Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI salah satu sudut restoran di Hotel Conrad Centennial Singapura, Niki Lauda dan Lewis Hamilton tampak terlibat diskusi serius. Tak ada orang lain yang mendampingi mereka. Namun semua yang melihat bisa menebak apa kira-kira topik pembicaraan keduanya selepas Grand Prix Formula 1 Singapura dua pekan lalu. Pasti tak jauh-jauh dari urusan balap.
Siapa yang tak kenal Lauda? Lelaki ini pernah menjadi juara dunia balap Formula 1 sebanyak tiga kali. Kini ia adalah ketua dewan pengurus tim F1 Mercedes. Malam itu sang mantan juara mengemban sebuah misi penting untuk merekrut juara lainnya: Lewis Hamilton. Ia harus meyakinkan pembalap Inggris itu bahwa Mercedes tempat yang cocok untuknya, karena tim ini akan dibangun menjadi kekuatan super. Inilah yang dijanjikan: dana tak terbatas dan tim ditangani Ross Brawn—pria yang menyiapkan mobil bagi juara dunia tujuh kali Michael Schumacher semasa di tim Ferrari.
Untuk misi itu, Lauda diberi kebebasan penuh bernegosiasi. Apalagi sebelumnya Dr Dieter Zetsche, bos Daimler, sebagai perusahaan induk Mercedes, sudah meminta Lauda mencari tahu penyebab kegagalan timnya musim ini. Lauda juga diminta membawa tim ke jalur yang benar.
Mercedes mengartikan permintaan Zetsche itu sebagai sebuah evaluasi total: ambil dan buang segala yang tak penting untuk meraih sukses. Lauda percaya salah satu jalan menuju sukses itu adalah dengan menarik Hamilton sebagai pembalap utama.
Namun itu bukan perkara mudah. Ada tantangan berat menghadang Lauda: McLaren! Ya, tim besutan Ron Dennis ini sudah seperti "rumah" bagi Hamilton. Sejak usia 14 tahun dan berlaga di gokar, Hamilton sudah menjadi bagian keluarga besar McLaren. Bisa dimengerti betapa besar ikatan emosional antara Hamilton dan McLaren. "Suatu hari nanti saya ingin membalap untuk McLaren," ujarnya suatu ketika.
Tembok kokoh ikatan emosional itu pun dicoba didobrak. Caranya? Mantan pembalap asal Austria itu menyodorkan kontrak senilai Rp 900 miliar untuk tiga musim balap. Ini angka yang fantastis dan akan menempatkan Hamilton sebagai pembalap F1 termahal.
Namun gelagat ini tercium kubu McLaren. Tentu saja mereka tak rela melepas anak emasnya begitu saja. Strategi pun disiapkan. Salah satunya dengan menawarkan nilai kontrak yang sama dengan tawaran Mercedes. Tapi Hamilton menampiknya. "Saya butuh tantangan baru," ucap pria 27 tahun itu.
Maka terjadilah yang harus terjadi. Sepekan setelah pertemuan Singapura itu, Hamilton resmi meninggalkan McLaren. Dia akan berlaga untuk tim Mercedes hingga 2016. Banyak yang berpendapat ini adalah langkah blunder bagi Hamilton mengingat McLaren adalah tim dengan 20 gelar juara dunia untuk pembalap dan konstruksi.
Namun mantan pembalap F1 asal Inggris, Damon Hill, punya pendapat lain. Ia menyebutkan Hamilton seperti burung dalam sangkar emas selama berada di McLaren. "Betul, dia dibina dan dibesarkan di sana, tapi dia tak pernah benar-benar merasa bebas. Inilah saatnya Hamilton meÂngepakkan sayapnya," kata Hill.
Ya, McLaren memang memiliki kebiasaan membatasi gerak-gerik para pembalapnya. Ini bahkan pernah dirasakan oleh Niki Lauda. Deretan para juara berikutnya pun mengalami hal serupa. Mereka adalah Alain Prost, Ayrton Senna (almarhum), dan Mika Hakkinen. Meski semua menjadi juara dunia bersama McLaren, akhirnya mereka harus hengkang. Persis seperti yang dilakukan Hamilton kali ini.
Betapapun, para pembalap F1 itu tidak ingin sekadar jadi boneka yang disetir oleh tim. Mereka butuh eksistensi diri. Dan itu yang tidak mereka peroleh di McLaren. Di sana semua serba diatur. Mulai pemasangan logo sponsor di baju balap hingga piala kemenangan yang menjadi hak milik tim. Meski bukan orang yang pertama, Hamilton pernah berusaha mengubah kultur ini. Sayang, semuanya tak berhasil.
Lauda tahu persis kondisi ini, dan ia masuk pada saat yang tepat. Rasa kecewa yang menumpuk, ditambah dorongan dari manajernya, Simon Fuller, pemilik perusahaan XIX Entertainment, membuat Hamilton mantap menyeberang ke tim Mercedes.
Hawa kebebasan yang ditawarkan Mercedes memang menjadi daya tarik besar. Bagaimana tidak, sebagai pabrikan besar, mereka tak butuh sponsor tambahan dari pembalapnya. Maka, dalam kontraknya, Hamilton diberi kebebasan menerima tawaran sponsor pribadi dari pihak ketiga.
Namun tetap ada pertanyaan besar membayangi kepindahan Hamilton. Pertama, bagaimana bila dalam tiga tahun ke depan ia tak pernah lagi mencicipi rasa naik podium? Apakah kepindahan ini masih membuka peluang bagi dirinya untuk meraih gelar juara dunia seperti pada 2008? Jika motivasi kepindahan Hamilton hanya soal uang, banyak yang memperkirakan kariernya terancam tamat lebih cepat.
Namun Hamilton adalah seorang petarung. Menengok perjalanannya saat masih tampil di GP2, balapan setingkat di bawah Formula 1, ia seperti selalu berusaha melawan takdir. Secara konsisten, Hamilton berperang melawan ketidakdewasaan dalam mencari jati diri. Hamilton kecil banyak belajar mandiri dari manajer sekaligus ayahnya, Anthony. Hamilton akhirnya menjadi pembalap kulit hitam pertama di lintasan F1. Dua tahun lalu, ia akhirnya melepaskan diri dari bayang-bayang sang ayah.
Banyak kalangan berpendapat itulah proses pendewasaan Hamilton. Kini melepaskan diri dari tim McLaren, yang membesarkan namanya, dianggap sebagai fase berikutnya dari proses menuju kematangan seorang Hamilton.
"Ada kesenjangan filosofi besar antara tim dan pembalap," ucap Hill. Kata dia, pembalap ingin berlomba, sedangkan bagi tim, pembalap adalah orang yang disewa. "Padahal pembalap punya hak untuk mencari karier sendiri. Mereka bukan milik tim mana pun."
Tahun ini balap Formula 1 tinggal menyisakan lima seri. Hamilton sudah dipastikan memperkuat tim Mercedes menggantikan Schumacher tahun depan. Ia akan berdampingan dengan rekan lamanya, Nico Rosberg. Sedangkan bangku yang ia tinggalkan di McLaren akan diisi pembalap Meksiko, Sergio Perez.
Tentu suasana di paddock McLaren akan terasa berbeda bagi Hamilton. Akses ke pusat data tim akan sangat dibatasi. Saling tukar informasi dengan Jenson Button, rekannya di McLaren, pun tak akan lagi terjadi. Gelar juara dunia tahun ini pun dipastikan tak menjadi milik Hamilton. Tapi itulah harga yang harus ia bayar untuk menjadi dewasa. Namun, tahun depan, Hamilton bisa jadi akan mengepakkan sayapnya sendiri dengan lebih kuat….
Firman Atmakusuma (Telegraph, Dailymail, Mailonline)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo