Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

1984: tahun pajak buat semua 1984, tahun pajak buat semua

3 ruu mengenai perpajakan sedang dibahas di dpr. dalam ruu ini memungkinkan obyek yang kena pajak semakin luas. perubahan ini untuk meningkatkan penerimaan pajak non minyak. (eb)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN kaget. Uang hasil sewa rumah, bonus, dividen, bunga deposito, dan tabanas akan kena pajak. Yang diincar pemajakan rancangan Undang-undang Pajak Penhasilan (RUU PPh 1984) adalah setiap manfaat ekonomi yang diperoleh seseorang dari suatu usaha. Pemajakan, demikian Menteri Keuangan Radius Prawiro pekan lalu, tidak lagi dilakukan terhadap "hasil terus-menerus yang diperoleh seseorang dari sebuah sumber." Perubahan pandangan dalam sistem perpajakan itu, yang memungkinkan obyek kena pajak semakin luas, memang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pajak nonminyak. Maklum, di saat harga minyak kini masih oleng, kata Menteri Radius, "kita tidak bisa lagi berharap terlampau besar bahwa hasil sektor minyak akan meningkat." Jika pada tahun anggaran 1981/82 rol pajak minyak masih 70,6%, pada tahun anggaran ini ancar-ancar pemasukannya hanya 64,2% atau Rp 8,8 trilyun dari seluruh penerimaan dalam negeri. Mengecilnya pemasukan pajak minyak ini jelas merisaukan karena, hampir selama 10 tahun terakhir, lebih dari separuh penerimaan dalam negeri tergantung dari sektor itu. Karena itu, dalam upaya menaikkan pendapatan pajak nonminyak, pemerintah kini berusaha merombak sama sekali sistem perpajakan yang ada. Tiga naskah RUU -tentang Pajak Penghasilan 1984, Ketentuan Umum Perpajakan, dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah(PPN)-telah diajukan pemerintah dan kini sedang dibahas DPR. Berapa kenaikan pendapatan pajak nonminyak kelak akan diperoleh, Menteri Radius belum bisa menaksir. "Kami masih menghitungnya," katanya pada TEMPO pekan lalu. Yang sudah pasti, menurut Menteri Radius, tiga naskah rancangan itu kelak akan lebih memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan, baik bagi wajib pajak maupun pemungut pajak. Bagaimana bentuknya, dia mengambil contoh dalam penyederhanaan lapisan kena pajak dan penggolongan tarif. RUU Pajak Penghasilan (RUU PPh 1984), misalnya, hanya mengenal tiga tarif: 15% untuk penghasilan sampai dengan Rp 10 juta, 25% untuk penghasilan di atas Rp 10 juta sampai Rp 50 juta, dan 35% untuk penghasilan di atas Rp 50 juta. Tapi dalam pemandangan umum di DPR pekan lalu, Fraksi Karya Pembangunan tampak keberatan jika rasa keadilan itu diwujudkan dalam bentuk penurunan tarif. Maklum, jika kini penghasilan di atas Rp 50 juta kena tarif pajak 45%, maka dalam rancangan itu kelak hanya kena 35%. Dengan kata lain, tarif baru RUU PPh 1984 itu kelak cuma menguntungkan perusahaan besar, tapi merugikan perusahaan menengah. Dan yang paling terpukul adalah kelompok perusahaan yang penhasilannya antara Rp 75 dan Rp 100 juta. (lihat tabel). Fraksi ini juga menganggap lompatan tarif yang demikian besar itu akan bersifat melemahkan produktivitas pengusaha bermodal kecii. Karena itulah, Fraksi Karya kemudian mengusulkan penggolongan tarif baru. Yaitu tarif 10% untuk penghasilan sampai Rp 10 juta, 15% di atas Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, 20% di atas Rp 30 juta sampai Rp 60 juta, 25% di atas Rp 60 juta sampai Rp 1OO juta, dan 35% di atas Rp 100 juta. Jawaban untuk menanggapi usul itu memang sudah disediakan pemerintah. Menurut Menteri Radius, penurunan tarif itu merupakan suatu usaha kompensasi yang diberikan pemerintah untuk penghapusan masa bebas pajak bagi PMA dan PMDN. Atau, dengan kata lain, demikian Direktur Jenderal Pajak Salamun A.T., penurunan tarif pajak maksimum itu bisa dianggap suatu fasilitas yang lebih baik jika dibandingkan masa bebas pajak bagi PMA dan PMDN. Maklum, katanya, tarif maksimum 45% seperti diberlakukan sekarang justru sering merangsang wajib pajak melakukan penyelundupan pajak. "Nah, supaya perusahaan-perusahaan besar mau membayar pajak secara sukarela, maka tarif laba kena pajak maksimum hanya 35%," kata Salamun. Dengan tarif pajak maksimum setinggi itu, "pengusaha juga dirangsang melakukan investasi-investasi baru." Dengan penurunan tarif dan suasana baru di bidang perpajakan, pemerintah tampaknya punya keinginan untuk menggerakkan kelesuan ekonomi. Pemerintah juga menjamin bahwa pengenaan pajak atas bunga deposito, tabanas, dan dividen saham tidak akan mengganggu pengerahan dana masyarakat. "Karena tingkat bunga deposito di luar negeri masih lebih rendah dibandingkan di sini," kata Menteri Radius, "saya tidak khawatir pengenaan pajak itu akan menyebabkan larinya modal ke luar negeri." Ada benarnya. Tingkat bunga deposito untuk simpanan dolar di Singapura kini hanya 8%-9% setahun. Jika dihitung dengan beban pajak dan biaya administrasi, maka perolehan bunga bersih tidak akan sampai 7%. Tapi di sini, jika simpanan itu dilakukan dalam bentuk rupiah, kini bebas pajak. Sedang dengan dolar, yang bunganya 6% sampai 8% setahun, kena pajak 20%. Tapi bukan perbedaan tingkat bunga itu yang membuat I Nyoman Moena waswas. Ketua Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta (Perbanas) itu cukup risau jika kelak bank benar-benar akan ditunjuk sebagai wajib pungut (wapu) pajak atas bunga deposito dan tabanas. Seperti diketahui, RUU PPh 1984 itu memungkinkan bank devisa, seperti juga Kantor Bendahara Negara dan bendaharawan proyek, bisa ditunjuk sebagai wapu atas obyek kena pajak penghasilan. Sebagai wapu bank devisa kelak tentu diwajibkan pula membuat faktur pajak yang memuat identitas dan alamat lengkap pembayar pajak. Pembuatan faktur semacam itu jelas memungkinkan aparat pajak kelak, jika dianggap perlu, mengusut asal-usul dana pemilik deposito. "Berat memang kalau alamat dan identitas deposan disebut, karena hal itu menyangkut rahasia bank," ujar Moena. Bukan tidak mungkin pemilik dana, yang biasanya sensitif menghadapi tanda-tanda perubahan beleid moneter dan fiskal, akan menubruk emas, tanah, dan valuta asing. Bukan tak mungkin pula, demi menghindari pemalakan dan usaha pengusutan asal-usul dana oleh pemungut pajak, kata Abdul Gani, direktur utama Bank Duta Ekonomi, mereka memindahkan dananya ke luar negeri. Jika soalnya yang dirisaukan nasabah cuma pemajakan atas bunga deposito -15% untuk penghasilan bunga sampai Rp 10 juta- bank bisa melakukan antisipasi dengan menaikkan bunga deposito. "Dengan demikian, pemilik dana tetap merasa aman," katanya. Tentu bukan cuma kompensasi kenaikan bunga yang diinginkan pemilik dana. Tapi lebih besar dari itu: sampai seberapa jauh pihak lembaga keuangan mampu memberi perlindungan kepada kepentingan pemilik dana untuk menghadapi beleid fiskal itu. Masihkah pihak bank mau memegang teguh rahasia pemilik dana dan nasabahnya? Menurut Abdul Gani, soal rahasia bank sesungguhnya bukanlah merupakan ketentuan internasional. "Tapi lebih merupakan salah satu filosofi perbankan untuk menarik minat masyarakat agar bersedia menyimpan uangnya di bank." Apa yang disebut rahasia bank, demikian Abdul Gani, sesungguhnya tidaklah jelas batasannya. Pergeseran penafsiran bahkan sudah terjadi disejumlah negara maju, yang demi kepentingan kebijaksanaan fiskal, pihak lembaga keuangan mau membuka diri. Jadi, bisa dikatakan secara garis besar, demikian Abdul Gani, sesuatu menjadi rahasia bank jika pengungkapan pada umum tidak dilakukan. Menteri Keuangan Radius Prawiro sendiri kelihatan berhati-hati dalam menangani soal ini. Pemerintah, katanya, "tetap akan menghormati rahasia bank." Sejauh mana sikap menahan diri itu akan dilakukan, dia tidak memperincinya. Tapi disukai atau tidak, RUU PPh 1984 itu akan menyebabkan banyak induk perusahaan (holding company) di luar negeri berhitung lebih matang untuk melanjutkan usahanya di sini (permanent establishment). Maklum, rancangan itu bakal menggolongkan bentuk usaha tetap, seperti kantor cabang, kantor perwakilan, proyek konstruksi, pabrik, bengkel, dan tenaga ahli yang melakukan kegiatan usaha, penjualan barang, atau jasa di sini, sebagai subyek pajak dalam negeri. Sedangkan pajak yang kelak dikenakan atas bentuk usaha tetap itu harus dihitung berdasarkan jumlah penghasilan dari mana pun diterima (world wide income). Jadi, jika pada tahun lalu J.P. Morgan & Co. Inc., induk perusahaan Morgan Guaranty Trust Bank, memperoleh laba bersih US$ 173,2 juta, maka pajak yang harus dibayar perwakilannya di sini akan berdasarkan perolehan itu. Kata sebuah sumber, pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap itu dilakukan pemerintah untuk mencegah pemindahan keuntungan ke luar negeri, yang dibuat cabang atau perwakilan induk perusahaan mereka di sini. Sudah jadi rahasia umum, memang, banyak perusahaan transnasional memanfaatkan lubang Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 yang tak mengatur pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap itu. Tapi, jika pemerintah kurang awas, kata sumber itu, kerugian yang terjadi di luar Indonesia bisa saja ditransfer ke sini. Untuk mencegahnya, menurut Menteri Radius, pemerintah akan mempekerjakan sejumlah ahli guna mengawasi praktek-praktek perusahaan transnasional itu. Besar kemungkinan, jika ketentuan mengenai bentuk usaha tetap itu diterapkan secara lugas akan "banyak perwakilan perusahaan asing di sini tutup," ujar Willem A. van den Wall Bake, kepala perwakilan Morgan Guaranty Trust Bank di Jakarta. Dia sendiri kelihatan keberatan kalau lembaga keuangan yang diwakllinya di sini dimasukkan sebagai bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan bisnis. Sekalipun jabatan resmi van den Wall Bake adalah kepala perwakilan, dia mengaku tak melakukan kegiatan bisnis di sini. Bahkan menandatangani kontrak perjanjian pemberian kredit pun, katanya, tak dilakukannya. Bagaimana tanda-tanda dan kriteria sebuah perwakilan bisa dimasukkan sebagai bentuk usaha tetap, dia belum paham benar. Menurut orang konsultan di Jakarta yang banyak punya klien orang asing, pengenaan pajak secara global itu tidak secara otomatis akan berlaku menyeluruh bagi semua perusahaan asing. "Kedengarannya akan dikenakan secara kasus demi kasus," katanya. Kalau benar demikian, konsultan itu khawatir, "masih belum tertutup benar kemungkinan adanya lubang permainan (loopholes)." Kemungkinan adanya "lubang" yang belum disemen rapat bisa saja terjadi. Tapi beberapa kalangan yang mempelajari RUU Perpajakan itu memuji ketangkasan pemerintah mencari sumber-sumber penghasilan baru yang bisa dipajaki. Kalangan ini juga menganggap bahwa usaha pemerintah menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak punya akibat cukup baik. Jika selama ini batas itu hanya Rp 1.350.000 -untuk sebuah keluarga dengan tiga anak, yang suami-istri bekerja- maka RUU PPh 1984 itu akan menaikkan pendapatan tidak kena pajak jadi Rp 3.840.000. Selain batas kena pajak maksimum dinaikkan, pemerintah juga meringankan tarifnya (lihat tabel). Dengan cara itulah, menurut RUU tadi, "seorang istri didorong untuk bekerja lebih produktif." Apakah benar upaya itu kelak akan bisa menambah jumlah wajib pajak pendapatan orang pribadi, tidak jelas benar. Yang sudah pasti, jumlah wajib pajak pendapatan ini naik turun secara mengherankan. Tahun 1966 lalu jumlahnya 219 ribu, tapi tahun 1977 turun jadi 195 ribu, dan tahun ini pemhayar pajak pendapatan dan buruh itu naik jadi hampir 400 ribu orang. Menurut taksiran seorang ahli, jumlah wajib pajak usahawan dan buruh itu seharusnya kini paling sedikit tiga juta orang. Karena mungkin wajib pajaknya leblh mudah dicari, jumlah perusahaan swasta dan negara pembayar Pajak Perseroan (PPs) justru cenderung naik: 30 ribu (1966), 32,4 ribu (1977), dan 309 ribu pada tahun ini. Apakah penurunan tarif dan sistem perpajakan versi RUU PPh 1984 akan mampu menjaring para wajib pajak baru, tentu masih harus ditunggu. Namun, calon potensial wajib pajak sudah kelihatan. Koperasi, misalnya, yang kini sudah giat buka restoran dan mendistribusikan pelbagai macam produk Unilever, bakal diperlakukan sama dengan kongsi ataupun perseroan di depan RUU PPh 1984 itu. Jika sebelumnya tarif kena pajak maksimum bagi koperasi hanya 10% untuk penghasilan di atas Rp 25 juta, maka kini tarif maksimum itu akan jadi 35% untuk penghasilan di atas Rp 50 juta. Kendati tarif yang kini berlaku cukup ringan, jumlah pajak yang dibayar Gabungan Koperasi Pegawai Negeri (GKPN) Jawa Barat di Bandung, misalnya, kelihatan kecil dibandingkan omset bisnisnya. Koperasi ini tahun lalu mencapai omset penjualan Rp 4,1 milyar. Sedangkan pajak yang disetornya Rp 22 juta dan Rp 24,8 juta, masing-masing untuk tahun buku 1980 dan 1981. Omset besar itu bisa dicapai GKPN Jawa Barat karena kegiatan bisnisnya tidak hanya terbatas untuk kalangan anggotanya yang berjumlah 75 ribu orang. Jenis koperasi semacam inilah yang, menurut Dirjen Pajak Salamun, bakal dikenai tarif pajak baru RUU PPh 1984. Tapi jika koperasi itu hanya melakukan kegiatan usaha untuk kalangan anggotanya, bukan menjual jasa untuk orang luar, "tidak akan kena pajak itu," katanya. Perubahan beleid di bidang fiskal itu bagi Menteri Koperasi Bustanil Arifin bukanlah merupakan hal yang patut dirisaukan. Dia malah beranggapan, kebijaksanaan itu menunjukkan bahwa "koperasi sudah dapat pengakuan setingkat dengan usaha swasta." Ditanya apakah RUU PPh itu kelak akan rnenghambat gerakan koperasi yang kini sedang tumbuh, Menteri Bustanil pekan lalu menjawab, "Koperasi yang labanya kecil 'kan pajaknya juga akan kecil." Jasa baik Menteri Koperasi Bustaml tentu akan dimintanya untuk menangani pemajakan itu. Usul dan saran dari Kadin akan diminta Radius pula untuk mengetahui seberapa besar pengaruh RUU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (RUU PPN) bisa mendorong kegiatan perdagangan dan ekspor. Kata seorang manajer keuangan PT Unilever Indonesia, Surabaya, RUU PPN yang hanya mcngenakan tarif 10% untuk barang primer dan hanya dipungut atas pihak pabrikan itu, "akan mengurangi banyak pajak penjualan." Dan jika administrasi aparat pajak yan kelak menangani PPN itu bisa berjalan baik" manajer keuangan tadi berkeyakinan bahwa hal itu akan "memungkinkan perusahaan, kalau mau, menurunkan, atau tak perlu menaikkan harga jual barangnya." Kalau benar kelak pabrikan seperti Unilever yang menghasilkan pelbagai kebutuhan primer mengambil sikap seperti itu, bukan tak mungkin kegiatan perdagangan bakal bergerak. Yang masih jadi tanda tanya apakah aparat pajak akan mampu melaksanakan mekanisme pemungutan PPN itu secara baik? Maklum, pajak yang hanya dikenakan atas pengusaha yang menghasilkan, mengolah, merakit, atau memproses bahan mentah menjadi produk yang siap dijual itu cukup rumit aturan mainnya. Mekanisme pemungutan PPN itu akan jadi rumit jika untuk menghasilkan barang itu perlu tiga sampai empat pabrik yang memprosesnya. Penjualan barang setengah jadi dari pabrik A, ke B, lalu ke C, serta akhirnya sampai ke tangan pengusaha besar jelas memerlukan banyak faktur pajak penjualan. Secara efektif, jumlah pajak yang dibayar setiap pabrik itu adalah: tarif pajak dikalikan dengan selisih pertambahan nilai barang. Sedangkan dalam sistem lama, yang menyebabkan harga jual semakin mahal karena efek pajak berganda, jumlah pajak yang harus dibayar sama dengan tarif dikalikan harga jual barang ke pabrik bersangkutan. Jika penanganan pungutan PPN yang minimal membutuhkan faktur empat rangkap itu dilaksanakan secara manual, tampaknya itu akan memberatkan aparat pajak. Karena itulah, kata Dirjen Pajak Salamun, pemungutan PPN itu kelak akan dibantu oleh komputer. Mengingat sistem perpajakan itu merupakan hal baru, bukan tak mungkin "kesalahan administrasi nanti masih akan banyak terjadi," ujarnya. Korea Selatan saja, sejak melakukan persiapan dan melaksanakan sistem perpajakan semacam itu, demikian Salamun, masih membuat kesalahan selama dua tahun. Pendeknya, "jangan terlalu berharap pada tahun dimulainya sistem perpajakan ini akan segera sempurna," katanya. Betapa pun, menurut Lukman Hakim, wakil direktur utama Grup National Gobel, RUU PPN dan PPh 1984 kelak akan merangsang industri besar "menyerahkan pembuatan komPonen produk yang dihasilkannya pada irdustri kecil." Sudah menjadi kebiasaan industri besar selama ini, demi menghindari terjadinya pungutan pajak berganda yang menyebabkan ongkos produksi naik, pembuatan pelbagai komponen dilakukannya sendiri. Selain dianggap bisa menaikkan tingkat efisiensi dan produktivitas, cara yang biasanya ditempuh industri elektronik dan otomotif itu dianggap pula bisa memperpendek rantai produksi. Tapi kelak, jika tarif rendah dan sistem perpajakan RUU PPN benar dilaksanakan, bukan tak mungkin konglom rasi semacam itu bisa dianggap tidak efisien lagi. Tarif pajak yang akan dikenakan kepada setiap produk dalam industri yang terinterirasi (integrated) itu akan "melindungi yang kecil-kecil dalam bersaing," ujar Menteri Keuangan Radius Prawiro. Siswono Judo Husodo, direktur utama Bangun Tjipta Sarana, tak merasa gembira dengan RUU PPh 1984 dan PPN itu. Menurut dia, karena sistem PPN itu nanti cuku rumit, bisa saja dalam pelaksanaan di lapangan beban pajak sepenuhnya bakal dipikul pada pemroses terakhir. Sebagai kontraktor bangunan sipil, bukan tak mungkin Bangun Tjipta memikul beban pajak leveransir material dan pembuat ubin sekaligus. "Terus terang, perlu dipertanyakan: Apakah masyarakat sudah siap melaksanakan ketentuan baru itu?" ujar Siswono pekan ini. Pertanyaan semacam itu juga dilontarkan Prof. Rochmat Soemitro, guru besar hukum pajak Universitas Padjadjaran, Bandung. Dia tampak meragukan usaha pemerintah memberi kesempatan wajib pajak untuk menghitung sendiri pajaknya bisa dilakukan dengan baik. Soalnya, ketika cara seperti itu dilakukan dalam pemungutan MPS (Menghitung Pajak Sendiri), hampir 17 tahun lalu, penerimaan pemerintah dari sektor itu justru berkurang sekitar 50%," katanya. Karena itulah, pemerintah kemudian berusaha memperbaikinya dengan menentukan tarif yang harus dibayar wajib pajak. Bertolak dari pengalaman itu, Rochmat Soemitro - yang pernah menyusun RUU Pajak atas pesanan Badan Pembinaan Hukum Nasional tiga tahun lalu- mengimbau agar prinsip yang dianggap terlalu maju itu ditinjau kembali. Prof. Rochmat, yang banyak karyanya di bidang perpajakan, memang bukan orang orang sembarang. Pendapatnya itu tentu tak bisa begitu saja dianggap main-main. RUU itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu paket perpajakan yang jauh lebih lengkap. "Suatu perombakan secara total dari sistem perpajakan yang berlaku selama ini," kata Menteri Keuangan Radius Prawiro. Perombakan, apalagi secara total, bias.lnya butuh masa penyesuaian yang lama, mungkin satu Pelita. Tapi, paling tidak, Indonesia sebentar lagi akan memiliki UU Perpajakan. Bismillah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus