GARA-gara perkuliahan tidak lancar, delapan mahasiswa Institut
Ilmu Komputer (IIK), Bandung, protes. Mereka mencabut papan
nama institut dan membuangnya. "Saya sudah membayar, tak pernah
ada kuliah," kata Rosliana, mahasiswa yang ikut beraksi pada
kejadian pertengahan Oktober itu.
Sebenarnya, keinginan mahasiswa itu sederhana. Yakni, agar
kuliah berjalan semestinya. Mereka, konon, telah membayar Rp 120
ribu untuk kuliah setahun, tapi dosen sering tak ada.
Sebenarnya, yang dipersoalkan mahasiswa hanyalah masala
permukaan. Di balik bermunculannya pendidikan komputer
belakangan ini, masalah pokoknya ialah belum adanya kurikulum
baku.
Akibatnya, kini, pendidikan tinggi komputer swasta, baik yang
menamakan dirinya akademi, institut, sekolah tinggi, maupun
pendidikan ahli teknik (PAT), menentukan sendiri kurikulum
mereka. Institut Kejuruan Komputer & Informatika (IKKI),
Jakarta, misalnya. Pada tahun pertama, di sini diberikan
pengetahuan dasar komputer, termasuk bahasa untuk menjalankan
komputer, seperti fortran dan cobol. Tingkat kedua, kuliah
meliputi sistem analisa dan pemahaman data. Di tingkat ketiga,
terakhir - kebanyakan pendidikan tinggi komputer memang cuma
tiga tahun - diberikan soal manajemen dan pemantapan praktek.
Kurikulum yang hampir sama dipakai juga di PAT Informatika dan
Komputer Universitas Pembangunan Nasional, Jakarta.
Namun, Sekolah Tinggi Informatika & Komputer (STI&K) Jakarta -
sekolah komputer milik swasta yang pertama -- menyusun kurikulum
yang agak lain. Masa pendidikannya pun lebih lama, berambisi
mencetak sarjana lengkap. Dan memang telah meluluskan seorang
sarjana. dan 56 sarjana muda. Semuanya, tentu, masih gelar
lokal. "Dasar kurikulum kami mencontoh yang dipakai di Amerika,
Belanda, dan Australia," kata Fred Ameln, ketua yayasan yang
menaungi STT&K.
Sebenarnya, Konsorsium Bidang Teknologi Departemen P&K sudah
mencoba menyusun kurikulum pendidikan-tinggi komputer. Hasilnya
sudah dicobakan di Jurusan Informatika ITB. Kurikulum ini,
menurut Harsono, ketua jurusannya, bertujuan mencetak tenaga
terampil yang dapat membuat peralatan komputer serta memahami
cara kerja dan pengoperasian mesin pintar itu. Sejauh ini,
konsorsium itu sendiri masih ragu tentang kurikulum itu. "Masih
akan diubah," kata sebuah sumber di konsorsium itu.
Di Jurusan Informatika ITB ini memang ada yang lain. Misalnya,
matematika di sini sangat ditekankan, dengan waktu enam
semester. Di jurusan lain, menurut Harsono, matematika tak
sebanyak itu. Di pendidikan tinggi komputer swasta, berapa porsi
matematika tak jelas.
Maka, yang terjadi ialah kebalauan antara pendidikan komputer
yang sifatnya kursus dan yang pendidikan tinggi. Untuk mendidik
calon operator, pemogram, dan analis komputer, misalnya, tak
diperlukan pendidikan tinggi. Di ITB, mereka yang ingin
memperoleh bidang pekerjaan itu ditampung dalam pendidikan ahli
teknik komputer yang lamanya 1-3 tahun. "Cukup melalui jenjang
tanpa gelar," kata Harsono.
Tapi, sekali lagi, ketentuan sepertl itu belum jelas. "Habis,
kurikulum baku belum ada," kata Marcus Kasirin, sekretaris
Kopertis Wilayah IV, Jawa Barat.
Dalam keadaan serupa itu, toh lembaga pendidikan komputer tetap
semakin banyak. Iklan yang menawarkan keahlian di bidang itu pun
hampir tak pernah sepi di koran-koran.
Di Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika yang baru
berdiri Agustus lalu, misalnya, sampai kini sudah 500 orang yang
mendaftarkan diri. Padahal, untuk 11 bulan pendidikan yang
mereka sebut Intensive Package Course, uang sekolahnya Rp
1.750.000.
Menurut Jusuf Randy, manajer lembaga pendidikan itu, banyak
orang yang gagal masuk universitas, lalu masuk sekolah komputer,
tak memilih kursus-kursus lain, misalnya tata buku. "Karena
gengsi," katanya. Dan karena alasan ini pula dia membuka
sekolah komputer itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini