Persebaya, menang 1-0, dan dengan Persib di final, yang membuat Medan jadi juara. Marzuki, yang kini masih duduk di bangku terakhir SMA, ditarik Barbatana, pelatih Brazil, ke PSSI Garuda. Pemain gelandang yang kini berumur 19 tahun itu telah membuat Persib tidak berkutik. Ia bertugas menempel Adjat Sudradjat, pemain depan Bandung yang biasanya membobolkan gawang Ponirin. Adjat memang mengaku telah "dimakan" Marzuki di kotak pinalti ketika berada di depan gawang Medan. "Kaki saya sakit sekali, sehingga lari pun sebenarnya saya sudah tak kuat lagi," kata Adjat. Adjat, 21, tinggi 1,65 meter, mengaku susah melewati Marzuki, yang memang pernah bermain dalam satu tim di PSSI Putih ketika seleksi pemain untuk Pra-Olimpiade tempo hari. Sedikitnya, ada empat pejuang untuk mencetak gol waktu itu. "Tapi saya gugup dan tegang sekali," tuturnya. Pemain Bandung yang banyak mencetak gol itu pernah dilatih Marek Janota selama setahun lebih. Kini tinggal di sebuah rumah petak berlantai tanah berukuran 4 x 6 meter, anak ketiga dari tujuh bersaudara itu hidup berdesakan. Di sekolahnya Adjat termasuk pandai, sehingga tak perlu bayar uang sekolah. Namun, SMA-nya tak selesai karena sering bolos untuk mengikuti pertandingan-pertandingan. Di barisan depan, Adjat kerja sama dengan Wolter Sulu. Anak petani cenkih dari Sulawesi Utara yang berumur 24 tahun itu semula bergabung dengan Persikabo, Bogor. Namun, karena timnya kalah melulu dalam setiap turnamen, dia mengajukan izin pindah ke Bandung. Dan sekalipun dilarang Sulu nekat. Karena kelakuannya itu, dia diskors 7 bulan. Tapi Persib juga punya pemain tua, yaitu Encas Tonif. Pemain berumur 32 tahun itu ditarik ke luar pada pertengahan babak kedua. Karena itu, pemain yang pernah memperkuat PSSI ke beberapa turnamen di luar negeri itu merasa jengkel sampai-sampai air minum yang diberikan asisten pelatihnya dilemparkan kembali ke muka asisten itu. Encas mengakui permainannya keras. "Karena saya ingin membangkitkan mental teman-teman pemain muda," katanya. Pemain bertubuh tinggi itu melihat kawan-kawannya sudah grogi karena selalu "dimakan" pemain Medan. Malah, katanya, Dede Iskandar yang "diambil" Suherman, pemain PSMS, mengeluh dan minta tolong."Bagaimana ini, Abah," ujar Encas menirukan teriakan Dede. Ayah dua orang anak yang dipanggil Abah oleh rekan-rekannya itu berniat gantung sepatu. "Tapi saya dibuang justru pada saat Persib hampir jadi juara. Ini merupakan catatan akhir di karier saya," kata Encas memelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus