Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencegat di pintu belakang

Berbagai tanggapan beberapa perusahaan menghadapi ruu perpajakan 1984 yang bakal merepotkan. untuk merangsang usaha ekspor, ruu ppn meniadakan sama sekali pembedahan pajak ekspor. (eb)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANAJEMEN PT Sari Husada, Yogyakarta, merasa repot juga jika harus menghadapi RUU Pajak Penghasilan 1984. Maklum, dividen saham perusahaan pembuat susu-bayi kalengan itu kelak bakal kena pajak cukup tinggi: 15% untuk penghasilan sampai Rp 10 juta. Padahal, baru Juni lalu, Sari Husada, yang memasyarakat (go public), diberi janji mendapat keringanan pembayaran pajak perseroan dan pembebasan pajak atas dividen sahamnya. "Kalau semua fasilitas pajak itu dihapus, siap lagi yang mau go public?" tanya Adi Santoso, direktur komersial Sari Husada. Selain manajemen perusahaan itu, se]umlah pengurus koperasi pada hari-hari ini juga mendadak sibuk. Penyebabnya sama: RUU PPh 1984 itu akan menembak koperasi yang ternyata melakukan bisnis terbuka dengan tarif pajak sama dengan perusahaan swasta. Said Halim, ketua Gabungan Koperasi Pegawai Negeri, Jawa Barat, terus terang tidak setuju kalau setiap unit usaha konprasi dikenai pajak. Selama ini, katanya, koperasi selalu memenuhi kewajiban membayar pajaknya menuruti ketentuan UU Perkoperasian. Tapi jika kelak fasilitas pajak itu ditiadakan bukan tidak mungkin "koperasi-koperasi itu bangkrut," tutur Said. Benar tidaknya anggapan itu tentu masih harus diuji. Tapi sebuah bukti menunjukkan bahwa GKPN - yang ketika didirikan (1954) hanya punya anggota 6.400 dan modal awal Rp 8.500 - kini sudah punya 75 ribu anggota dengan kekayaan Rp 699 juta lebih, unit usahanya pun macam-macam: membuka toko optik, restoran, perhotelan, simpan pinjam, pompa bensin, sampai apotek. Luasnya macam usaha yang ditanganinya itu jelasmemungkinkan GKPN juga beroperasi untuk kepentingan umum, selain terutama untuk kalangan anggotanya. Apa boleh buat, koperasi yang selama ini sudah menikmati banyak fasilitas mau tak mau harus lebih banyak menyisihkan perolehannya untuk mengisi kas pemerintah. Pusat Koperasi Unit Desa Jawa Timur, yang tahun lalu mencapai omset Rp 115 milyar dan mengantungi laba bersih Rp 1 milyar sesudah dipotong pajak, tampaknya tak bisa mengelak dari ketentuan itu. "Kalau kami nanti dikenai tarif pajak yang sama dengan perusahaan swasta, bisa dihitung berapa jumlah pajak yang akan kami bayar," ujar Harnoo, manajer Puskud Jawa Timur. Bagi Koperasi Pusaka, yang selama ini bertindak sebagai agen pemasaran senapan angin bikinan penduduk Desa Cikeruh dan Cipacing di Sumedang, RUU PPh 1984 dan PPN itu tidak merisaukannya. Kendati setiap bulan koperasi bisa memasarkan rata-rata 240 pucuk senapan angin dari produksi 1.800 pucuk, belum pernah sekali pun koperasi ini membayar pajak. Begitu juga toko penjual senapan angin, yang jumlahnya tujuh buah di Sumedang. Selama 10 tahun berusaha, Maman Karli, pemilik salah satu toko di sana, mengaku belum pernah bayar pajak, sekalipun omset penjualannya sebelum operasi Sapujagat pernah mencapai 10 pucuk (Rp 200 ribu), dan kini rata-rata tiga pucuk (Rp 52.500) sehari. "Yang pernah saya bayar cuma iuran Ipeda dan biaya administrasi untuk kecamatan atau desa," ujar Maman. Maman, yang juga menghasilkan senapan angin model BSA dan Benyamin, agak keberatan jika produk itu digolongkan sebagai barang mewah, dan kena pajak penjualan 30%. Tak jelas apakah Menteri Radius bisa membuat pengecualian untuk itu mengingat, kata Maman, senapan yang dibeli penduduk sekitar Sumedang Garut, dan Bandung itu untuk mengusir hama unggas atau menembak tikus. Senapan angin digolongkan sebagai barang mewah karena RUU PPh 1984 menganggapnya bisa membahayakan lingkungan hidup. Tapi Maman tak keberatan jika barang-barang impor, seperti organ, kendaraan bermotor, dan kamera, digolongkan produk mewah. Karena produk ini banyak dipakai golongan menengah dan atas, maka pajak penjualan efektlf yang dikenakdnnya akan mencapai serendah- rendahnya 30%. Tapi, dalam soal pengenaan tarif pajak penghasilan nanti, justru pengusaha atas yang tampaknya akan banyak diuntungkan oleh RUU PPh 1984. Pabrik rokok Gudang Garam di Kediri Jawa Timur, yang selama ini kena tarif 45% untuk laba kena pajak, pasti senang jika hanya dikenai tarif maksimum 35%. Kata pihak Gudang Garam, keringanan tarif pajak penghasilan itu hanya akan berpengaruh pada pengembalian modal usaha, tidak pada harga pokok penjualan rokok. Karena itu, menurut Imam Soebagio dari bagian keuangan pabrik rokok tadi, kegiatan usaha akan lebih terangsang. Kendati demikian, pemerintah berniat mencegat pabrik rokok, seperti GG dan Bentoel, di pintu paling belakang: dengan mengenakan pajak penjualan 10% . Memang, selama ini rokok, yang sejak puluhan tahun dibebani pemasukan cukai, tak dikenai pajak penjualan. Tapi, sementara itu, cengkih - bahan penting pendamping tembakau dalam pembuatan kretek, yang kini kena pajak penjualan- akan dibebaskan dari pungutan pajak tadi. Tidak selamanya ketentuan fiskal, yang seharusnya berlaku secara nasional, akan berjalan baik di daerah. Sementara itu, dalam kaitan merangsang usaha ekspor, RUU PPN itu meniadakan sama sekali pembebanan pajak ekspor. Segala pajak yang pernah dikenakan atas bahan-bahan dalam proses pembuatan produk ekspor itu bahkan bisa diminta kembali, asal si eksportir bisa menunjukkan bukti-bukti pembayaran fiskal. Dengan demikian, ekspor pakaian jadi, misalnya, diharapkan akan bisa naik lagi. Tapi harapan itu bagi Eduardus A. Pravinata, direktur PT Busana Rama, yang tahun lalu bisa mengekspor 140 ribu lusin pakaian jadi (pria dan wanita) ke AS dan Eropa, tampaknya cukup jauh. Maklum, PMDN yang baru tahun depan bakal menikmati masa bebas pajak ini cukup grogi menghadap RUU PPh 1984 yang akan menghapus fasilitas pajak. Besar kemungkinan Busana Rama akan meninjau rencana peningkatan produksinya dari 180 ribu lusin kemeja pria menjadi 220 ribu lusin tahun ini. Pemberian bonus bagi 1.200 karyawannya mungkin juga akan ditinjau. Secara terus terang Pravinata menyebut, pencabutan fasilitas itu "akan menyebabkan usaha kami bersaing tambah berat." Tapi, dasar pengusaha, dia yakin "akan bisa menemukan jalan keluarnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus