JANGAN kaget. Uang hasil sewa rumah, bonus, dividen, bunga
deposito, dan tabanas akan kena pajak. Yang diincar pemajakan
rancangan Undang-undang Pajak Penhasilan (RUU PPh 1984) adalah
setiap manfaat ekonomi yang diperoleh seseorang dari suatu
usaha. Pemajakan, demikian Menteri Keuangan Radius Prawiro pekan
lalu, tidak lagi dilakukan terhadap "hasil terus-menerus yang
diperoleh seseorang dari sebuah sumber."
Perubahan pandangan dalam sistem perpajakan itu, yang
memungkinkan obyek kena pajak semakin luas, memang ditujukan
untuk meningkatkan penerimaan pajak nonminyak. Maklum, di saat
harga minyak kini masih oleng, kata Menteri Radius, "kita tidak
bisa lagi berharap terlampau besar bahwa hasil sektor minyak
akan meningkat." Jika pada tahun anggaran 1981/82 rol pajak
minyak masih 70,6%, pada tahun anggaran ini ancar-ancar
pemasukannya hanya 64,2% atau Rp 8,8 trilyun dari seluruh
penerimaan dalam negeri.
Mengecilnya pemasukan pajak minyak ini jelas merisaukan karena,
hampir selama 10 tahun terakhir, lebih dari separuh penerimaan
dalam negeri tergantung dari sektor itu. Karena itu, dalam
upaya menaikkan pendapatan pajak nonminyak, pemerintah kini
berusaha merombak sama sekali sistem perpajakan yang ada. Tiga
naskah RUU -tentang Pajak Penghasilan 1984, Ketentuan Umum
Perpajakan, dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah(PPN)-telah diajukan pemerintah
dan kini sedang dibahas DPR. Berapa kenaikan pendapatan pajak
nonminyak kelak akan diperoleh, Menteri Radius belum bisa
menaksir. "Kami masih menghitungnya," katanya pada TEMPO pekan
lalu.
Yang sudah pasti, menurut Menteri Radius, tiga naskah rancangan
itu kelak akan lebih memberikan kepastian hukum dan rasa
keadilan, baik bagi wajib pajak maupun pemungut pajak. Bagaimana
bentuknya, dia mengambil contoh dalam penyederhanaan lapisan
kena pajak dan penggolongan tarif. RUU Pajak Penghasilan (RUU
PPh 1984), misalnya, hanya mengenal tiga tarif: 15% untuk
penghasilan sampai dengan Rp 10 juta, 25% untuk penghasilan di
atas Rp 10 juta sampai Rp 50 juta, dan 35% untuk penghasilan di
atas Rp 50 juta.
Tapi dalam pemandangan umum di DPR pekan lalu, Fraksi Karya
Pembangunan tampak keberatan jika rasa keadilan itu diwujudkan
dalam bentuk penurunan tarif. Maklum, jika kini penghasilan di
atas Rp 50 juta kena tarif pajak 45%, maka dalam rancangan itu
kelak hanya kena 35%. Dengan kata lain, tarif baru RUU PPh 1984
itu kelak cuma menguntungkan perusahaan besar, tapi merugikan
perusahaan menengah. Dan yang paling terpukul adalah kelompok
perusahaan yang penhasilannya antara Rp 75 dan Rp 100 juta.
(lihat tabel). Fraksi ini juga menganggap lompatan tarif
yang demikian besar itu akan bersifat melemahkan produktivitas
pengusaha bermodal kecii.
Karena itulah, Fraksi Karya kemudian mengusulkan penggolongan
tarif baru. Yaitu tarif 10% untuk penghasilan sampai Rp 10 juta,
15% di atas Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, 20% di atas Rp 30 juta
sampai Rp 60 juta, 25% di atas Rp 60 juta sampai Rp 1OO juta,
dan 35% di atas Rp 100 juta. Jawaban untuk menanggapi usul itu
memang sudah disediakan pemerintah. Menurut Menteri Radius,
penurunan tarif itu merupakan suatu usaha kompensasi yang
diberikan pemerintah untuk penghapusan masa bebas pajak bagi PMA
dan PMDN.
Atau, dengan kata lain, demikian Direktur Jenderal Pajak Salamun
A.T., penurunan tarif pajak maksimum itu bisa dianggap suatu
fasilitas yang lebih baik jika dibandingkan masa bebas pajak
bagi PMA dan PMDN. Maklum, katanya, tarif maksimum 45% seperti
diberlakukan sekarang justru sering merangsang wajib pajak
melakukan penyelundupan pajak. "Nah, supaya
perusahaan-perusahaan besar mau membayar pajak secara sukarela,
maka tarif laba kena pajak maksimum hanya 35%," kata Salamun.
Dengan tarif pajak maksimum setinggi itu, "pengusaha juga
dirangsang melakukan investasi-investasi baru."
Dengan penurunan tarif dan suasana baru di bidang perpajakan,
pemerintah tampaknya punya keinginan untuk menggerakkan kelesuan
ekonomi. Pemerintah juga menjamin bahwa pengenaan pajak atas
bunga deposito, tabanas, dan dividen saham tidak akan mengganggu
pengerahan dana masyarakat. "Karena tingkat bunga deposito di
luar negeri masih lebih rendah dibandingkan di sini," kata
Menteri Radius, "saya tidak khawatir pengenaan pajak itu akan
menyebabkan larinya modal ke luar negeri."
Ada benarnya. Tingkat bunga deposito untuk simpanan dolar di
Singapura kini hanya 8%-9% setahun. Jika dihitung dengan beban
pajak dan biaya administrasi, maka perolehan bunga bersih tidak
akan sampai 7%. Tapi di sini, jika simpanan itu dilakukan dalam
bentuk rupiah, kini bebas pajak. Sedang dengan dolar, yang
bunganya 6% sampai 8% setahun, kena pajak 20%. Tapi bukan
perbedaan tingkat bunga itu yang membuat I Nyoman Moena waswas.
Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta (Perbanas) itu cukup
risau jika kelak bank benar-benar akan ditunjuk sebagai wajib
pungut (wapu) pajak atas bunga deposito dan tabanas.
Seperti diketahui, RUU PPh 1984 itu memungkinkan bank devisa,
seperti juga Kantor Bendahara Negara dan bendaharawan proyek,
bisa ditunjuk sebagai wapu atas obyek kena pajak penghasilan.
Sebagai wapu bank devisa kelak tentu diwajibkan pula membuat
faktur pajak yang memuat identitas dan alamat lengkap pembayar
pajak. Pembuatan faktur semacam itu jelas memungkinkan aparat
pajak kelak, jika dianggap perlu, mengusut asal-usul dana
pemilik deposito. "Berat memang kalau alamat dan identitas
deposan disebut, karena hal itu menyangkut rahasia bank," ujar
Moena.
Bukan tidak mungkin pemilik dana, yang biasanya sensitif
menghadapi tanda-tanda perubahan beleid moneter dan fiskal, akan
menubruk emas, tanah, dan valuta asing. Bukan tak mungkin pula,
demi menghindari pemalakan dan usaha pengusutan asal-usul dana
oleh pemungut pajak, kata Abdul Gani, direktur utama Bank Duta
Ekonomi, mereka memindahkan dananya ke luar negeri. Jika soalnya
yang dirisaukan nasabah cuma pemajakan atas bunga deposito -15%
untuk penghasilan bunga sampai Rp 10 juta- bank bisa melakukan
antisipasi dengan menaikkan bunga deposito. "Dengan demikian,
pemilik dana tetap merasa aman," katanya.
Tentu bukan cuma kompensasi kenaikan bunga yang diinginkan
pemilik dana. Tapi lebih besar dari itu: sampai seberapa jauh
pihak lembaga keuangan mampu memberi perlindungan kepada
kepentingan pemilik dana untuk menghadapi beleid fiskal itu.
Masihkah pihak bank mau memegang teguh rahasia pemilik dana dan
nasabahnya? Menurut Abdul Gani, soal rahasia bank sesungguhnya
bukanlah merupakan ketentuan internasional. "Tapi lebih
merupakan salah satu filosofi perbankan untuk menarik minat
masyarakat agar bersedia menyimpan uangnya di bank."
Apa yang disebut rahasia bank, demikian Abdul Gani, sesungguhnya
tidaklah jelas batasannya. Pergeseran penafsiran bahkan sudah
terjadi disejumlah negara maju, yang demi kepentingan
kebijaksanaan fiskal, pihak lembaga keuangan mau membuka diri.
Jadi, bisa dikatakan secara garis besar, demikian Abdul Gani,
sesuatu menjadi rahasia bank jika pengungkapan pada umum tidak
dilakukan.
Menteri Keuangan Radius Prawiro sendiri kelihatan berhati-hati
dalam menangani soal ini. Pemerintah, katanya, "tetap akan
menghormati rahasia bank." Sejauh mana sikap menahan diri itu
akan dilakukan, dia tidak memperincinya.
Tapi disukai atau tidak, RUU PPh 1984 itu akan menyebabkan
banyak induk perusahaan (holding company) di luar negeri
berhitung lebih matang untuk melanjutkan usahanya di sini
(permanent establishment). Maklum, rancangan itu bakal
menggolongkan bentuk usaha tetap, seperti kantor cabang, kantor
perwakilan, proyek konstruksi, pabrik, bengkel, dan tenaga ahli
yang melakukan kegiatan usaha, penjualan barang, atau jasa di
sini, sebagai subyek pajak dalam negeri. Sedangkan pajak yang
kelak dikenakan atas bentuk usaha tetap itu harus dihitung
berdasarkan jumlah penghasilan dari mana pun diterima (world
wide income).
Jadi, jika pada tahun lalu J.P. Morgan & Co. Inc., induk
perusahaan Morgan Guaranty Trust Bank, memperoleh laba bersih
US$ 173,2 juta, maka pajak yang harus dibayar perwakilannya di
sini akan berdasarkan perolehan itu. Kata sebuah sumber,
pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap itu dilakukan pemerintah
untuk mencegah pemindahan keuntungan ke luar negeri, yang dibuat
cabang atau perwakilan induk perusahaan mereka di sini. Sudah
jadi rahasia umum, memang, banyak perusahaan transnasional
memanfaatkan lubang Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 yang tak
mengatur pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap itu. Tapi, jika
pemerintah kurang awas, kata sumber itu, kerugian yang terjadi
di luar Indonesia bisa saja ditransfer ke sini.
Untuk mencegahnya, menurut Menteri Radius, pemerintah akan
mempekerjakan sejumlah ahli guna mengawasi praktek-praktek
perusahaan transnasional itu. Besar kemungkinan, jika ketentuan
mengenai bentuk usaha tetap itu diterapkan secara lugas akan
"banyak perwakilan perusahaan asing di sini tutup," ujar Willem
A. van den Wall Bake, kepala perwakilan Morgan Guaranty Trust
Bank di Jakarta. Dia sendiri kelihatan keberatan kalau lembaga
keuangan yang diwakllinya di sini dimasukkan sebagai bentuk
usaha tetap yang melakukan kegiatan bisnis.
Sekalipun jabatan resmi van den Wall Bake adalah kepala
perwakilan, dia mengaku tak melakukan kegiatan bisnis di sini.
Bahkan menandatangani kontrak perjanjian pemberian kredit pun,
katanya, tak dilakukannya. Bagaimana tanda-tanda dan kriteria
sebuah perwakilan bisa dimasukkan sebagai bentuk usaha tetap,
dia belum paham benar.
Menurut orang konsultan di Jakarta yang banyak punya klien orang
asing, pengenaan pajak secara global itu tidak secara otomatis
akan berlaku menyeluruh bagi semua perusahaan asing.
"Kedengarannya akan dikenakan secara kasus demi kasus," katanya.
Kalau benar demikian, konsultan itu khawatir, "masih belum
tertutup benar kemungkinan adanya lubang permainan (loopholes)."
Kemungkinan adanya "lubang" yang belum disemen rapat bisa saja
terjadi. Tapi beberapa kalangan yang mempelajari RUU Perpajakan
itu memuji ketangkasan pemerintah mencari sumber-sumber
penghasilan baru yang bisa dipajaki. Kalangan ini juga
menganggap bahwa usaha pemerintah menaikkan batas penghasilan
tidak kena pajak punya akibat cukup baik. Jika selama ini batas
itu hanya Rp 1.350.000 -untuk sebuah keluarga dengan tiga anak,
yang suami-istri bekerja- maka RUU PPh 1984 itu akan menaikkan
pendapatan tidak kena pajak jadi Rp 3.840.000. Selain batas kena
pajak maksimum dinaikkan, pemerintah juga meringankan tarifnya
(lihat tabel). Dengan cara itulah, menurut RUU tadi, "seorang
istri didorong untuk bekerja lebih produktif."
Apakah benar upaya itu kelak akan bisa menambah jumlah wajib
pajak pendapatan orang pribadi, tidak jelas benar. Yang sudah
pasti, jumlah wajib pajak pendapatan ini naik turun secara
mengherankan. Tahun 1966 lalu jumlahnya 219 ribu, tapi tahun
1977 turun jadi 195 ribu, dan tahun ini pemhayar pajak
pendapatan dan buruh itu naik jadi hampir 400 ribu orang.
Menurut taksiran seorang ahli, jumlah wajib pajak usahawan dan
buruh itu seharusnya kini paling sedikit tiga juta orang.
Karena mungkin wajib pajaknya leblh mudah dicari, jumlah
perusahaan swasta dan negara pembayar Pajak Perseroan (PPs)
justru cenderung naik: 30 ribu (1966), 32,4 ribu (1977), dan 309
ribu pada tahun ini. Apakah penurunan tarif dan sistem
perpajakan versi RUU PPh 1984 akan mampu menjaring para wajib
pajak baru, tentu masih harus ditunggu. Namun, calon potensial
wajib pajak sudah kelihatan. Koperasi, misalnya, yang kini
sudah giat buka restoran dan mendistribusikan pelbagai macam
produk Unilever, bakal diperlakukan sama dengan kongsi ataupun
perseroan di depan RUU PPh 1984 itu.
Jika sebelumnya tarif kena pajak maksimum bagi koperasi hanya
10% untuk penghasilan di atas Rp 25 juta, maka kini tarif
maksimum itu akan jadi 35% untuk penghasilan di atas Rp 50 juta.
Kendati tarif yang kini berlaku cukup ringan, jumlah pajak yang
dibayar Gabungan Koperasi Pegawai Negeri (GKPN) Jawa Barat di
Bandung, misalnya, kelihatan kecil dibandingkan omset bisnisnya.
Koperasi ini tahun lalu mencapai omset penjualan Rp 4,1 milyar.
Sedangkan pajak yang disetornya Rp 22 juta dan Rp 24,8 juta,
masing-masing untuk tahun buku 1980 dan 1981.
Omset besar itu bisa dicapai GKPN Jawa Barat karena kegiatan
bisnisnya tidak hanya terbatas untuk kalangan anggotanya yang
berjumlah 75 ribu orang. Jenis koperasi semacam inilah yang,
menurut Dirjen Pajak Salamun, bakal dikenai tarif pajak baru RUU
PPh 1984. Tapi jika koperasi itu hanya melakukan kegiatan usaha
untuk kalangan anggotanya, bukan menjual jasa untuk orang luar,
"tidak akan kena pajak itu," katanya.
Perubahan beleid di bidang fiskal itu bagi Menteri Koperasi
Bustanil Arifin bukanlah merupakan hal yang patut dirisaukan.
Dia malah beranggapan, kebijaksanaan itu menunjukkan bahwa
"koperasi sudah dapat pengakuan setingkat dengan usaha swasta."
Ditanya apakah RUU PPh itu kelak akan rnenghambat gerakan
koperasi yang kini sedang tumbuh, Menteri Bustanil pekan lalu
menjawab, "Koperasi yang labanya kecil 'kan pajaknya juga akan
kecil."
Jasa baik Menteri Koperasi Bustaml tentu akan dimintanya untuk
menangani pemajakan itu. Usul dan saran dari Kadin akan diminta
Radius pula untuk mengetahui seberapa besar pengaruh RUU Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (RUU PPN) bisa mendorong kegiatan perdagangan dan
ekspor. Kata seorang manajer keuangan PT Unilever Indonesia,
Surabaya, RUU PPN yang hanya mcngenakan tarif 10% untuk barang
primer dan hanya dipungut atas pihak pabrikan itu, "akan
mengurangi banyak pajak penjualan."
Dan jika administrasi aparat pajak yan kelak menangani PPN itu
bisa berjalan baik" manajer keuangan tadi berkeyakinan bahwa hal
itu akan "memungkinkan perusahaan, kalau mau, menurunkan, atau
tak perlu menaikkan harga jual barangnya." Kalau benar kelak
pabrikan seperti Unilever yang menghasilkan pelbagai kebutuhan
primer mengambil sikap seperti itu, bukan tak mungkin kegiatan
perdagangan bakal bergerak.
Yang masih jadi tanda tanya apakah aparat pajak akan mampu
melaksanakan mekanisme pemungutan PPN itu secara baik? Maklum,
pajak yang hanya dikenakan atas pengusaha yang menghasilkan,
mengolah, merakit, atau memproses bahan mentah menjadi produk
yang siap dijual itu cukup rumit aturan mainnya.
Mekanisme pemungutan PPN itu akan jadi rumit jika untuk
menghasilkan barang itu perlu tiga sampai empat pabrik yang
memprosesnya. Penjualan barang setengah jadi dari pabrik A, ke
B, lalu ke C, serta akhirnya sampai ke tangan pengusaha besar
jelas memerlukan banyak faktur pajak penjualan. Secara efektif,
jumlah pajak yang dibayar setiap pabrik itu adalah: tarif pajak
dikalikan dengan selisih pertambahan nilai barang.
Sedangkan dalam sistem lama, yang menyebabkan harga jual semakin
mahal karena efek pajak berganda, jumlah pajak yang harus
dibayar sama dengan tarif dikalikan harga jual barang ke pabrik
bersangkutan.
Jika penanganan pungutan PPN yang minimal membutuhkan faktur
empat rangkap itu dilaksanakan secara manual, tampaknya itu akan
memberatkan aparat pajak. Karena itulah, kata Dirjen Pajak
Salamun, pemungutan PPN itu kelak akan dibantu oleh komputer.
Mengingat sistem perpajakan itu merupakan hal baru, bukan tak
mungkin "kesalahan administrasi nanti masih akan banyak
terjadi," ujarnya. Korea Selatan saja, sejak melakukan persiapan
dan melaksanakan sistem perpajakan semacam itu, demikian
Salamun, masih membuat kesalahan selama dua tahun. Pendeknya,
"jangan terlalu berharap pada tahun dimulainya sistem perpajakan
ini akan segera sempurna," katanya.
Betapa pun, menurut Lukman Hakim, wakil direktur utama Grup
National Gobel, RUU PPN dan PPh 1984 kelak akan merangsang
industri besar "menyerahkan pembuatan komPonen produk yang
dihasilkannya pada irdustri kecil." Sudah menjadi kebiasaan
industri besar selama ini, demi menghindari terjadinya pungutan
pajak berganda yang menyebabkan ongkos produksi naik, pembuatan
pelbagai komponen dilakukannya sendiri.
Selain dianggap bisa menaikkan tingkat efisiensi dan
produktivitas, cara yang biasanya ditempuh industri elektronik
dan otomotif itu dianggap pula bisa memperpendek rantai
produksi. Tapi kelak, jika tarif rendah dan sistem perpajakan
RUU PPN benar dilaksanakan, bukan tak mungkin konglom rasi
semacam itu bisa dianggap tidak efisien lagi. Tarif pajak yang
akan dikenakan kepada setiap produk dalam industri yang
terinterirasi (integrated) itu akan "melindungi yang kecil-kecil
dalam bersaing," ujar Menteri Keuangan Radius Prawiro.
Siswono Judo Husodo, direktur utama Bangun Tjipta Sarana, tak
merasa gembira dengan RUU PPh 1984 dan PPN itu. Menurut dia,
karena sistem PPN itu nanti cuku rumit, bisa saja dalam
pelaksanaan di lapangan beban pajak sepenuhnya bakal dipikul
pada pemroses terakhir. Sebagai kontraktor bangunan sipil, bukan
tak mungkin Bangun Tjipta memikul beban pajak leveransir
material dan pembuat ubin sekaligus. "Terus terang, perlu
dipertanyakan: Apakah masyarakat sudah siap melaksanakan
ketentuan baru itu?" ujar Siswono pekan ini.
Pertanyaan semacam itu juga dilontarkan Prof. Rochmat Soemitro,
guru besar hukum pajak Universitas Padjadjaran, Bandung. Dia
tampak meragukan usaha pemerintah memberi kesempatan wajib pajak
untuk menghitung sendiri pajaknya bisa dilakukan dengan baik.
Soalnya, ketika cara seperti itu dilakukan dalam pemungutan MPS
(Menghitung Pajak Sendiri), hampir 17 tahun lalu, penerimaan
pemerintah dari sektor itu justru berkurang sekitar 50%,"
katanya. Karena itulah, pemerintah kemudian berusaha
memperbaikinya dengan menentukan tarif yang harus dibayar wajib
pajak.
Bertolak dari pengalaman itu, Rochmat Soemitro - yang pernah
menyusun RUU Pajak atas pesanan Badan Pembinaan Hukum Nasional
tiga tahun lalu- mengimbau agar prinsip yang dianggap terlalu
maju itu ditinjau kembali.
Prof. Rochmat, yang banyak karyanya di bidang perpajakan, memang
bukan orang orang sembarang. Pendapatnya itu tentu tak bisa
begitu saja dianggap main-main. RUU itu sendiri sesungguhnya
merupakan suatu paket perpajakan yang jauh lebih lengkap. "Suatu
perombakan secara total dari sistem perpajakan yang berlaku
selama ini," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro.
Perombakan, apalagi secara total, bias.lnya butuh masa
penyesuaian yang lama, mungkin satu Pelita. Tapi, paling tidak,
Indonesia sebentar lagi akan memiliki UU Perpajakan. Bismillah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini