MANAJEMEN PT Sari Husada, Yogyakarta, merasa repot juga jika
harus menghadapi RUU Pajak Penghasilan 1984. Maklum, dividen
saham perusahaan pembuat susu-bayi kalengan itu kelak bakal kena
pajak cukup tinggi: 15% untuk penghasilan sampai Rp 10 juta.
Padahal, baru Juni lalu, Sari Husada, yang memasyarakat (go
public), diberi janji mendapat keringanan pembayaran pajak
perseroan dan pembebasan pajak atas dividen sahamnya. "Kalau
semua fasilitas pajak itu dihapus, siap lagi yang mau go
public?" tanya Adi Santoso, direktur komersial Sari Husada.
Selain manajemen perusahaan itu, se]umlah pengurus koperasi pada
hari-hari ini juga mendadak sibuk. Penyebabnya sama: RUU PPh
1984 itu akan menembak koperasi yang ternyata melakukan bisnis
terbuka dengan tarif pajak sama dengan perusahaan swasta. Said
Halim, ketua Gabungan Koperasi Pegawai Negeri, Jawa Barat,
terus terang tidak setuju kalau setiap unit usaha konprasi
dikenai pajak. Selama ini, katanya, koperasi selalu memenuhi
kewajiban membayar pajaknya menuruti ketentuan UU Perkoperasian.
Tapi jika kelak fasilitas pajak itu ditiadakan bukan tidak
mungkin "koperasi-koperasi itu bangkrut," tutur Said.
Benar tidaknya anggapan itu tentu masih harus diuji. Tapi sebuah
bukti menunjukkan bahwa GKPN - yang ketika didirikan (1954)
hanya punya anggota 6.400 dan modal awal Rp 8.500 - kini sudah
punya 75 ribu anggota dengan kekayaan Rp 699 juta lebih, unit
usahanya pun macam-macam: membuka toko optik, restoran,
perhotelan, simpan pinjam, pompa bensin, sampai apotek. Luasnya
macam usaha yang ditanganinya itu jelasmemungkinkan GKPN juga
beroperasi untuk kepentingan umum, selain terutama untuk
kalangan anggotanya.
Apa boleh buat, koperasi yang selama ini sudah menikmati banyak
fasilitas mau tak mau harus lebih banyak menyisihkan
perolehannya untuk mengisi kas pemerintah. Pusat Koperasi Unit
Desa Jawa Timur, yang tahun lalu mencapai omset Rp 115 milyar
dan mengantungi laba bersih Rp 1 milyar sesudah dipotong pajak,
tampaknya tak bisa mengelak dari ketentuan itu. "Kalau kami
nanti dikenai tarif pajak yang sama dengan perusahaan swasta,
bisa dihitung berapa jumlah pajak yang akan kami bayar," ujar
Harnoo, manajer Puskud Jawa Timur.
Bagi Koperasi Pusaka, yang selama ini bertindak sebagai agen
pemasaran senapan angin bikinan penduduk Desa Cikeruh dan
Cipacing di Sumedang, RUU PPh 1984 dan PPN itu tidak
merisaukannya. Kendati setiap bulan koperasi bisa memasarkan
rata-rata 240 pucuk senapan angin dari produksi 1.800 pucuk,
belum pernah sekali pun koperasi ini membayar pajak.
Begitu juga toko penjual senapan angin, yang jumlahnya tujuh
buah di Sumedang. Selama 10 tahun berusaha, Maman Karli, pemilik
salah satu toko di sana, mengaku belum pernah bayar pajak,
sekalipun omset penjualannya sebelum operasi Sapujagat pernah
mencapai 10 pucuk (Rp 200 ribu), dan kini rata-rata tiga pucuk
(Rp 52.500) sehari. "Yang pernah saya bayar cuma iuran Ipeda
dan biaya administrasi untuk kecamatan atau desa," ujar Maman.
Maman, yang juga menghasilkan senapan angin model BSA dan
Benyamin, agak keberatan jika produk itu digolongkan sebagai
barang mewah, dan kena pajak penjualan 30%. Tak jelas apakah
Menteri Radius bisa membuat pengecualian untuk itu mengingat,
kata Maman, senapan yang dibeli penduduk sekitar Sumedang Garut,
dan Bandung itu untuk mengusir hama unggas atau menembak tikus.
Senapan angin digolongkan sebagai barang mewah karena RUU PPh
1984 menganggapnya bisa membahayakan lingkungan hidup.
Tapi Maman tak keberatan jika barang-barang impor, seperti
organ, kendaraan bermotor, dan kamera, digolongkan produk mewah.
Karena produk ini banyak dipakai golongan menengah dan atas,
maka pajak penjualan efektlf yang dikenakdnnya akan mencapai
serendah- rendahnya 30%. Tapi, dalam soal pengenaan tarif pajak
penghasilan nanti, justru pengusaha atas yang tampaknya akan
banyak diuntungkan oleh RUU PPh 1984.
Pabrik rokok Gudang Garam di Kediri Jawa Timur, yang selama ini
kena tarif 45% untuk laba kena pajak, pasti senang jika hanya
dikenai tarif maksimum 35%. Kata pihak Gudang Garam, keringanan
tarif pajak penghasilan itu hanya akan berpengaruh pada
pengembalian modal usaha, tidak pada harga pokok penjualan
rokok. Karena itu, menurut Imam Soebagio dari bagian keuangan
pabrik rokok tadi, kegiatan usaha akan lebih terangsang.
Kendati demikian, pemerintah berniat mencegat pabrik rokok,
seperti GG dan Bentoel, di pintu paling belakang: dengan
mengenakan pajak penjualan 10% . Memang, selama ini rokok, yang
sejak puluhan tahun dibebani pemasukan cukai, tak dikenai pajak
penjualan. Tapi, sementara itu, cengkih - bahan penting
pendamping tembakau dalam pembuatan kretek, yang kini kena pajak
penjualan- akan dibebaskan dari pungutan pajak tadi. Tidak
selamanya ketentuan fiskal, yang seharusnya berlaku secara
nasional, akan berjalan baik di daerah.
Sementara itu, dalam kaitan merangsang usaha ekspor, RUU PPN itu
meniadakan sama sekali pembebanan pajak ekspor. Segala pajak
yang pernah dikenakan atas bahan-bahan dalam proses pembuatan
produk ekspor itu bahkan bisa diminta kembali, asal si eksportir
bisa menunjukkan bukti-bukti pembayaran fiskal. Dengan demikian,
ekspor pakaian jadi, misalnya, diharapkan akan bisa naik lagi.
Tapi harapan itu bagi Eduardus A. Pravinata, direktur PT Busana
Rama, yang tahun lalu bisa mengekspor 140 ribu lusin pakaian
jadi (pria dan wanita) ke AS dan Eropa, tampaknya cukup jauh.
Maklum, PMDN yang baru tahun depan bakal menikmati masa bebas
pajak ini cukup grogi menghadap RUU PPh 1984 yang akan menghapus
fasilitas pajak. Besar kemungkinan Busana Rama akan meninjau
rencana peningkatan produksinya dari 180 ribu lusin kemeja pria
menjadi 220 ribu lusin tahun ini. Pemberian bonus bagi 1.200
karyawannya mungkin juga akan ditinjau. Secara terus terang
Pravinata menyebut, pencabutan fasilitas itu "akan menyebabkan
usaha kami bersaing tambah berat." Tapi, dasar pengusaha, dia
yakin "akan bisa menemukan jalan keluarnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini