DIA peluk kedua tiang gol itu pelan-pelan, sebelum kemudian
berdiri agak membungkuk di tengah gawang. Kedua lututnya terus
digoyangkan sampai, tiba-tiba, ia meloncat ke depan menepis bola
yang ditembakkan dari titik pinalti.
Penjaga gawang itu, Ponirin, segera meloncat-loncat kegirangan
ketika sadar bola yang dilepas Giantoro, kapten kesebelasan
Persib, berhasil dibuang lagi ke tengah lapangan. Beberapa
pemain PSMS, termasuk pengurusnya, dari pinggir lapangan segera
menyerbu dan mengangkat Ponirin tinggi-tinggi.
Kebolehan anak kelahiran Tanjung Morawa, Deli Serdang, itu,
Kamis pekan lalu, ternyata membuat angka 3-2 untuk kemenangan
timnya dalam adu pinalti tidak berubah. Sehingga menghantarkan
Medan pada kedudukan juara, mengalahkan Persib, pada kejuaraan
10 Besar PSSI.
Dihadiri lebih dari 100 ribu penonton, final kejuaraan antarklub
perserikatan yang berlangsung di Senayan itu memang menegangkan.
Bukan saja karena pertandingan yang berakhir 0-0 itu
diperpanjang 2 x 15 menit, tapi pertarungan kalah menang antara
kesebelasan dari Medan dan Bandung, yang dilanjutkan dalam adu
pinalti, itu berakhir cuma dengan selisih satu gol. Perbedaan
gol itu adalah berkat tangan emas karyawan Bea Cukai Belawan
yang bernama lengkap Ponirin Meka itu.
Anak tertua dari tujuh bersaudara yang kini tergabung dalam klub
Medan Utara itu kehidupannya memang belum pernah sesukses
sekarang. Bujangan berumur 27 tahun itu tak sempat menamatkan
bangku SMA. "Waktu itu saya bandel dan keadaan ekonomi agak
seret, sehingga sekolah keteteran, "katanya.
Namun, pemain PSMS yang bermain baik dan berhasil menggulung
ambisi Persib jadi juara PSSI tidak cuma Ponirin. Sunardi B
kapten kesebelasan, misalnya, merupakan pencetak gol terbanyak
selama turnamen berlangsung. Ayah tiga orang anak yang berumur
32 itu langsung pingsan ketika timnya juara. "Begitu meluapnya
kegembiraan, ditambah dengan capek, saya sampai tak ingat
apa-apa lagi," katanya.
Di dalam timnya ada seorang lagi yang punya nama sama. Dan agar
tidak keliru, dipanggil Sunardi A. Pemain yang pernah dikontrak
Pardedetex selama setahun itu bermain sebagai pemain belakang.
Orangtuanya asli Jawa Tengah, tapi dia sendiri lahir di Medan.
Tidak semua pemain Medan tua-tua. Marzuki, misalnya, yang baru
dipasang pada babak semifinal, benar-benar menyelamatkan Medan
yang sebelumnya kedodoran. Di semifinal, sebelum Marzuki masuk,
PSMS kalah 1-2 lawan Persib. Bahkan, pada putaran kedua wilayah
barat, sempat digulung Persib di Bandung dengan 1-3. Pemain PSSI
Garuda itu memang baru main ketika melawan Persebaya, menang
1-0, dan dengan Persib di final, yang membuat Medan jadi juara.
Marzuki, yang kini masih duduk di bangku terakhir SMA, ditarik
Barbatana, pelatih Brazil, ke PSSI Garuda. Pemain gelandang yang
kini berumur 19 tahun itu telah membuat Persib tidak berkutik.
Ia bertugas menempel Adjat Sudradjat, pemain depan Bandung yang
biasanya membobolkan gawang Ponirin. Adjat memang mengaku telah
"dimakan" Marzuki di kotak pinalti ketika berada di depan gawang
Medan. "Kaki saya sakit sekali, sehingga lari pun sebenarnya
saya sudah tak kuat lagi," kata Adjat.
Adjat, 21, tinggi 1,65 meter, mengaku susah melewati Marzuki,
yang memang pernah bermain dalam satu tim di PSSI Putih ketika
seleksi pemain untuk Pra-Olimpiade tempo hari. Sedikitnya, ada
empat pejuang untuk mencetak gol waktu itu. "Tapi saya gugup dan
tegang sekali," tuturnya.
Pemain Bandung yang banyak mencetak gol itu pernah dilatih Marek
Janota selama setahun lebih. Kini tinggal di sebuah rumah petak
berlantai tanah berukuran 4 x 6 meter, anak ketiga dari tujuh
bersaudara itu hidup berdesakan. Di sekolahnya Adjat termasuk
pandai, sehingga tak perlu bayar uang sekolah. Namun, SMA-nya
tak selesai karena sering bolos untuk mengikuti
pertandingan-pertandingan.
Di barisan depan, Adjat kerja sama dengan Wolter Sulu. Anak
petani cenkih dari Sulawesi Utara yang berumur 24 tahun itu
semula bergabung dengan Persikabo, Bogor. Namun, karena timnya
kalah melulu dalam setiap turnamen, dia mengajukan izin pindah
ke Bandung. Dan sekalipun dilarang Sulu nekat. Karena
kelakuannya itu, dia diskors 7 bulan.
Tapi Persib juga punya pemain tua, yaitu Encas Tonif. Pemain
berumur 32 tahun itu ditarik ke luar pada pertengahan babak
kedua. Karena itu, pemain yang pernah memperkuat PSSI ke
beberapa turnamen di luar negeri itu merasa jengkel
sampai-sampai air minum yang diberikan asisten pelatihnya
dilemparkan kembali ke muka asisten itu. Encas mengakui
permainannya keras. "Karena saya ingin membangkitkan mental
teman-teman pemain muda," katanya. Pemain bertubuh tinggi itu
melihat kawan-kawannya sudah grogi karena selalu "dimakan"
pemain Medan. Malah, katanya, Dede Iskandar yang "diambil"
Suherman, pemain PSMS, mengeluh dan minta tolong."Bagaimana ini,
Abah," ujar Encas menirukan teriakan Dede.
Ayah dua orang anak yang dipanggil Abah oleh rekan-rekannya itu
berniat gantung sepatu. "Tapi saya dibuang justru pada saat
Persib hampir jadi juara. Ini merupakan catatan akhir di karier
saya," kata Encas memelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini